Stimulus Joe Biden Rp27.000 Triliun Bisa Berdampak Negatif Bagi Negara Lain
Paket stimulus terbesar dalam sejarah Amerika Serikat (AS) sebesar USD1,9 triliun atau setara Rp27.000 triliun akan segera cair dalam waktu dekat.
IDXChannel - Paket stimulus terbesar dalam sejarah Amerika Serikat (AS) sebesar USD1,9 triliun atau setara Rp27.000 triliun akan segera cair dalam waktu dekat. Bagi AS, stimulus ini berdampak positif, namun kebijakan ini justru dapat berdampak negatif bagi negara lain terutama negara berkembang.
Hal tersebut seperti diungkapkan Equity Research Analyst PT Panin Sekuritas Ishlah Bimo Prakoso. Menurutnya, kenaikan kembali dari imbal hasil di Amerika Serikat (AS) dengan tenor 10 tahun dan juga paket mega stimulus sebesar 1,9 triliun USD yang akan segera cair ini akan memberi dampak yang positif bagi market dalam negeri.
“Jadi kalau kita lihat dalam jangka waktu dekat yang benar-benar dekat at least kaya seminggu, sebulan itu, otomatis kita melihat positif arahnya karena apa? Stimulus 1,9 triliun ini adalah yang terbesar di sejarah stimulus US dari krisis-krisis yang sebelumnya pernah ada,” tuturnya hari ini (15/3/2021) dalam Market Opening IDX Channel.
Ishlah menjelaskan, dengan adanya stimulus tersebut otomatis ekspetasi peningkatan suplai dari Dollar itu juga akan meningkat signifikan di pasar global baik itu di beberapa negara maju atau pun negara berkembang seperti Indonesia.
“Dampaknya apa? Dengan meningkatnya suplai Dollar ini pertama harapannya Rupiah kita menguat, lalu yang kedua di sini juga ada potensi kita bisa menangkap yang namanya foreign flow karena otomatis kan dengan Dollar yang meningkat signifikan ya 1,9 triliun stimulus dari paket Joe Biden jadi nanti 1,9 triliun ini juga sebagian akan tersebar ke beberapa negara dan salah satunya kita lihat ada potensi di Indonesia,” jelas dia.
Di sisi lain, dia mengatakan, yang perlu digarisbawahi adalah ketika sudah ada stimulus tetapi ada concern juga bahwa perbaikan ekonomi di AS itu lebih cepat dari ekspetasi. Menurutnya, ini akan memberi efek negatif bagi negara berkembang.
“Nah dampaknya apa? Bukan ini malah positif kalau ternyata perbaikan ekonomi itu lebih cepat? Ternyata engga begitu positif juga. Karena dampaknya itu negatif buat negara berkembang, itu masih ekspetasi tapi ya. Dengan meningkatnya rate dari recovery of economics di US, di sini ada ekspetasi nanti inflasinya itu berpotensi juga meningkat lebih tinggi dari ekspetasi,” kata Ishlah.
“Yang dikhawatirkan dengan inflasi yang meningkat, The Fed akan melakukan tindakan yang lebih preventif untuk mencegah ekonomi di US overheating. Biasanya preventifnya itu dari sisi moneter akan diperketat lagi. Nah di sini yang ditakutkan kalau dari sisi moneter diperketat ya, nanti di sini suku bunga ada potensi untuk naik di US,” tambah dia. (RAMA)