Yuk, Kenalan dengan BRICS: Pesaing NATO
BRICS pernah digadang-gadang menjadi pesaing aliansi negara-negara maju dari segi perekonomian.
IDXChannel—BRICS dan NATO pernah disandingkan sebagai perkumpulan negara berkekuatan besar. Sugesti pencarian di Google pun menunjukkan ketertarikan pengguna untuk mendiskusikan perbandingan, kumpulan mana yang lebih powerful dari segi ekonomi dan peperangan.
NATO sudah lazim terdengar dan ditulis oleh media internasional dan nasional. Tapi pernahkah Anda mendengar BRICS?
Dilansir dari Investopedia (3/2), BRICS adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa). Akronim ini pertama kali diperkenalkan dalam thesis yang dibuat oleh seorang ekonom Goldman Sach, Jim O’Neill, pada 2001.
Mulanya, O’Neill hanya mengumpulkan empat negara pertama, dan menambah Afrika Selatan dalam daftar tersebut pada 2010. Ekonom itu memprediksikan bahwa pada 2050, perekonomian BRICS bakal mendominasi dunia.
Kesimpulan menuai beragam reaksi. Ada yang skeptis menanggapinya, ada pula yang serius menanggapi prediksi yang dibuat oleh O’Neill. Namun ada juga yang menganggap BRICS hanyalah strategi marketing yang dibuat oleh Goldman. Perlu diketahui, Goldman Sach adalah salah satu perusahaan finansial terkemuka di dunia.
Sementara NATO adalah the North Atlantic Treaty Organization, perkumpulan 30 negara yang anggotanya adalah 28 negara-negara Eropa dan dua negara di Amerika Utara yang membentuk aliasi militer.
Lantas, apa perbedaan NATO dan BRICS?
Perbedaan NATO dan BRICS
Perbedaan yang paling mencolok adalah bentuk aliansi. NATO adalah perkumpulan negara yang sepakat untuk membentuk aliansi militer. Kurang lebih sama seperti negara-negara Asia Tenggara yang membentuk asosiasi multilateral yang hingga kini masih aktif berjalan, yakni ASEAN.
Sedangkan BRICS hanyalah akronim, alias singkatan, tanpa ada kesepakatan aliansi di antara negara-negara di dalamnya. Sehingga, BRICS adalah perkumpulan yang bersifat informal, meskipun pada perjalanannya, negara-negara BRICS menggelar pertemuan tahunan untuk menyusun rencana kerja sama.
Kesimpulan O’Neill tentang BRICS pun hanya terbatas pada ranah ekonomi. Menurutnya saat itu, BRICS berpotensi untuk membentuk blok perekonomian yang kuat, mengalahkan negara-negara maju.
BRICS kemudian muncul kembali pada laporan-laporan yang dibuat koleganya yang kala itu juga bekerja untuk Goldman Sach.
Namun gembar-gembor soal BRICS akhirnya mereda pada 2015. Perekonomian BRICS rupanya mulai melambat pada 2014 setelah penurunan harga minyak dan krisis keuangan. Setahun setelahnya, akronim tersebut tak lagi dinilai menarik dari segi investasi dan pendanaan.
Goldman Sach sendiri menggabungkan dana investasi BRICS-nya dengan ekuitas pasar berkembang yang lebih besar. Pendanaan BRICS yang telah dikumpulkan oleh perusahaan tersebut telah hilang asetnya hingga 88% pada 2010.
Hingga akhirnya Goldman Sach sendiri mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi melihat kemungkinan atau potensi pertumbuhan aset yang signifikan di masa mendatang pada sektor pendanaan BRICS.
Kembali Dibahas
Setelah gembar-gembor BRICS mereda, akronim tersebut mulai digunakan sebagai akronim populer untuk merujuk pada negara-negara anggotanya.
Namun BRICS kembali diperbincangkan beberapa bulan silam tak lama setelah invasi Rusia ke Ukraina. Dilansir dari Economicobservatory (3/2), melaporkan bahwa setidaknya ada negara-negara yang menunjukkan ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS.
Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi, Turki, Argentina, Mesir, dan Iran. Kendati demikian, meskipun kelima negara tersebut bergabung, secara ekonomi BRICS dinilai tetap tak akan bisa menyaingi aliansi negara-negara maju.
Hal yang dikhawatirkan oleh negara-negara barat justru adalah BRICS akan menjadi kumpulan negara-negara yang nasionalis dan otoriter.
Demikianlah ulasan singkat tentang BRICS dan perbedaannya dengan NATO. Sampai saat ini, BRICS tidak memiliki institusi yang formal dan serius seperti aliansi ataupun asosiasi multilateral lainnya. (NKK)