ECONOMICS

Utang Global Tembus USD315 Triliun di Kuartal I-2024, Cetak Rekor Tertinggi Baru

Maulina Ulfa 31/05/2024 12:58 WIB

Dunia terperosok dalam utang super jumbo sebesar USD315 triliun, menurut laporan dari Institute of International Finance pada kuartal I-2024.

Utang Global Tembus USD315 Triliun di Kuartal I-2024, Cetak Rekor Tertinggi Baru. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Dunia terperosok dalam utang super jumbo sebesar USD315 triliun, menurut laporan dari Institute of International Finance (IIF) pada kuartal I-2024. Angka ini meningkat sebesar USD1,3 triliun.

Angka ini setara Rp5.116.860.000.000.000.000 atau bisa disebut Rp5,12 kuintiliun jika menggunakan kurs Rp16.244 per dolar Amerika Serikat (AS).

Gelombang utang global ini merupakan kenaikan utang terbesar, tercepat, dan terluas sejak Perang Dunia II, yang bertepatan dengan pandemi Covid-19.

Sekitar dua pertiga dari utang sebesar USD315 triliun berasal dari negara-negara maju, dengan Jepang dan AS yang berkontribusi paling besar terhadap tumpukan utang tersebut. (Lihat grafik di bawah ini.)

Meski rasio utang terhadap PDB di negara-negara maju – yang dipandang sebagai indikator baik kemampuan suatu negara untuk membayar utangnya – secara umum telah menurun, namun, rasio utang global kini mencapai 333 % dari PDB global.

“Peningkatan ini menandai kenaikan triwulanan kedua berturut-turut dan terutama didorong oleh negara-negara pasar berkembang (emerging market), dimana utang melonjak hingga mencapai angka tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu lebih dari USD105 triliun—USD55 triliun lebih dari satu dekade yang lalu,” kata IIF dalam laporan triwulanan Global Debt Monitor Q1 2024.

Sebagian besar penumpukan utang negara berkembang ini berasal dari China, India, dan Meksiko pada kuartal pertama tahun ini. Sebaliknya, Korea, Thailand, dan Brasil mengalami penurunan nilai utang dalam USD yang paling signifikan dari total utang mereka.

Di sisi lain, negara-negara berkembang memiliki utang sebesar USD105 triliun, namun rasio utang terhadap PDB mencapai angka tertinggi baru yaitu 257%, sehingga meningkatkan rasio keseluruhan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun.

IIF mengidentifikasi inflasi yang tinggi dan meningkatnya gesekan perdagangan dan ketegangan geopolitik sebagai faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko signifikan terhadap dinamika utang.

Kondisi ini meningkatkan tekanan pada biaya pendanaan global.

“Meskipun kesehatan neraca rumah tangga dapat memberikan bantalan terhadap ‘suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama’ dalam jangka pendek, defisit anggaran pemerintah masih lebih tinggi dibandingkan tingkat sebelum pandemi,” IIF menambahkan.

Dari USD315 triliun nilai utang tersebut, utang rumah tangga, yang mencakup hipotek, kartu kredit, dan utang pelajar, antara lain, berjumlah USD59,1 triliun.

Utang dunia usaha, yang digunakan korporasi untuk membiayai operasi dan pertumbuhannya, berjumlah USD164,5 triliun, dan sektor keuangan saja menyumbang USD70,4 triliun dari jumlah tersebut. Sisanya adalah utang publik sebesar USD91,4 triliun.

Melansir IIF, rasio utang rumah tangga di Indonesia sendiri mencapai 16,3% dari PDB di kuartal pertama 2024. Angka ini meningkat dibanding kuartal yang sama tahun sebelumnya sebesar 16%. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sementara rasio utang di sektor keuangan Indonesia mencapai 7,1 %, meningkat dari tahun sebelumnya 6,4% pada periode yang sama.

Tandingi Utang Perang Napoleon Era 1800-an

Menumpuknya utang dalam jumlah besar di seluruh dunia ini disebut presiden World Economic Forum (WEF) menandingi era perang Napoleon lebih dari 200 tahun yang lalu.

Dalam wawancara dengan CNBC pada konferensi WEF di Arab Saudi, Borge Brende memperingatkan keseluruhan utang mendekati total output perekonomian dunia.

“Kami belum pernah melihat utang seperti ini sejak Perang Napoleon. Kita mendekati 100% PDB global dalam utang,” katanya.

Data mengenai utang global selama Perang Napoleon, yang terjadi pada awal 1800-an, lebih sulit didapat. Namun sebagai perbandingan, beberapa perkiraan memperkirakan utang pemerintah Inggris akan mencapai lebih dari 200% PDB pada tahun 1815.

Brende juga mengatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah-langkah fiskal untuk mengurangi utang tanpa memicu resesi.

“Untuk saat ini, pertumbuhan global adalah sekitar 3,2% setiap tahunnya, dan hal ini tidaklah buruk, namun angka ini juga berada di bawah tren pertumbuhan sebesar 4% yang telah terjadi selama beberapa dekade,”imbuh Brende.

Hal ini berisiko mengulangi tragedi 1970-an, ketika terjadi pertumbuhan ekonomi yang rendah selama satu dekade.

Selain itu, IIF mencatat, meningkatnya gesekan perdagangan dan ketegangan geopolitik juga menghadirkan potensi hambatan yang signifikan bagi pasar utang.

Seiring dengan upaya China untuk menjadi pemasok teknologi energi baru yang ramah lingkungan dan terdepan di dunia, kendala rantai pasokan yang lebih ketat, yang dipicu oleh kebijakan proteksionisme khusus industri, dapat menyebabkan inflasi dan suku bunga tetap berada di atas tingkat pandemi.

Skenario seperti ini akan melemahkan arus perdagangan dan investasi dan selanjutnya mengurangi kapasitas pembayaran utang luar negeri di negara-negara berkembang. (ADF)

SHARE