Waspadai Inflasi Akibat Konflik Rusia-Ukraina, Ekonom: Butuh Perubahan dalam APBN
Bhima Yudhistira mengatakan bahwa situasi yang mendesak akibat invasi Rusia ke Ukraina adalah inflasi.
IDXChannel - Ekonom sekaligus Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa situasi yang mendesak akibat invasi Rusia ke Ukraina adalah inflasi. Dampak inflasi terhadap harga pangan maupun harga energi, bahkan sebelum konflik tersebut, beberapa komoditas energi dan pangan sudah mengalami kenaikan.
"Jadi, satu, segera lakukan perubahan di dalam APBN untuk menyesuaikan pos belanja, khususnya pos belanja subsidi energi, subsidi pangan, dan belanja jaminan sosial. Karena tiga komponen ini yang sekarang dibutuhkan untuk meredam kenaikan harga yang mungkin dalam jangka pendek akan dirasakan di tanah air, khususnya penyesuaian BBM, LPG, dan tarif dasar listrik," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Minggu(27/2/2022).
Dia mengingatkan, jaring pengaman harus dipertebal. Kedua, Indonesia memang memiliki ketergantungan besar akan gandum dari Ukraina dan Rusia juga merupakan salah satu eksportir gandum untuk Indonesia. Yang perlu dilakukan, sambung Bhima, adalah pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Perdagangan, memanggil para importir dan pelaku di industri makanan dan minuman untuk mencari solusi bersama, termasuk mengalihkan barang-barang yang dibutuhkan sebagai komoditas bahan baku seperti gandum ke negara lainnya, seperti China, Australia, dan Amerika Serikat.
"Ini harus dikunci kontraknya dalam jangka panjang, karena apa yang terjadi di Ukraina sepertinya tidak akan surut dalam jangka pendek ini. Ini salah satu mitigasinya," ungkap Bhima.
Tetapi, mitigasi lainnya adalah bagi para pelaku usaha lainnya, agar tidak buru-buru menaikkan biaya kepada konsumen. Dia menyebutkan, bisa dilakukan pemangkasan atau efisiensi di beberapa lini produksi sebelum akhirnya diputuskan untuk meneruskan beban biaya yang naik kepada konsumen.
"Jadi harus diminta pengertian bagi pengusaha bahwa situasi sekarang tidak semua konsumen siap untuk menerima naiknya harga, karena bisa mempengaruhi daya beli. Beberapa pengusaha sudah memahami itu, sehingga mereka memotong margin keuntungan dibandingkan menaikkan harga jual atau retail," jelas Bhima.
Mitigasi lainnya adalah melalui kebijakan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah juga penting karena konflik ini bisa berdampak ke nilai tukar sehingga perlu dijaga supaya tetap stabil dengan berbagai intervensi moneter dari Bank Indonesia (BI). Dia mengatakan ada beberapa peluang, yang pertama adalah relokasi investasi dari Eropa Timur, khususnya negara-negara berkembang di sana, bahkan Rusia, karena mereka sekarang mencari negara lain sebagai basis produksi.
"Tentunya Indonesia bisa mengajukan diri kalau dirasa memang Indonesia memiliki daya saing dan kesiapan kawasan industri dalam negeri. Yang kedua, potensinya adalah menjadikan substitusi produk-produk dari Rusia dan Ukraina, yang besar kan, Rusia salah satunya adalah plastik, pupuk, dan produk turunan kayu," ungkap Bhima.
Indonesia, sebut dia, memiliki produk-produk ini, jadi harusnya didorong juga substitusi produk-produk dari Rusia baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia maupun untuk menggantikan posisi Rusia di negara-negara yang potensial sebagai tujuan ekspor.
"Jadi, kalau Rusia terganggu rantai pasoknya untuk mengekspor kayu, plastik, dan pupuk, Indonesia bisa mengambil peran itu. Ini adalah momentum sekali seumur hidup yang harus dimanfaatkan bagi perekonomian Indonesia," pungkas Bhima.
(NDA)