Analis Soroti Dampak Ganda Aturan Baru Penjatahan IPO
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru terkait penjatahan efek dalam penawaran umum, melalui SEOJK No. 25/SEOJK.04/2025 yang mulai berlaku pada 17 Nov
IDXChannel – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru terkait penjatahan efek dalam penawaran umum, melalui SEOJK No. 25/SEOJK.04/2025 yang mulai berlaku pada 17 November 2025.
Regulasi ini menyempurnakan ketentuan sebelumnya dan membawa sejumlah perubahan penting demi meningkatkan porsi ritel serta pemerataan alokasi IPO.
Salah satu perubahan utama adalah kenaikan porsi penjatahan terpusat untuk investor ritel, yang kini mencapai setengah dari total alokasi terpusat.
Sebelumnya, porsi ritel hanya sepertiga sehingga ruang bagi investor individu relatif lebih sempit.
OJK juga menetapkan batas pemesanan baru, yakni maksimum 10 persen dari nilai keseluruhan efek yang ditawarkan.
Jika pemesanan melebihi ambang tersebut, pesanan tidak akan diproses dan harus disesuaikan kembali oleh calon investor. Ketentuan ini tidak ada dalam regulasi sebelumnya.
Regulasi baru tersebut turut merevisi struktur golongan penawaran umum dari empat menjadi lima golongan.
Penawaran dengan nilai efek hingga Rp250 miliar, yang dulu berada dalam satu golongan, kini dipecah menjadi dua kategori agar emiten kecil memperoleh ruang alokasi yang lebih besar.
Untuk golongan dengan nilai terkecil, minimum alokasi efek dinaikkan menjadi 20 persen atau Rp10 miliar, sehingga penawaran dengan skala kecil tidak lagi kehilangan porsi distribusi.
Selain itu, OJK menyesuaikan kembali ketentuan minimum alokasi ketika terjadi kelebihan pemesanan (oversubsribed).
Untuk golongan pertama, misalnya, rentang alokasi kini bergerak antara 22,5 hingga 30 persen, lebih tinggi dibandingkan ketentuan sebelumnya yang berada pada kisaran 17,5 hingga 25 persen.
Tanggapan Pelaku Pasar
Stockbit Sekuritas menilai, pada Rabu (3/12/2025), perubahan tersebut positif bagi investor ritel. Penambahan golongan, pengetatan batas pemesanan, dan penyesuaian alokasi minimum saat oversubscribed dipandang dapat meningkatkan akses sekaligus memperluas pemerataan penjatahan dalam setiap proses IPO.
Sementara, pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai aturan baru ini membawa konsekuensi ganda bagi pasar. Ia menyebut kebijakan tersebut ‘seperti dua sisi mata uang’.
“Di satu sisi akan menjadi positif bagi investor ritel karena porsi penjatahan akan bisa lebih besar,” katanya, Kamis (4/12/2025).
Namun, ia mengingatkan adanya potensi tekanan jual yang lebih berat ketika saham mulai diperdagangkan. “Tapi di sisi lain, kerja dari emiten itu sendiri akan lebih berat ketika listing IPO, karena akan ada potensi mendapat tekanan seller yang lebih besar dari ritel juga,” ujarnya.
Meski begitu, Michael tetap memandang revisi aturan ini sebagai langkah maju. Ia kemudian memberi ilustrasi sederhana untuk menggambarkan dampaknya terhadap pergerakan harga.
“Sebagai contoh, jika penjatahan sebesar 1 persen yg umum di saham oleh ritel, kenaikan 4 kali hingga auto rejection atas (ARA) 25 persen setara dengan kenaikan 1 kali ara dengan penjatahan 2 persen,” demikian Michael menutup penjelasannya.
Pandangan lainnya disampaikan Founder WH Project, William Hartanto. Ia menilai aturan baru ini lebih berfungsi sebagai penyeimbang dinamika pasar ketimbang memberikan keuntungan khusus bagi pihak tertentu.
“Tujuan OJK membuat aturan ini mungkin untuk meredam spekulasi IPO. Jadi, tidak banyak ritel yang all in di saham IPO,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan batas pemesanan maksimal 10 persen turut menegaskan arah tersebut. “Kelihatannya tidak ada pihak yang diuntungkan secara khusus di sini karena dinyatakan bahwa pemesanan melebihi 10 persen tidak akan diproses juga,” ujar William.
William juga menyoroti praktik penjatahan selama ini, di mana porsi ritel relatif kecil sehingga perubahan formula tidak selalu berdampak besar pada hasil akhir.
“Belum lagi, penjatahan IPO dari dulu juga ritel selalu dapatnya sedikit. Jadi, menurut saya tidak ada dampak signifikan di sini,” katanya. (Aldo Fernando)