MARKET NEWS

5 Strategi Investasi agar Bisa Meraup Untung, Terutama Saham Undervalued

Dian Kusumo 30/08/2023 18:41 WIB

Seringkali saat membeli sebuah saham, seorang investor disarankan untuk membeli saham yang sedang undervalued.

5 Strategi Investasi Agar Bisa Meraup Untung, Terutama Saham Undervalued. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Seringkali saat membeli sebuah saham, seorang investor disarankan untuk membeli saham yang sedang undervalued. 

Hal ini karena cara ini direkomendasikan oleh Warren Buffett, salah seorang investor terkemuka di dunia. 

Apa itu saham undervalued dan bagaimana cara menemukannya? 

Pengertian Saham Undervalued
Secara bahasa, undervalue artinya diremehkan. Secara istilah, saham undervalue adalah saham yang dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai intrinsiknya. 

Apabila perhitungan investor benar, maka terdapat kemungkinan harga saham tersebut akan naik, sehingga mendatangkan keuntungan di masa depan. 

Nilai intrinsik adalah nilai dari hal-hal dasar yang membangun harga atau nominal sebuah barang. Misalnya, dalam pembuatan baju, nilai intrinsik baju tersebut adalah biaya bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi baju tersebut, sementara nilai nominal adalah harga jualnya di pasaran. 

Dalam konteks saham, nilai intrinsik sebuah saham adalah kondisi fundamental perusahaan yang menerbitkan saham tersebut, mulai dari kondisi bisnis hingga keuangan. 

Sederhananya, asumsinya adalah sebuah perusahaan dengan kondisi fundamental yang bagus pasti memiliki harga jual yang mahal, begitupun sebaliknya. 
Kebalikan dari saham undervalued adalah saham overvalued. 

Dalam kondisi yang terakhir ini, nilai nominal atau harga saham melebihi nilai intrinsiknya. 

Dengan kata lain, kondisi finansial perusahaan penerbit saham tersebut tidak terlalu bagus, namun harganya di pasaran tinggi. 

Penyebab Saham Undervalued

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sebuah saham “diremehkan” oleh pasar:

1. Tidak diterbitkan oleh perusahaan terkenal

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya seorang investor terkadang mempertimbangkan untuk membeli saham sebuah perusahaan karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka. 

Misalnya, karena merupakan perusahaan BUMN atau produknya bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebaliknya, sebuah perusahaan yang target konsumennya adalah sesama perusahaan lain, bisa jadi tidak terlalu terkenal di mata masyarakat, sehingga investor yang ingin membeli saham perusahaan tersebut juga sedikit. 

2. Kondisi ekonomi makro
Kondisi ekonomi makro dan kebijakan pemerintah juga dapat mempengaruhi penurunan atau peningkatan harga saham karena perubahan sentimen masyarakat. 

Tahun 2022 lalu misalnya, kondisi ekonomi global ditambah dengan kebijakan pemerintah membuat sentimen positif terhadap saham perusahaan tambang batubara. 

Sebaliknya, apabila kondisi ekonomi makro dan kebijakan pemerintah tidak “pro” terhadap industri terkait, bukan bukan tidak mungkin investor akan kehilangan minat untuk membeli saham perusahaan tersebut, meskipun pada dasarnya kondisi keuangan perusahaan tersebut baik-baik saja. 

3. Kondisi permintaan barang dan jasa perusahaan

Sederhananya, apabila permintaan terhadap barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan menurun, maka harga saham perusahaan tersebut juga akan turun. Hal ini karena investor akan menilai kalau potensi bisnis perusahaan tersebut tidak akan baik. 

4. Kondisi internal perusahaan

Secara tata kelola, kondisi internal perusahaan penerbit saham yang undervalued bisa jadi baik-baik saja. Namun karena satu dan lain hal, seperti sentimen negatif terhadap salah seorang investor atau pejabat atau hanya karena orang-orang dibalik perusahaan tersebut kurang terkenal, harga saham perusahaan itu jadi lebih rendah dibandingkan dengan yang seharusnya. 

Ciri- Ciri Saham Undervalued

Selain kondisi bisnis yang memungkinkan perusahaan untuk berkembang, berikut ini ciri-ciri atau karakteristik saham yang undervalue:

1. Pendapatan dan laba perusahaan relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir. 
2. Perusahaan tidak bergerak di bidang teknologi yang terlalu fluktuatif. 
3. Perusahaan tidak sedang dan tidak pernah berada dalam skandal keuangan selama beberapa tahun terakhir. 
4. Rendahnya nilai price to earning ratio (P/E) saham tersebut bukan karena banyak investor atau trader yang mengambil keuntungan ketika harganya sedang naik.
5. Rendahnya nilai price to earning ratio (P/E) saham tersebut bukan karena besarnya penurunan pendapatan dan laba perusahaan. 
6. Nilai rata-rata P/E ratio perusahaan tersebut lebih rendah dibandingkan perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama selama 10 tahun terakhir. 
7. Nilai kapitalisasi pasar perusahaan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai total asetnya.
8. Laba perusahaan tersebut meningkat selama 3 tahun terakhir. 
9. Perusahaan tersebut mendapatkan peringkat A, AA atau AAA dari lembaga pemeringkat efek. Perusahaan juga bisa saja tidak mendapatkan peringkat sama sekali karena memang tidak memiliki utang. 
10. Perusahaan tersebut tidak merugi ketika ekonomi makro sedang mengalami resesi. 
11. Nilai PEG ratio perusahaan tersebut rendah. Nilai PEG ratio yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa nilai P/E ratio perusahaan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan nilai pertumbuhannya.


(DKH)

SHARE