Waspada Inflasi AS, Deretan Negara Ini Terguncang Akibat Inflasi Terlalu Tinggi
Inflasi yang tidak terkontrol selalu berakhir buruk buat perekonomian suatu negara.
IDXChannel - Tingkat inflasi tahunan (YoY) Amerika Serikat (AS) periode Agustus 2022 telah diumumkan semalam dan menembus angka 8,3 persen.
Indeks harga konsumen (CPI) yang baru saja dirilis oleh Biro Statistik AS tersebut melandai, lebih rendah dari bulan Juli yang sebesar 8,5 persen, dan 9,1 persen pada Juni. Meski demikian, angka itu masih lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar 8,1 persen.
Mengutip Trading Economics, dalam pengumuman terbaru tersebut, produk domestik bruto (PDB) AS juga masih mengalami kontraksi atau negatif 0,6 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Meskipun angka ini masih relatif membaik dari periode sebelumnya yang sempat minus 1,6 persen.
Merujuk pada data CPI bulan Juni lalu, kondisi perekonomian AS secara definisi telah masuk ke jurang resesi. Pada periode tersebut, negeri Paman Sam tersebut mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal dalam tahun yang sama.
Di tengah kondisi global yang tidak pasti, beberapa negara juga diproyeksikan terancam ambruk akibat resesi. Menurut analisis Bloomberg pada Juli 2022, 15 negara Asia akan terancam resesi.
Sri Lanka menempati urutan teratas dengan persentase masuk ke dalam jurang resesi hingga 85 persen. Di bawah Sri Lanka, ada Selandia Baru dengan persentase 33 persen.
Sementara itu, kemungkinan Indonesia masuk dalam jurang resesi dalam laporan tersebut hanya 3 persen.
Adapun negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Jepang, dan China juga diprediksi mengalami hal serupa. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dalam sejarahnya, resesi selalu berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara. Delapan tahun lalu, terdapat beberapa negara yang paling sengsara akibat memburuknya kondisi ekonomi nasionalnya di akhir tahun 2014.
Salah satu yang terburuk adalah Venezuela. Di tahun 2022, kondisi ekonomi Sri Lanka berada di ujung tanduk akibat krisis ekonomi.
Venezuela Sempat Paling Parah, Sri Lanka Terburuk 2022
Dalam memperkuat kesejahteraan dan perekonomian, setiap negara selalu berusaha untuk menekan angka inflasi, pengangguran, dan suku bunga pinjaman, sekaligus meningkatkan produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Namun, beberapa Indikator tersebut tak berhasil dicapai Venezuela. Negara sosialis tersebut dihantam hiperinflasi akibat ketidakstabilan mata uang yang dimulai pada tahun 2016 selama krisis sosial ekonomi dan politik yang sedang berlangsung di negara itu.
Tingkat inflasi menjadi yang tertinggi di dunia pada 2014 di bawah kepemimpinan Nicolás Maduro. Kondisi ini bahkan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya, dengan inflasi menembus angka 1.000.000 persen lebih pada 2018.
Pada 2014, tingkat inflasi tahunan Venezuela mencapai 69 persen, yang merupakan tertinggi di dunia. Di tahun berikutnya, tingkat inflasi bahkan mencapai 181 persen. Angka tersebut mencapai 800 persen pada tahun 2016, lebih dari 4.000 persen pada tahun 2017, dan sekitar 1.700.000% pada tahun 2018. Angka ini mencapai puncaknya 2.000.000 persen dan resmi menempatkan Venezuela pada kondisi hiperinflasi.
Pada Januari 2016, tingkat pengangguran adalah di Venezuela juga menembus 18,1 persen. Pada Oktober 2019, tingkat pengangguran mencapai 35 persen. Kondisi ini menyebabkan banyak anak muda beremigrasi ke negara-negara lain untuk bertahan hidup.
Di tahun 2022, Sri Lanka menjadi negara yang paling terdampak akibat guncangan ekonomi dalam negeri. Mengutip Visual Capitalist, salah satu penyebab utama krisis ekonomi di Sri Lanka adalah ketergantungannya pada impor.
Selain itu, inflasi pangan sempat meningkat 57 persen di bulan Mei 2020, dengan current consumer inflation 39 persen.
Pada 2021, total impor Sri Lanka mencapai USD20,6 miliar dan setahun kemudian total impor hingga Maret 2022 mencapai USD5,7 miliar.
Sedangkan tingkat cadangan mata uang asing yang dilaporkan negara tersebut hanya berada di angka USD50 juta setelah anjlok 99 persen, dari USD7,6 miliar pada 2019.
Beberapa impor teratas pada tahun 2021, menurut data bank sentral negara tersebut di antaranya minyak bumi olahan dengan nilai USD2,8 miliar, tekstil USD3,1 miliar, produk kimia USD 1,1 miliar, hingga makanan dan minuman mencapai USD1,7 miliar. Tanpa adanya cadangan devisa yang mumpuni, kondisi tersebut menempatkan Sri Lanka pada situasi krisis yang semakin drastis.
Selain itu, utang yang ditimbulkan Sri Lanka sangat besar. Kondisi ini yaang semakin menghambat kemampuan untuk meningkatkan cadangan devisa negara. Baru-baru ini, Sri Lanka gagal membayar pinjaman USD78 juta dari kreditur internasional, dan secara total, memiliki hutang luar negeri USD50,7 miliar.
Sumber terbesar utang mereka sejauh ini berasal dari pinjaman pasar, diikuti oleh pinjaman yang diambil dari Bank Pembangunan Asia, Cina, dan Jepang.
Jika belajar dari beberapa negara tersebut, Indonesia perlu memperhatikan beberapa indicator untuk mencegah dampaknya bagi perekonomian nasional.
Di antaranya impor BBM yang selama ini menjadi jalan satu-satunya pemenuhan energi nasional dan perlunya kebijakan mitigasi dalam merespon ancaman kenaikan suku bunga akibat guncangan ekonomi AS. (ADF)