ECONOMICS

Tak Ingin Seperti Lira, Bank Sentral se-Asia Bergerak Jaga Stabilitas Mata Uang

Yulistyo Pratomo 28/06/2022 10:12 WIB

Setelah melalui masa yang berat ketika pandemi Covid-19, kini bank sentral se-Asia bersiap untuk menghadapi ancaman resesi di depan mata.

Tak Ingin Seperti Lira, Bank Sentral se-Asia Bergerak Jaga Stabilitas Mata Uang. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Setelah melalui masa yang berat ketika pandemi Covid-19, kini bank sentral se-Asia bersiap untuk menghadapi ancaman resesi di depan mata. Tak sedikit yang bahkan terpaksa menggunakan cadangan devisa mereka demi menjaga stabilitas mata uangnya masing-masing.

Dikutip dari Bloomberg, Selasa (28/6/2022), cadangan tersebut merupakan hasil yang dikumpulkan sepanjang 2020 lalu, namun kini mulai dimanfaatkan untuk menjaga mata uang agar tidak melemah atas dolar AS yang terus meningkat.

Dari catatan yang diperoleh Bloomberg, cadangan devisa Thailand tercatat turun menjadi USD221,4 miliar atau setara dengan Rp3.286,02 triliun pada 17 Juni, dalam data yang dirilis akhir pekan lalu. Angka tersebut terendah dalam dua tahun terakhir.

Sedangkan Indonesia sendiri, angka bulanan cadangan devisa berada pada level yang terkecil sejak November 2020. Di mana angkanya mencapai Rp135,6 miliar pada Mei 2022 lalu.

Sedangkan cadangan di Korea Selatan dan India berada pada titik terendah dalam lebih dari setahun. Tak ketinggalan, stok cadev Malaysia juga mengalami penurunan terbesar sejak 2015.

“Beberapa negara akan menggunakan cadangan mereka untuk menstabilkan mata uang mereka ketika pergerakannya berlebihan,” kata manajer portofolio makro global di GAMA Asset Management, Rajeev De Mello, di Jenewa.

Belajar dari krisis keuangan Asia 1997, bank sentral telah berupaya untuk mengumpulkan dolar agar mata uang di masinhg-masing negara bisa bertahan selama periode perubahan pasar yang bergerak liar.

“Mereka tahu bahwa mereka tidak dapat membalikkan kelemahan mata uang mereka terhadap USD, tetapi mereka dapat memuluskan penurunan,” tambah De Mello.

Tahun ini, Federal Reserve telah melakukan tindakan hawkish demi meningkatkan dolar AS. Kebijakan itu membuat beberapa bank sentral telah membalikkan upaya pembelian seperti Thailand dan Indonesia karena telah berjanji untuk mengurangi volatilitas mata uang masing-masing.

Sedangkan Bangko Sentral ng Pilipinas memilih untuk membiarkan pasar menentukan nilai peso terhadap dolar AS, dan hanya melakukan intervensi untuk mengekang volatilitas.

Meski telah melakukan upaya keras, namun setidaknya cara ini memungkinkan untuk memperlambat laju volatilitas penurunan mata uang. Tidak menutup kemungkinan langkah ini membuat bank sentral terhuyung-huyung jika keuangan eksternal memburuk dan sentimen risk-off akibat kebijakan the Fed, demikian keterangan ahli strategi di Goldman Sachs Group Inc.

Bank sentral AS telah mengisyaratkan kenaikan besar lainnya pada Juli, dengan para pedagang menetapkan kenaikan 75 basis poin pada suku bunganya.

Mata uang regional sudah melayang di posisi terendah multi-tahun: peso Filipina pada Senin (27/6/2022) sudah merosot ke level terlemahnya sejak 2005, sementara rupee India turun ke rekor terendah pekan lalu.

"Bank-bank sentral di Asia cenderung 'bersandar melawan angin', menggunakan intervensi FX untuk memperlancar penyesuaian nilai tukar," kata co-head of Asian economics research, Frederic Neumann, di HSBC Holdings Plc.

“Pembalikan tren membutuhkan lebih banyak: penarikan dolar AS yang lebih luas yang mungkin hanya mulai terjadi begitu investor dapat melihat dengan lebih jelas akhir dari siklus pengetatan Fed.” (TYO)

SHARE