Studi Reforminer: Potensi Peningkatan Defisit APBN Jika BBM Naik saat Rupiah Melemah
Wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin kencang berembus di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
IDXChannel - Wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin kencang berembus di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan penguatan harga minyak dunia.
Menanggapi hal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa belum adanya rapat antar kementerian terkait nasib harga BBM subsidi maupun non subsidi untuk Juli 2024.
"Belum dibahas (rapat)," ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/6/2024).
Dia pun menyatakan, pihaknya menunggu koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terlebih dahulu. Sebab menurutnya, sejauh ini kementeriannya sudah siap membahas nasib subsidi BBM di tengah tingginya harga minyak.
Informasi saja, mata uang rupiah sudah terdepresiasi 6,33 persen terhadap dolar AS secara year to date (YTD) di level Rp16.384 per USD pada pukul 10.56 WIB, Jumat (28/6/2024).
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah juga mengalokasikan belanja subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) sebesar Rp25,7 triliun.
Jumlah itu meningkat sekitar 10 persen atau bertambah Rp2,4 triliun dibanding outlook 2023 sebesar Rp23,3 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menanggapi kondisi ini, kajian Reforminer Institute dikutip Jumat (28/6/2024), pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia.
Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per USD berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp4 triliun. Namun demikian, pelemahan tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,20 triliun.
“Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per USD berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp6,20 triliun,” tulis kajian Reforminer.
Selain pelemahan rupiah, peningkatan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia.
Harga minyak WTI year on year (yoy) sudah menguat 17,35 persen dan Brent melesat 14,95 persen per Jumat (28/6) pukul 11.13 WIB.
Setiap peningkatan harga minyak sebesar USD1 per barel berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp3,6 triliun. Namun, peningkatan tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,10 triliun.
Artinya, setiap peningkatan harga minyak sebesar USD1 per barel berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp 6,50 triliun.
Berdasarkan simulasi keterkaitan antara biaya pengadaan BBM dengan harga minyakmentah dan nilai tukar rupiah ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyakmentah sebesar USD1 per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp150 per liter
Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per USD, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp100 per liter. (Lihat grafik di bawah ini.)
Dalam catatan Reforminer, rata-rata realisasi kurs tengah Bank Indonesia (BI) selama awal Januari hingga 26 Juni 2024 adalah Rp15.892 per USD atau lebih tinggi Rp892 per USD dibandingkanasumsi APBN 2024.
“Jika mengacu pada hasil simulasi di atas, pelemahan rupiah tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp705 untuk setiap liternya,” tulis Reforminer.
Peningkatan biaya pengadaan BBM akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP pada periode yang sama tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
“Jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai Q1-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah,” imbuh Reforminer.
Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri.
Namun, kenaikan harga BBM juga bukan tanpa risiko. Ini karena produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi.
“Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi,” tulis Reforminer.
Belum lagi, sekitar 50 persen penerimaan perpajakan negara berasal dari sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi.
“Mencermati permasalahan yang ada, Reforminer menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal,” kata Reforminer.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, memutuskan untuk kembali tidak menaikkan harga BBM Non Subsidi pada Juni 2024.
Wacana ini muncul di tengah harga minyak dunia yang masih fluktuatif dan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, keputusan tidak mengubah harga BBM mengacu pada beberapa aspek yang tercantum dalam Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang formulasi harga JBU atau BBM non subsidi.
Dalam aturan ini, perhitungan formulasi harga BBM, di antaranya dipengaruhi oleh nilai tukar dolar AS dan MOPS (Mean of Plats Singapore).
Informasi saja, penggunaan MOPS untuk menentukan harga patokan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri karena belum adanya harga pasar dalam negeri sehingga diperlukan acuan harga pasar terdekat (border price).
"Penyesuaian harga BBM nonsubsidi memang mengacu pada regulasi. Namun pada kondisi saat ini kami mendukung upaya Pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian," kata Irto dalam keterangan tertulisnya, akhir bulan lalu. (ADF)