INSPIRATOR

Kisah Inspiratif Butet Manurung: Berkelana di Hutan Bertahun-Tahun Demi Pendidikan Anak Rimba

Kurnia Nadya 08/03/2023 18:59 WIB

Kisah inspiratif tentang Butet Manurung berulang kali naik ke permukaan, ia adalah perempuan yang berjasa besar pada pendidikan advokasi anak-anak rimba.

Kisah Inspiratif Butet Manurung: Berkelana di Hutan Bertahun-Tahun Demi Pendidikan Anak Rimba. (Foto: Instagram/Butet Manurung)

IDXChannelKisah inspiratif yang tepat dibagikan dalam perayaan Hari Perempuan Internasional adalah tentang Butet Manurung, aktivis dan antropolog yang mendalangi penyediaan pendidikan untuk anak-anak rimba di suku pedalaman Indonesia. 

Perjuangan Butet memberikan pendidikan kepada anak-anak rimba sudah dibukukan, ditulis oleh Butet sendiri, dan telah difilmkan oleh Riri Riza dengan judul ‘Sokola Rimba’, diperankan oleh Prisia Nasution. 

Butet adalah salah satu perempuan yang berjasa besar pada peningkatan literasi di komunitas suku-suku pedalaman Indonesia. Ia berkelana dari hutan ke hutan untuk mengajari anak-anak rimba baca tulis, hal sederhana yang berdampak besar bagi hidup masyarakat adat

Perjalanan Butet dimulai pada 1999, dan ia bersama rekan-rekannya mulai menyusun kurikulum pendidikan yang untuk diajarkan ke anak-anak rimba. Sejak saat itulah, Sokola Rimba bergerak dan berkembang hingga saat ini. 

Bagaimana perjalanan Butet menyebarluaskan pendidikan di masyarakat adat? Simak kisahnya berikut ini. 

Kisah Inspiratif Butet Manurung: Berkelana di Hutan Demi Anak-Anak Rimba

Butet Manurung bernama asli Saur Marlina Manurung, terlahir pada 21 Februari 1971. Ia merupakan lulusan Universitas Padjajaran,Australian National University, dan pernah mengikuti kursus di Harvard University. 

Ia pernah bekerja dalam proyek konservasi bersama LSM Warsi pada 1999. Sepanjang studi dan pekerjaannya, ia dekat dengan masyarakat adat di penjuru Indonesia. Saat ia bergabung dengan Warsi itulah, Butet mulai menyusun program pendidikan untuk masyarakat rimba di bermukim di hutan Bukit Duabelas, Jambi. 

Materi ajarnya sederhana, yakni baca dan tulis. Mengenalkan huruf dan angka pada anak-anak rimba. Hal ini terkesan sepele bagi masyarakat modern, namun berarti besar bagi masyarakat adat yang jauh dari peradaban ramai, tak tersentuh modernisasi. 

Saat itu, banyak orang-orang rimba yang buta huruf, sehingga seringkali dicurangi banyak pihak yang berupaya mengeruk keuntungan dari hutan yang mereka tinggali. Mulai dari perusahaan, komunitas keagamaan, bahkan masyarakat setempat sendiri. 

Mengajari baca tulis ke anak-anak rimba memungkinkan mereka untuk membela diri saat menghadapi pihak luar yang hendak berurusan dengan area tempat tinggal mereka. Dilansir dari Times Asia (8/3), Butet tinggal selama berbulan-bulan di hutan Bukit Duabelas memberi pengajaran kepada anak-anak rimba. 

Upayanya tak setiap saat disambut dengan baik oleh para orangtua. Dalam cuplikan film Sokola Rimba, salah seorang ibu dari anak-anak rimba berkata, “Aku tidak mau anakku belajar. Kalau dia ikut belajar, nanti dia pergi dan tidak kembali lagi.” 

Butet juga pernah terancam dikeluarkan dari komunitas akibat tekadnya untuk mengajari anak-anak rimba. Namun ia bertahan, dan terus mengajari mereka berbekal dengan papan tulis kecil dan kapur.

Selama tinggal di hutan bersama masyarakat adat, Butet tak segan-segan berbaur. Tak malu berpakaian sehelai kain dan bergabung dengan penduduk suku setempat. Tampilannya ini pernah direkam dan tayang di televisi pada awal 2000an. 

Salah satu muridnya yang merupakan anak kepala desa, terbukti mampu menunjukkan ketidakakuratan dalam kontrak tertulis tentang sengketa wilayah. Dari situlah, ia akhirnya mendapatkan dukungan dari kepala desa. 

Pada Times ia mengaku, menjadi konservator adalah hal yang sia-sia. Sebab hutan pada akhirnya akan terus tergerus luasannya dalam 20 tahun ke depan. Wawancara ini dilakukan oleh Times pada 2004, yang artinya, saat itu Butet masih berkelana di dalam hutan. 

“Saya mau realistis saja, daripada meromantisasi,” tuturnya. 

Kisah Inspiratif Butet Manurung: Sokola Membantu Masyarakat Adat agar Mandiri 

Sepanjang perjalanannya mengajari anak-anak rimba di dalam hutan, Butet dan rekan-rekannya banyak membantu permasalahan yang dihadapi masyarakat adat. Sejak dulu, menurutnya, masyarakat adat menghadapi banyak masalah. 

Dilansir dari insideindonesia.org (8/3), tiap-tiap suku di wilayah yang berbeda, kata Butet, menghadapi masalah yang berbeda. Ada yang menghadapi pembalakan liar, ada yang menghadapi ancaman bom ikan. 

Namun di samping ancaman-ancaman itu, masyarakat adat juga menghadapi stigma orang-orang yang tinggal di luar hutan. Masyarakat modern cenderung memandang mereka sebelah mata dan sulit menerima adat istiadat suku yang telah berlaku turun temurun. 

Di sinilah Butet dan Sokola Rimba juga berperan, ia dan rekan-rekan relawan mengajari keahlian yang diperlukan untuk menghadapi ancaman dari luar, sekaligus menghadapi masyarakat di luar. Sehingga, Sokola yang dulu fokus mengajari literasi, kini berkembang menjadi pendidikan advokasi masyarakat adat. 

“Kita juga mengajarkan orang rimba untuk memahami ‘orang luar’, agar mereka bisa membantu orang luar memahami mereka. Dulu orang rimba sering diejek, mereka malu dan menangis. Sekarang tidak, karena mereka juga diajarkan untuk memahami perspektif orang luar,” tutur Butet. 

Butet mengaku, Sokola Rimba tak mampu menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di penjuru Indonesia. Oleh sebab itu, ia dan institut yang dibangunnya kini fokus pada pengajaran yang dapat membantu masyarakat adat untuk mandiri. 

“Identifikasi masalah harus datang dari mereka, kami hanya memfasilitasi sehingga mereka mampu menyelesaikan masalah sendiri, menjalin jaringan sendiri, dan membela masalahnya sendiri. Mereka tentu tidak bisa merampungkan semua masalah, tapi setidaknya mereka tahu ke mana harus bertanya,” lanjut Butet. 

Kisah Inspiratif Butet Manurung: Lebih Baik Tidur Enak Bangun Miskin

Butet mengaku, mempertahankan Sokola Rimba tidaklah mudah. Selain masalah kaderisasi, ia dan rekannya juga kerap menghadapi masalah pendanaan. Dalam wawancara dengan insideindonesia.org, Butet mengaku pembuatan film tak lantas membuat dana berdatangan ke Sokola Rimba. 

Dana-dana yang datang, kata Butet, sebagian justru datang dari pihak-pihak yang masuk dalam daftar hitam Sokola Rimba, yakni perusahaan-perusahaan yang punya rekam jejak buruk pada kehidupan masyarakat adat. 

“Biarpun ngiler, terpaksa harus kami tolak karena tidak etis. Daripada enggak enak nelan makan seumur hidup, kerikil nancep di tenggorokan enggak akan hilang-hilang. Mending tidur enak tapi bangun miskin,” ucap Butet. 

Ia dan rekan-rekannya sepakat untuk menolak pendanaan dari pihak-pihak yang masuk dalam daftar hitam itu. Sokola Rimba juga tidak mau menerima bantuan beragenda politik dan agama. 

“Namun ini tergantung komunitasnya. Ada komunitas yang sudah berinteraksi dengan kelompok agama tertentu jauh sebelum Sokola datang. Lembaga-lembaga netral malah tidak banyak yang tertarik, alasannya karena lokasi-lokasi di pedalaman. Susah dikunjungi dan dipublikasikan,” lanjutnya. 

Sokola Rimba kini telah berjalan selama satu dekade lebih. Banyak relawan yang telah bergabung dengan Sokola dan turut terjun ke lapangan untuk menyediakan pendidikan ke anak-anak rimba.

Dilansir dari website resti Sokola Rimba, saat ini institusi tersebut menjalankan 11 program untuk masyarakat adat yang berbeda. Ada Sokola Pesisir, Hokola Humba, Sokola Tengger, Sokola Asmat, Sokola Kaki Gunung, dan lain-lain. 

Tercatat ada 30 orang tergabung dalam tim Sokola Rimba, termasuk di antara Butet sendiri. Dalam jajaran relawan itu, dua di antaranya adalah murid anak rimba yang pernah diajari Butet. 

Berkat tekad kuat dan jasa besarnya ini, Butet mendapat banyak penghargaan internasional. Di antaranya adalah ‘Nobel Asia’ Ramon Magsaysay Award 2014, Time Magazine’s Hero of Asia 2004, Unesco’s Man dan Biosphere Award 2001, dan lain-lain. 

Demikianlah seulas kisah inspiratif tentang Butet Manurung, perempuan tangguh yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat lewat pendidikan. (NKK)

SHARE