Walhi Pertanyakan Izin Lingkungan Megaproyek PLTA Kayan
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim) mempertanyakan izin lingkungan PLTA Kayan.
IDXChannel - Izin megaproyek PLTA Kayan di Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara sudah keluar sejak 10 tahun lalu namun tak menunjukkan progres signifikan. Padahal Presiden Joko Widodo berulang kali memberi perhatian pada proyek yang bakal menghasilkan listrik 9.000 MW ini.
Keseriusan PT Kayan Hydro Energy (KHE) sebagai pengembang PLTA Kayan dipertanyakan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim) bahkan meminta proyek tersebut dihentikan.
“Kami tidak bisa mengakses izin lingkungannya yang telah kami minta sejak 8 tahun lalu. Kami minta gubernur dan bupati meninjau ulang atau bahkan stop saja proyek ini,” kata Direktur Walhi Kaltim Yohana Tiko, Selasa (6/9/2022).
Walhi menilai PT KHE seperti tidak serius bicara soal keselamatan masyarakat Bulungan. Pasalnya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) tidak terpublikasi dan sulit diakses.
Tidak hanya itu, dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga tidak tersedia.
“Izinnya sudah lama, 8 tahun lalu sudah ditanyakan, tapi nihil. Mana Amdalnya, tapi tidak jelas. Seharusnya Gubernur Kaltara maupun Bupati Bulungan bisa melek masalah ini,” kata Tiko
Pembangunan megaproyek seharusnya mendahulukan semua dokumen yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan jiwa. Jika tidak jelas, kata dia, publik bisa saja menilai pembangunan itu membahayakan.
“PLTA KHE itu menghasilkan listrik hingga 9000 MW, cukup besar, lho. Kalau dokumen kajiannya saja tidak jelas, berarti apa? Amdal itu bukan hanya syarat administrasi tapi itu bagian dari analisis resiko bencana,” ujarnya.
Diketahui, PLTA Kayan yang memaksimalkan Sumber Daya Alam (SDA) ini akan menggunakan aliran Sungai Kayan dengan membangun 5 bendungan. Masing-masing dengan 5-6 unit turbin pembangkit tiap bendungan.
Tahap pertama PLTA Kayan akan menghasilkan 900 Megawatt (MW), tahap kedua 1.200 MW, tahap ketiga dan keempat masing-masing 1.800 MW, dan tahap kelima 3.300 MW. Dalam perkembangannya, agenda tersebut belim juga terealisasi.
Padahal sudah 10 tahun lebih direncanakan. Sedangkan pembangunan di lapangan, masih ada izin yang belum lengkap.
Tiko mengungkapkan, pembangunan PLTA itu bakal memindahkan dua desa yakni Desa Long Peleban dan Long Jenuh yang dihuni sebanyak 700 jiwa. Tidak hanya itu, 5 desa di bawah 2 desa itu juga terdampak karena pembangunan dump kecil.
“Masyarakat sekitar tidak diberi ruang, pembangunan ini merampas hajat hidup masyarakat adat di sana. Sudah dapat izin malah tidak jelas dokumennya. Bagaimana bisa bertanggungjawab untuk keselamatan masyarakat di sana,” sebutnya.
Karena dasar tersebut, Tiko meminta swasta sebagai pengelola harus mengikuti kaidah persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau free, prior and informed consent (FPIC) yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
FPIC adalah hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.
Tiko menegaskan, jika dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebencanaan tidak jelas, sebaiknya Gubernur Kaltara dan Bupati Bulungan Kembali berfikir untuk mencabut izinnya.
“Kalau tidak jelas cabut saja. Kan sudah berulang kali ditinjau, kalau masih tidak jelas dan malah berbahaya, stop saja pembangunannya,” tegasnya.
Terpisah, Direktur Operasional PT KHE Khaerony mengatakan pihaknya memiliki tim khusus yang mengurus dokumen Amdal. Sejak 10 tahun lalu, kata dia, perusahaan telah menjalankan proses pembangunan sesuai prosedur dan melibatkan masyarakat.
"Dokumen lingkungan dan lainnya ada tim sendiri yang mengurusi itu. Kalau disebut sulit diakses, saya kurang paham. Tapi sejauh ini, semua dokumen penilaian sudah kami serahkan ke tim penilai. Bahkan digandakan dan sudah dibagi ke dinas-dinas Pemda terkait,” pungkasnya.
(IND)