Sosok di Balik HM Sampoerna (HMSP), Nyaris Seabad Lintasi 3 Generasi
Sosok di balik HM Sampoerna adalah tiga generasi keluarga. Didirikan oleh Liem Seeng Tee, dan diteruskan oleh anak dan cucunya.
IDXChannel—Cerita tentang sosok di balik HM Sampoerna sangat menarik untuk diulas. Sebelum Sampoerna menjadi salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, sang pendiri memulai bisnisnya dengan berkeliling menjual rokok keliling di Ngaglik, Surabaya.
Sejak 15 Maret 2005, PT HM Sampoerna Tbk diakuisisi oleh Philip Morris International dengan nilai transasi USD5,2 miliar. Mulanya Philip Morris hanya menguasai 40% saham perusahaan, namun pada 18 Mei 2005, penguasaan Philip Morris bertambah menjadi 97%.
Sampoerna adalah salah satu rokok yang paling populer dan digemari di Indonesia. Konsumennya tersebar dari berbagai segmen usia, meskipun umumnya masyarakat mengetahui Sampoerna sering digunakan oleh anak-anak muda.
HM Sampoerna dirintis oleh Liem Teeng See, yang kemudian diteruskan serta dibesarkan oleh anak dan cucunya, Aga Sampoerna dan Putera Sampoerna.
Bagaimana kisah sosok di balik HM Sampoerna? Mari simak ulasan singkat berikut ini.
Sosok di Balik HM Sampoerna: Mulanya Melinting Sendiri
Sejarah HM Sampoerna bermula dari imigran Tionghoa bernama Liem Seeng Tee dan istrinya, Siem Tjiang Nio, yang membuka usaha rokok kecil-kecilan di Surabaya. Liem punya pengalaman meracik dan melinting rokok dari pekerjaannya di Lamongan.
Liem sendiri yang menjajakan rokok lintingannya dengan berkeliling naik sepeda di daerah Ngaglik. Ia mulai memproduksi rokok secara komersial pada 1913 dengan wadah Handel Maatschappij Liem Seeng Tee.
Dari sinilah, rokok kretek lintingan Liem dikenal dengan nama Dji Sam Soe, dengan angka 234 yang jika dijumlah adalah angka keberuntungan Liem. Para perokok di Indonesia sangat kenal dengan formasi angka ini.
Sosok di Balik HM Sampoerna: Jatuh Bangun Liem
Usai bisnisnya beroperasi, Liem berulang kali jatuh bangun mempertahankan usahanya. Warungnya pernah terbakar pada 1916, sehingga menjatuhkan usaha rokoknya. Kali kedua Liem harus menyaksikan bisnisnya goyah adalah saat Jepang menduduki Indonesia.
Liem ditangkap oleh tentara Jepang, pabriknya dipaksa memproduksi rokok untuk para tentara. Liem juga dikirim kerja paksa ke Jawa Barat. Namun setelahnya ia membangun bisnis kembali dengan kegigihan tinggi.
Setelah warungnya terbakar dan sebelum ditangkap Jepang, Liem membeli pabrik rokok dengan uang tabungannya. Kemudian selama lima tahun ia meracik rokok dengan formula terbaik, dan berhasil memproduksi beberapa varian.
Nama Sampoerna pertama kali digunakan pada 1930, Liem berharap agar rokok produksinya adalah yang terbaik. Sekitar tahun 30an juga, Liem memboyong keluarga dan pabriknya pindah ke Jembatan Merah.
Liem membeli bangunan bekas panti asuhan yang kemudian dikenal sebagai Taman Sampoerna dan sampai saat ini masih berdiri sebagai salah satu landmark di Surabaya. Saat itu, Sampoerna sudah memiliki 1.300 karyawan dan mampu memproduksi 3 juta batang per minggu.
Usai kependudukan Jepang berakhir, Liem harus membangun bisnisnya dari nol. Namun sekali lagi ia berhasil mempertahankan bisnisnya, bermodalkan merk Dji Sam Soe yang sudah populer.
Sampoerna akhirnya pulih pada 1949, seiring para penyalur yang mulai berdatangan untuk kembali berlangganan stok rokok darinya. Namun pada akhir 1956, perusaahan hampir tutup karena faktor internal. Kematian Liem pun turut berpengaruh pada kondisi bisnis Sampoerna.
Sosok di Balik HM Sampoerna: Generasi Berikut Mengambil Alih
Sampoerna akhirnya diteruskan oleh putera Liem, Aga Sampoerna, selama beberapa periode sebelum akhirnya dilanjutkan oleh putera bungsu Aga, yakni Putera Sampoerna. Kedua penerus Liem inilah yang berperan besar dalam pengembangan perusahaan.
Berpuluh tahun setelah Aga memegang kendali, Sampoerna akhirnya mampu memproduksi 1,3 juta batang per hari. Ia juga menerapkan prinsip rokok harus laku terjual hari itu, dan akhirnya berhasil menjual 2,5 juta batang per hari karenanya.
Putera yang mulai dipersiapkan menggantikan Aga sejak 1977, menerapkan banyak perubahan yang membawa Sampoerna kian besar. Ia membangun pabrik baru seluas 153 Ha untuk memproduksi rokok secara modern, ia juga menerapkan pembelian tembakau langsung dari petani.
Putera juga yang menerapkan sistem pasokan tembakau untuk memastikan kebutuhan produksi tercukupi setiap saat. Putera juga membeli mesin-mesin baru untuk memproduksi kretek. Tak lama sesudahnya, Sampoerna mulai menjual sendiri produknya tanpa bergantung pada agen.
Dua generasi setelah Liem, Sampoerna akhirnya berhasil mengekspor produknya ke Malaysia, Myanmar, Vietnam, Filipina, dan Brasil.
Pada 1990-an, HM Sampoerna tercatat mampu memproduksi 64 juta batang per minggu, dan kapasitas terus bertambah hingga mencapai 170 juta batang per minggu pada 1995-1996, dan akhirnya naik menjadi 660 juta batang per minggu.
Usai Aga Sampoerna wafat, Putera mulai memasukkan pekerja professional dari luar lingkungan perusahaan untuk memimpin HM Sampoerna. Pada 1990 juga, HM Sampoerna yang saat itu telah dikenal sebagai PT Hanjaya Mandala Sampoerna resmi melantai di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya.
HM Sampoerna melepas 15% kepemilikan sahamnya dengan harga penawaran Rp12.600 per lembar. Saham Sampoerna sempat menjadi salah satu yang termahal di Indonesia, dengan harga tertinggi lebih dari Rp100.000 sebelum stock split.
Akuisisi Philip Morris terjadi pada masa Putera Sampoerna. Meski tak lagi menguasai perusahaan, Putera tetap mengelola bisnisnya di bidang agroindustri yang masih dalam naungan Sampoerna Strategic Group.
Demikianlah ulasan singkat mengenai tiga sosok di balik HM Sampoerna, sebuah bisnis tembakau yang berlangsung selama lebih dari 90 tahun, melintasi tiga generasi keluarga. (NKK)