'Tech War’ Chip Semikonduktor Berlanjut, Menakar Langkah AS vs China
Pembatasan ekspor semikonduktor yang diumumkan minggu lalu ini seolah semakin meningkatkan eskalasi perang teknologi AS-China.
IDXChannel - Perang teknologi yang terjadi antara China dan Amerika serikat (AS) masih berlanjut. Baru-baru ini AS memperketat cengkeramannya pada ekspor chip semikonduktor ke China.
Chip semikonduktor adalah komponen yang sangat penting di era teknologi. Fungsi dari chip ini adalah sebagai ‘otak’ dari alat-alat elektronik yang digunakan sehari-hari.
Beberapa produk yang bergantung pada komponen kecil itu di antaranya komputer, konsol game, smartphone, hingga kendaraan, dan mesin-mesin industri.
Pada 7 Oktober lalu, Departemen Perdagangan AS mengumumkan kebijakan kontrol baru pada teknologi ini dan mengatur ekspor semikonduktor ke negeri Tirai Bambu. Pembatasan ini berbertumpu pada tiga pilar utama.
Pertama, AS akan mengatur kontrol ekspor pada chip canggih dan peralatan manufaktur semikonduktor, terutama jika digunakan atau dipasang di China.
Kedua, AS bakal melakukan pembatasan sumber daya manusia yang mendukung pengembangan atau produksi chip semikonduktor tertentu di China.
Ketiga, negeri Paman Sam itu akan menambah listing Daftar Pengguna yang Tidak Diverifikasi dan Daftar Entitas yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan akhir chip ini di mana kondisi ini berpotensi mengarah pada pembatasan ekspor.
Kebijakan ini kembali menambah panjang konflik antara dua negara raksasa teknologi ini.
Industri Semikonduktor AS Rajai Pasar
Selama ini, industri chip memang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan negeri Paman Sam.
Pada tahun 2020, perusahaan semikonduktor yang berbasis di AS menguasai 47,2% dari total pasar semikonduktor global.
Di pasar semikonduktor regional, perusahaan AS juga memegang kepemimpinan pada pangsa pasar penjualan di China dengan nilai mencapai mencapai 50,1% dari total nilai pasar USD151,5 miliar. Sementara pasar terbesar kedua di pasar Asia Pasifik mencapai 50% dari USD119,5 miliar. (Lihat grafik di bawah ini)
Sumber: Semiconductor Industry Association
Sementara itu, AS juga masih memegang pangsa pasar terbesar jenis teknologi ini mencapai 54% di tahun 2021. Adapun posisi kedua diduduki oleh Korea Selatan dengan pangsa hanya sekitar 22%.
Di sisi perusahaan, Samsung masih menjadi pemasok utama chip semikonduktor dengan pangsa pasar mencapai 12,3%. Bersaing ketat dengan Intel, perusahaan asal AS dengan pangsa pasar mencapai 12,2% pada 2021. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sebagai salah satu negara produsen manufaktur elektronik utama dunia, impor China terhadap komponen teknologi ini juga cukup besar. Oleh karenanya, pembatasan impor pasti akan sangat menghambat proses produksi industri elektronik di negeri Panda ini.
Menurut data CEIC, impor komponen diode semiconductor China dilaporkan sebesar USD2,62 miliar pada Agustus 2022. Rekor ini naik dari angka sebelumnya yang mencapai USD2,43 miliar di bulan Juli.
Angka ini menunjukkan rata-rata impor teknologi ini mencapai USD907,8 juta sejak tahun 1993 hingga Agustus 2022 per tahun. Adapun impor mencatatkan rekor tertinggi sebesar USD2,8 miliar pada Desember 2015.
Perang teknologi antara AS dan China ini dimulai di era pemerintahan Trump dan semakin memanas ketika perang dagang antara kedua negara memuncak pada 2018. Banyak perusahaan AS membatasi produksi dan distribusi chip jenis ini.
Dampaknya, kelangkaan chip semikonduktor secara global semakin terasa di tahun lalu. Meskipun kelangkaan chip ini menjadi berkah bagi perusahaan semikonduktor, namun kondisi ini mencekik perusahaan hilir.
Menurut data Visual Capitalist, perusahaan produsen mobil global mengurangi produksi mereka hingga 7,7 juta unit di tahun tersebut dan merugi hingga USD210 miliar.
Perusahaan elektronik yang membuat produk populer seperti konsol game Playstation 5 juga mengalami kekurangan pasokan chip semikonduktor.
Ancaman Deglobalisasi Kembali Menguat
Sentimen ini tidak hanya menyoal persaingan teknologi, melainkan juga terkait perbedaan nilai-nilai politik dan gejolak geopolitik dan persaingan yang lebih luas secara global.
Menurut analisis Pictet Group, selain bertujuan untuk memperlambat kemajuan teknologi China, dengan kebijakan ini AS berupaya mempertahankan dominasinya sebagai negara yang memiliki keunggulan global dalam hal kecanggihan teknologi.
Dari konsumen hingga produsen komponen elektronik di seluruh dunia diproyeksi akan merasakan dampak dari kebijakan baru kontrol ekspor ini.
Pictet menambahkan, perusahaan di China memerlukan 40% dari semua chip yang diproduksi secara global yang sebagian besar terkandung dalam ekspor elektronik China.
Perusahaan-perusahaan ini, terutama yang memiliki hubungan dengan pemerintah atau militer, saat ini akan merasa lebih sulit untuk mendapatkan produk-produk canggih yang mengandung chip semikonduktor.
Beberapa ahli berspekulasi bahwa China dapat membalas dengan membatasi operasi perusahaan AS di China atau dengan menggunakan pembatasan ekspornya sendiri pada beberapa komoditas strategis seperti logam.
Meski demikian, menurut analisis Pictet Group, keduanya belum bisa dipastikan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat.
Sebaliknya, Beijing kemungkinan akan terus berinvestasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan di sektor semikonduktor dengan harapan mencapai kedaulatan teknologi. Namun, ancaman deglobalisasi akan kembali meningkat dengan adanya kebijakan ini.
“Pembatasan teknologi pemerintah AS adalah bagian dari “persaingan strategis” yang lebih luas dengan China. Persaingan antara dua ekonomi terbesar dunia ini berkontribusi terhadap deglobalisasi,” tulis Pictet Group dalam laporannya, dikutip Rabu (26/10).
Kondisi ini disebut dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih rendah dan inflasi yang lebih tinggi secara global dalam jangka panjang. Serta, bukan pertanda baik bagi perdamaian dunia.
Pembatasan yang diumumkan minggu lalu ini seolah semakin meningkatkan eskalasi perang teknologi AS-China.
Meski demikian, upaya AS untuk kembali memperkuat keunggulan manufaktur chip sebagai upaya memperlambat kebangkitan militer dan ekonomi China dipastikan akan menghadapi tantangan besar secara global. (ADF)