Tetap Produktif di Usia Senja, Titin Raup Ratusan Juta per Bulan dari Bisnis Pakaian
Titin mengakui bahwa upaya menjaga usaha agar tetap berjalan hingga saat ini merupakan tantangan yang tidak mudah.
IDXChannel - "Its not how much we have, but how much we enjoy. That makes happiness. (Bukan seberapa banyak yang kita miliki, namun seberapa banyak yang kita menikmatinya. Itulah yang membuat kebahagiaan)."
Pesan tersebut disampaikan oleh salah satu tokoh rohaniawan Kristen paling berpengaruh di Inggris pada awal abad ke-19, Charles Haddon Spurgeon.
Petuah tersebut sepertinya tergambar jelas dalam kehidupan seorang Titin Surtini, wanita paruh baya kelahiran Kampung Cibeureum, Desa Cibatok, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, 63 tahun silam.
"(Saya) Lahir dan besar di Cibeureum, Desa Cibatok. Tahun 1986 baru pindah ke sini (Pamijahan, Kabupaten Bogor) bareng seluruh keluarga. Tahun 1987 baru mulai jualan," ujar Titin, saat ditemui di kios pakaian miliknya, di Pasar Parabakti, Kabupaten Bogor.
Lokasi Pasar Parabakti sendiri masuk dalam Kecamatan Pamijahan, yang berada di Kaki Gunung Salak, dan merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Cibungbulang, sejak Agustus 1995 silam.
Keliling Kampung
Sejak awal memutuskan berjualan, Titin sudah memilih pakaian sebagai barang dagangannya. Alasannya sederhana, bahwa setiap orang pasti ingin tampil cantik dan tampan dengan pakaian yang bagus.
Pun, dalam keseharian, setiap orang juga pasti membutuhkan pakaian yang layak untuk digunakan. Bahkan, bagi sebagian orang, pakaian diyakini sebagai salah satu tolok ukur paling awal dari strata sosial pemakainya.
"Tapi karena modal terbatas, Jadi belum ada kios. Pakaian dagangan kita bungkus jarik, diikat, terus dipanggul, dibawa muter-muter kampung," ujar Titin, sambil didampingi anaknya, Dewi Astuti.
Dengan berjualan keliling kampung itulah, secara perlahan dan bertahap bisnis pakaian Titin mulai berkembang. Pelanggan mulai banyak. Titin pun mulai berani menyetok barang dagangan lebih banyak, dengan harapan makin banyak stok pakaian, pelanggan makin senang dan tertarik membeli.
Seiring berjalannya waktu, Titin pun mulai memberanikan diri membuka kios dengan bermodalkan pinjaman perbankan.
"Sekitar 1993 mulai berani mengajukan kredit ke BRI (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk) buat ngegedein usaha. Buka kios di pasar sini. Saat itu dapat kreditnya Rp1 juta," ungkap Titin.
Saat itu, dikisahkan Titin, kondisi pasar tempatnya berjualan belum seramai sekarang. Bahkan, dengan telah memiliki kios sendiri di era tersebut, Titin pun bisa dianggap sebagai salah satu 'generasi awal' di antara para pedagang di Pasar Parabakti.
Ratusan Juta
Dalam perjalanannya, bisnis Titin pun terus berkembang, dengan stok pakaian yang tersedia di kios semakin bervariasi, dan juga pelanggan yang semakin banyak. Rentang harga barang dagangannya bervariasi, dari mulai Rp5 ribu hingga Rp300 ribu sampai Rp400-an ribu per item.
Hingga saat ini, Titin memperkirakan nilai penjualannya secara rata-rata telah mencapai sekitar Rp10 juta-an per hari. Itu artinya, dalam sebulan Titin bisa mengantongi omzet hingga Rp300 juta-an.
Namun, seperti halnya jenis usaha yang lain, Titin juga kerap mengalami di mana penjualannya sepi pembeli.
"Sesepi-sepinya ya sekitar 10 sampai 20 pembeli per hari mah masih ada. Omzet kalau lagi sepi mungkin sekitar Rp1 juta sampai Rp2 jutaan. Yah namanya juga usaha, pasti ada pasang surutnya," tukas Titin.
Disrupsi
Terkait pasang surut usaha tersebut, Titin mengakui bahwa upaya menjaga usaha agar tetap berjalan hingga saat ini merupakan tantangan yang tidak mudah. Misalnya saja, saat terjadi krisis moneter 1998 di mana daya beli masyarakat menurun drastis akibat inflasi yang berlipat-lipat.
"Lalu juga pas COVID-19. Tapi yang paling berat itu saat jualan online mulai ngetren. Wah itu jualan turun banget. Turun gila-gilaan. Omzet penjualan turun berlipat-lipat," keluh Titin.
Namun, di tengah tekanan demikian, Titin mengaku tak patah arang dan mencoba untuk terus memutar otak, mencari strategi agar bisnisnya dapat bertahan, dan secara bertahap kembali berkembang sesuai harapan.
Bagi Titin, setiap ada tantangan dalam usaha harus juga dinikmati, seperti halnya kita senang saat roda bisnis sedang berputar kencang.
"(Solusinya adalah) Dinikmati saja. Masak mau untung terus. Laris terus. Semua kan pasti ada masanya. Jadi kita jalani dan nikmati saja, sambil berusaha gimana caranya usaha tetap bisa berjalan. Jangan sampai gulung tikar," tandas Titin.
Diversifikasi
Dengan sejumlah tantangan tersebut, Titin mencoba memitigasi risiko kerugian dengan juga berinvetasi pada jenis usaha yang berbeda. Dari sekian banyak jenis usaha lain yang sempat dijajal, Titin juga mencoba berinvestasi dengan membeli angkot.
Saat ini, secara total Titin memiliki empat unit angkot yang disewakan dengan tarif beragam, bergantung dengan usia kendaraan dan panjangnya trayek yang dilalui.
"Ada yang Rp70 ribu (per hari), Rp80 ribu, lalu Rp100 ribu. Tergantung mobilnya, makin tua ya makin murah. Kalau masih usia muda, ya sewanya mahal. Trayek juga (berpengaruh), makin panjang makin mahal, karena si supir kan bisa dapat penumpangnya lebih banyak," jelas Titin.
Dengan terus berbisnis, Titin seolah justru semakin mendapatkan semangat guna menjalani hari-harinya di usia senja. Bahkan, dengan anak-anak yang telah dewasa dan hidup mandiri, pada dasarnya kehidupan Titin kini sudah tidak lagi memiliki banyak kebutuhan untuk dicukupi.
Karenanya, Titin baru-baru ini juga masih berani mengajukan kredit usaha ke Bank BRI sebesar Rp150 juta. Dengan roda bisnis telah berjalan dengan baik, pinjaman tersebut pada dasarnya justru lebih banyak digunakan Titin untuk memperbanyak portofolio investasinya, baik berupa kepemilikan tanah, rumah hingga kios untuk berjualan di pasar.
"Makanya pas terakhir ngajuin (kredit) lagi, anak-anak juga sempat protes, buat apa? Karena bisnis sudah jalan, kebutuhan juga tidak ada lagi. Cuma selama masih kuat (berbisnis), kenapa nggak? Jadi akhirnya anak-anak bisa paham juga," tutur Titin, sembari tersenyum.
Manfaat Besar
Berkaca dari kisah perjuangan Titin dan ratusan bahkan ribuan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lainnya, Bank BRI sadar betul bahwa keberadaan fasilitas kredit memiliki azas manfaat yang demikian besar di masyarakat.
Karenanya, selain mengandalkan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari pemerintah, BRI juga menyediakan sejumlah pilihan kredit usaha lainnya. Salah satunya adalah Kredit Usaha Pedesaan (Pedesaan), yang juga menyasar ke para pelaku UMKM, khususnya di daerah pedesaan.
Keberadaan Kupedes ini menjadi jawaban bagi para pelaku UMKM yang membutuhkan pagu pengucuran dana yang lebih besar bila dibanding dengan Program KUR. Namun, karena tidak mendapatkan fasilitas subsidi dari pemerintah, porsi bunga yang diterapkan Kupedes jadi sedikit berada di atas bunga untuk Program KUR.
Sementara, pemerintah sendiri telah memastikan untuk terus memaksimalkan pengalokasian anggaran negara, guna menopang pelaksanaan Program KUR secara nasional.
Seperti halnya pada 2024 ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian telah memasang target penyaluran hingga mencapai Rp300 triliun sampai akhir tahun.
Dari total target tersebut, BRI sebagai salah satu bank penyalur telah diberikan jatah pagu hingga Rp165 triliun. Dengan pagu tersebut, BRI tercatat sebagai bank penyalur KUR terbesar secara nasional.
"Kami berkomitmen penuh untuk dapat memenuhi target tersebut sebagai bentuk konkret dukungan perusahaan atas pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia," ujar Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, dalam kesempatan terpisah.
Menurut Supari, pihaknya optimistis bahwa target tersebut cukup realistis untuk dipenuhi, mengingat telah tersedianya infrastruktur perusahan secara memadai.
Terlebih, BRI disebut Supari juga telah memiliki sumber pertumbuhan baru melalui Ekosistem Ultra Mikro bersama Pegadaian dan PNM.
"Dari sisi infrastruktur, saat ini kami telah memiliki BRISPOT yang terus dioptimalisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan tenaga pemasar (mantri). Lalu, kami juga akan mengoptimalkan potensi dari ekosistem model bisnis baru seperti PARI dan Localoka," tutur Supari.
Di sepanjang 2023 lalu, BRI tercatat berhasil merealisasikan penyaluran Program KUR hingga Rp163,3 triliun. Nominal penyaluran sebesar itu disalurkan kepada sedikitnya 3,5 juta debitur.
"Penyaluran (KUR) mayoritas dari sektor produksi, dengan kontribusi mencapai 57,38 persen terhadap total nilai yang terealisasi," tegas Supari. (TSA)