Sri Mulyani Sebut Kesenjangan Gender Dunia Kerja Masih Jadi Momok Menakutkan di RI
Sri Mulyani menilai, kesenjangan gender dalam dunia kerja masih menjadi momok menakutkan di Indonesia.
IDXChannel - Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani menilai, kesenjangan gender dalam dunia kerja masih menjadi momok menakutkan di Indonesia. Alhasil, pemerintah terus berupaya mengatasi kesenjangan melalui berbagai kebijakan yang ditargetkan bagi perempuan dan anak perempuan.
Sri mengatakan, salah satu upaya pemerintah mengatasi kesenjangan gender yakni dengan membuat program kredit ultra mikro bagi pelaku usaha. Pasalnya, kata Sri, pandemi Covid-19 menimbulkan scarring effect yang memengaruhi pasar tenaga kerja, termasuk bagi perempuan.
“Scarring effect akan menjadi hambatan yang signifikan untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif, terutama untuk negara berkembang. Informalitas yang tinggi juga menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia,” ujar Sri dalam keterangannya, dikutip Kamis (25/8/2022).
Sri mencatat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pekerja sektor informal di Indonesia meningkat dari 55,8 persen pada 2019 menjadi 60,5 persen pada 2020. “Hal ini menyebabkan berbagai masalah ekonomi dan berdampak pada penerimaan pajak Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Sri, pekerja informal pada umumnya lemah dalam perlindungan sosial. Sehingga, kata Sri, perempuan lebih banyak diasosiasikan dengan pekerjaan informal. Tercatat, 63,8 persen perempuan Indonesia bekerja di sektor informal, sedangkan laki-laki hanya sebesar 56,6 persen.
Tidak hanya itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga masih tertinggal dibandingkan laki-laki, yaitu 51,9% dibandingkan 83,3 persen. “Jika kita melihat gap ini, akan ada peluang baru yang hilang dan itu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang lebih baik bagi perempuan,” tutur Sri.
“Selama krisis ekonomi (pandemi covid-19), tenaga kerja perempuan terkena dampak secara tidak proporsional, terutama perempuan yang bekerja di sektor informal. Perempuan mengalami beban tambahan karena harus bekerja di rumah, khususnya karena adanya norma gender untuk perawatan keluarga,” pungkasnya.
(NDA)