ECONOMICS

Tiga BUMN Karya Jual Tol, Pengamat Pertanyakan Dasar Kebijakan

Suparjo Ramalan 10/05/2021 14:05 WIB

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, melontarkan pertanyaan perihal rencana BUMN karya jual tol.

MPI

IDXChannel--Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, melontarkan sejumlah pertanyaan perihal rencana manajemen tiga BUMN Karya yang menjual sejumlah ruas tol kepada investor. 

Aksi melego beberapa ruas jalan tol itu dilakukan BUMN Karya demi mengurangi beban bunga utang. Ketiga perusahaan negara tersebut adalah PT Hutama Karya (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.

Dalam proses transaksinya, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign Wealth Fund (SWF) sebagai lembaga pengelolaan Investasi pemerintah pusat, bertindak sebagai fasilitator antara investor dengan manajemen ketiga perusahaan pelat merah tersebut.

Bhima mempertanyakan, apakah aset jalan tol yang ditawarkan kepada pengusaha asing dan domestik untuk mencari keuntungan atau hanya sekedar menutup kerugian perusahaan saja?

Penjualan tol sangat disesalkan hanya karena BUMN karya sedang mengalami tekanan cash flow dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas. Karenanya, dia memperkirakan, manajemen akan menawarkan harga yang lebih rendah alias diskon. 

"Pertanyaan besarnya apakah aset jalan tol yang dijual untung atau sekedar menutup kerugian? Jawabannya mungkin akhirnya harus dijual dengan harga diskon," ujar Bhima saat dimintai pendapatnya, Senin (10/5/2021). 

Biaya konstruksi jalan tol yang dibangun tercatat cukup mahal. Bhima memperkirakan, pembangunan per kilometer (KM) jalan tol menelan senilai Rp 120 miliar hingga Rp 150 miliar. Jika upaya divestasi aset negara itu bertujuan menjaga cash flow perusahaan dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas, maka kemungkinan besar nilai transaksi yang ditawarkan cukup rendah. Akibatnya, kontras antara biaya konstruksi dan transaksi.

"Padahal dulu saat membangun jalan tol biaya nya Rp120-150 miliar per KM sangat mahal. Nanti yang jadi titik kritisnya adalah mau dijual berapa? Apakah penjualan tol di tengah kondisi keuangan BUMN yang sedang bermasalah bisa mengembalikan modal saat membangun?," tutur dia. 

Sejumlah ruas tol milik negara memang mencuri perhatian Indef. Dalam kajiannya, tercatat ada dua kekeliruan. Pertama, terletak pada tidak terintegrasinya pembangunan jalan tol dengan penurunan biaya logistik. 

Dimana, biaya logistik hanya menurun kurang dari 2 persen atau menjadi 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) saja. Bahkan, tercatat mahal jika dibanding negara di Asean. Persoalan ini memang diakui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara gamblang, Kepala Negara menegaskan, biaya logistik jalan tol di dalam negeri masih sangat mahal, sekitar 24 persen dari PDB. 

Kekeliruan kedua adalah integrasi jalan tol dengan kawasan industri yang dinilai tidak sejalan. Padahal, fungsi tol harusnya dominan untuk angkutan logistik di kawasan industri. Dari sisi ekonomi, jalan tol yang dibangun itu akan mempermudah akses ke bandara, pelabuhan, destinasi wisata, hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, mendukung kelancaran rantai pasok. Ujungnya, memperkuat daya saing dengan menekan biaya logistik. "Tapi karena nggak nyambung dan biaya menjadi mahal akhirnya pelaku industri tidak optimal memakai jalan tol," kata Bhima. (IND) 

SHARE