ECONOMICS

Surplus Neraca RI Mei Merosot Tajam, Sinyal Lesunya Perdagangan Global

Maulina Ulfa - Riset 15/06/2023 13:56 WIB

Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus pada Mei 2023. Namun, surplus perdagangan ini merosot menjadi USD 0,44 miliar pada Mei 2023.

Surplus Neraca RI Mei Merosot Tajam, Sinyal Lesunya Perdagangan Global. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus pada Mei 2023. Surplus tersebut sudah 37 bulan beruntun sejak Mei 2020.

"Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia hingga Mei 2023 surplus selama 37 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," ujar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmu,  dalam Rilis BPS di Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Namun, surplus perdagangan ini merosot menjadi USD 0,44 miliar pada Mei 2023. Ini menjadi surplus terendah dibandingkan setahun sebelumnya sebesar USD 2,90 miliar. Angka surplus ini juga tercatat jauh di bawah konsensus pasar yakni USD 3,02 miliar.

Itu juga menjadi surplus perdagangan terkecil sejak April 2020, di tengah lonjakan impor yang tengah terjadi. Pengiriman ekspor secara tak terduga naik 0,93% dari tahun sebelumnya menjadi USD 21,72 miliar dan menjadi kenaikan pertama dalam tiga bulan terakhir.

Sementara itu, impor naik 14,35% secara tahunan (yoy) menjadi USD 21,27 miliar dan menjadi ekspansi pertama sejak Januari karena permintaan dalam negeri yang mulai pulih. (Lihat grafik di bawah ini.)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga negara menjadi penyumbang surplus terbesar perdagangan non-migas RI sepanjang Mei 2023.

"Posisi pertama diduduki oleh Amerika Serikat (AS). Neraca perdagangan Indonesia-AS tercatat surplus sebesar USD1.062,3 juta," ungkap Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud dalam Rilis BPS di Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Angka ini disumbang oleh ekspor mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) sebesar USD255,2 juta, pakaian dan aksesorinya (bukan rajutan) (HS 62) sebesar USD195,5 juta, dan pakaian dan aksesorinya (rajutan) (HS 61) sebesar USD174,8 juta.

"Posisi kedua diduduki oleh Filipina dengan total surplus neraca perdagangan Indonesia-Filipina sebesar USD839,1 juta," terang Edy.

Adapun penyumbang surplus terbesarnya adalah bahan bakar mineral (HS 27) sebesar USD299,3 miliar, kendaraan dan bagiannya (HS 87( sebesar USD249,2 miliar, dan bijih logan, terak, dan abu (HS 26) sebesar USD62,4 juta.

Dia melanjutkan,negara penyumbang surplus terbesar ketiga adalah India. Surplus neraca perdagangan Indonesia-India mencapai USD818,7 juta.

Tekanan Perdagangan Global Kian Terasa

Dari perolehan surplus dagang ini, terlihat bahwa tekanan perdagangan internasional terasa cukup nyata. Komoditas-komoditas andalan RI seperti hasil tambang, terutama batu-bara tidak mampu lagi menjadi penopang surplus neraca dagang RI.

Diketahui harga batu bara untuk kontrak Oktober 2023 masih tertekan di level USD144,15 per ton di bursa ICE Newcastle. Performa harga batu bara sejak pertengahan tahun lalu hingga awal Mei 2023 juga telah anjlok 38,05%. (Lihat tabel di bawah ini.)

India masih menjadi penolong komoditas batu bara RI di mana penyumbang surplus terbesar untuk neraca dagang Indonesia-India di antaranya adalah bahan bakar mineral (HS 27) sebesar USD596,2 juta.

Selain itu ada pula lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15) yang menyumbang surplus sebesar USD273,3 juta, dan logam mulia dan perhiasan/permata (HS 71) sebesar USD91,1 juta.

India masih membutuhkan pasokan batu bara RI karena adanya krisis energi yang terjadi di negara tetangga, Bangladesh. Permintaan menguat untuk bahan bakar pembangkit listrik seperti batu bara akibat adanya krisis ini dan diperparah dengan bencana gelombang panas di wilayah tersebut.

Tak hanya batu bara, banyak komoditas andalan RI yang juga tak mampu mendongkrak neraca dagang pada Mei tahun ini.

Meskipun harga minyak sawit mulai mengalami perbaikan performa di level RM3.452 per ton per 14 Juni 2023, namun ini masih menjadi level yang rendah dibandingkan pada 2022 di mana harga CPO sempat tembus di atas RM5000 per ton.

Menurut MPOB, harga rata-rata CPO Januari hingga November 2022 adalah RM5.167 per ton, meningkat 18,4% dibandingkan 4.363 ringgit per ton untuk periode yang sama pada 2021.

Kondisi ini menjadi peringatan yang penting bagi kinerja perdagangan RI di tengah sejumlah sinyal global yang kian suram. Di beberapa negara ekonomi utama, tekanan perdagangan kian terasa. Sebut saja China yang juga mengalami tekanan ekspor-impor cukup signifikan sepanjang awal 2023.

Beberapa kawasan juga masih berjuang memulihkan ekonomi di tengah ancaman inflasi tinggi dan meningatnya suku bunga. (ADF)

SHARE