Sukseskan Hilirisasi, Negara-Negara Ini Butuh Waktu Puluhan Tahun
Program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir masih menghadapi sejumlah tantangan. Untuk itu, diperlukan kebijakan pro industri.
IDXChannel - Program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir masih menghadapi sejumlah tantangan. Untuk itu, diperlukan kebijakan pro industri.
Utamanya, di samping pemenuhan pembiayaan, penyerapan produk hilirisasi, peningkatan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Kesuksesan hilirisasi juga diyakini tidak bisa serta merta diwujudkan. Perlu waktu panjang bahkan hingga puluhan tahun karena harus melewati sejumlah tahapan di tengah kondisi ekonomi global yang fluktuatif.
Berkaca pada sejumlah negara yang melakukan hilirisasai lebih dulu, ternyata program ini pada perjalanannya tidak selalu mulus. China adalah salah satunya. Di Negeri Panda, penerapan hilirisasi dari awal hingga menjadi sebuah ekosistem industri perlu waktu tidak kurang dari 40 tahun.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Koordiantor IV Kadin Indonesia Carmelita Hartoto, China mengawali program hilirisasi pada tahun 1980-an. Saat itu dimulai dengan membangun pabrik pengolahan baja, alumina dan tembaga.
Kemudian, pada 1990-an di China mulai tumbuh industri manufaktur berbasis logam seperti otomotif dan teknologi tinggi.
Periode hilirisasi China berlanjut pada tahun 2000-an di mana perusahaan-perusahaan mulai ekspansi tambang serta pelabuhan yang diikuti pengembangan teknologi baterai. Kemudian di 2010, negara berpenduduk terbanyak di dunia itu melakukan transformasi sektor kendaraan listrik, energi ramah lingkungan dan ekspansi industri hilir hingga sekarang.
Menurut Carmelita yang juga Ketua Pokja Hilirisasi Minerba ini, China terbilang sukses menjalankan hilirisasi karena berhasil mengembangkan industri lokal. Selain itu, China juga didukung dengan tata kelola bisnis yang baik termasuk permodalan, investasi besar serta keberhasilan risetnya.
Negara lain yang butuh waktu lama dalam pengembangan hilirisasi adalah Australia yakni 65 tahun atau sejak sejak 1960-an. Negeri Kangguru berhasil menjalankan hilirisasi dari bijih besi menjadi produk baja, kemudian mengolah bauksit menjadi alumina dan aluminium, kemudian mengolah nikel menjadi nikel matte, tembaga menjadi kawat dan lembaran tembaga, dan batu bara menjadi kokas dan bahan kimia.
Perjalanan hilirisasi di Australia yang diawali pada tahun 1965 dimulai dengan pembangunan babrik baja, alumina dan tembaga, kemudian di tahun 1970-an berhasil membangun pabrik kokas dari batubara dan tahun 1980 melakukan diversifikasi ekspor mineral. Kemudian, pada 1990 Australia mengembangkan industri berbasis logam seperti otomotif dan di tahun 2000-an hingga sekarang melakukan ekspansi tambang diikuti pengembangan baterai lithion.
"Ada contoh sukses, tetapi ada juga tantangan yang dihadapi. Seperti di Zambia yang mulai hilirisasi sejak tahun 60-an, mereka mencoba mengembangkan pertambangan tetapi terhambat terbatasnya investasi, dan infrastruktur yang tidak memadai," ucap Carmelita pada acara Indonesia Mining Summit 2023 di Nusa Dua Bali, Selasa (10/10/2023).
Beberapa hambatan lain pengembangan hilirisasi di Zambia adalah kebijakan yang tidak konsisten, kurangnya dukungan insentif, hambatan birokrasi, dan tidak maksimalnya pengembangan sumber daya dan cadangan yang dimiliki.
Sementara itu, contoh lain negara yang mengahadapi tantangan dalam hilirisasi adalah Argentina yang memulai hilirisasi sejak tahun 2000-an. Di negara ini, pemerintahnya mencoba mengembangkan lithium-ion dan turunannya tetapi tidak sesukses China dan Australia.
Hal itu dikarenakan kurangnya investasi, lemahnya infrastruktur, ketidakstabilan kondisi makro dan politik, serta kurangnya tenaga kerja. Selain itu, industri di Argentina juga tidak didukung kecukupan pasokan listrik, dan memiliki ketergantungan ekspor bahan mentah serta kerap berubahnya kebijakan pemerintahan.
(YNA)