Tingkatkan Bauran, Menteri ESDM Ungkap Win-Win Solution Skema Investasi Pembangkit EBT
Pmerintah tengah mengkaji secara komprehensif skema yang akan digunakan dengan tidak merugikan PT PLN, dan pengusaha Independent Power Producer (IPP).
IDXChannel - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT PLN (Persero) tengah menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2025-2035 dengan menargetkan sedikitnya 60 persen merupakan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) dari total pembangkit.
"Saya mulai diperintahkan oleh Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih Pak Prabowo untuk mendetailkan, kita konversi RUPTL 2025-2035, 10 tahun kan, RUPTL itu minimum saya katakan 60 persen itu harus energi baru terbarukan," ujar Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dilansir dari siaran pers Kementerian ESDM, Kamis (26/9/2024).
Untuk meningkatkan porsi pembangkit berbasis EBT dalam RUPTL, pemerintah tengah mengkaji secara komprehensif skema yang akan digunakan dengan tidak merugikan PT PLN, pengusaha Independent Power Producer (IPP), maupun tidak memberatkan negara jika akan memberikan subsidi.
Hal itu karena capital Expenditure (capex) dalam pembangunan pembangkit berbasis EBT sangat mahal. Bahlil menyebutkan bahwa untuk 1 MW pembangkit EBT, dana yang dikucurkan mencapai USD6 juta.
Angka tersebut enam kali lebih besar dibandingkan pembangkit berbasis batu bara yang jauh lebih murah, dengan nilai di bawah USD1 juta untuk 1 MW.
Bahlil melanjutkan untuk mengambil jalan tengah permasalahan tersebut, pemerintah sedang meriset opsi yang sudah didiskusikan bersama antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha, dengan memberikan kontrak IPP bekerja sama dengan PLN selama 30 tahun, dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) yang akan diturunkan bertahap setiap 10 tahun.
"Kita tarik break even point-nya (IPP) itu 8 sampai 10 tahun. Setelah harganya tinggi, langsung turun perlahan-lahan. Jadi 10 tahun pertama, supaya ada perbankan yang membiayai pengusahanya hingga break even point, habis itu terus diturunkan, dan kontraknya 30 tahun. Jadi 10 tahun dia berusaha untuk mengembalikan modalnya, 20 tahun dia menikmati hasilnya. Dan Alhamdulillah metode ini dapat diterima baik oleh pemerintah, PLN dan pengusaha. Dan konsep ini saya pikir win-win solution," ujarnya.
Dia pun memberikan contoh skema penurunan harga BPP secara bertahap dalam setiap 10 tahun pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), sehingga ke depannya tidak akan memberatkan beban subsidi negara dan PLN sebagai penyedia jaringan listrik nasional.
"Kalau tidak salah PLN itu menerima itu dalam peraturan kemarin saya sudah tanda tangani untuk 10 tahun pertama sekitar 9,5 sen untuk geotermal. Nanti bertahap 10 tahun, habis itu turun menjadi 7 sampai 7,3 sen. Habis itu diturunkan lagi. Supaya apa? PLN bisa dapat untung dan negara tidak diberikan beban," kata dia.
(NIA DEVIYANA)