Balada IPO KRAS dan Magis Istilah Jatah Saham
perdebatan boleh-tidaknya aktivitas investasi saham oleh jurnalis lebih pada kode etik, dan tidak dilarang di industri pasar modal nasional.
IDXChannel - Proses Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO) emiten baru selalu menjadi salah satu hal yang paling oleh kalangan investor.
Terlebih bila aksi korporasi tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tak lepas dari persepsi di pelaku pasar yang meyakini bahwa IPO BUMN sudah hampir pasti berhasil.
Meski tentu tak sepenuhnya benar dan bisa dipertanggungjawabkan, setidaknya persepsi tersebut terkonfirmasi oleh beberapa hal.
Sebut saja peran pemerintah sebagai pemegang saham pengendali yang membuat kemungkinan bangkrutnya sebuah BUMN menjadi demikian kecil.
Selain itu, deretan BUMN yang terbukti sukses saat proses dan sesudah IPO juga seolah menjadi jaminan bahwa happy story bakal kembali berulang.
"Ya memang ketika sebuah BUMN akan IPO, ada ekspektasi yang cukup besar di situ. Karena logikanya, tentu pemerintah tidak akan mendorong perusahaan yang kurang bagus, atau kurang sehat, untuk IPO, karena akan direspon negatif oleh pasar," ujar Pengamat Pasar Modal, Reza Priyambada, pekan lalu.
Artinya, menurut Reza, BUMN tersebut sudah melewati proses kurasi dan penilaian yang demikian ketat, sebelum akhirnya diputuskan untuk IPO.
Selain itu, Reza menjelaskan, deretan BUMN yang telah go public juga menjadi 'etalase' yang bisa dilihat bahwa pasca proses IPO, bisnisnya terbukti semakin berkembang pesat.
Dengan rekam jejak demikian, maka pilihan untuk berinvestasi di saham perdana BUMN tentu jadi opsi yang begitu menjanjikan. Terlebih bila secara industri sektoral, potensi pasar tersebut juga tersedia dengan luas.
IPO KRAS
Sayang, kisah tersebut tidak berhasil dicopy-paste oleh PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) pada 10 November 2010 lalu.
Meski mengawali langkahnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada momen istimewa dengan tanggal cantik (10-11-10), namun sayang nasib saham KRAS di lantai bursa tidak secantik deretan tanggal tersebut.
Salah satu yang tercatat lekat dalam sejarah pasar modal nasional adalah kasus dugaan pemerasan saham perdana KRAS yang dilakukan oleh oknum wartawan pasar modal.
Tulisan ini tentunya tidak akan membahas detil dari persoalan tersebut, melainkan mencoba menarik benang merah dan akar permasalahan dari kasus yang bahkan sempat dibawa ke ranah hukum lewat Dewan Pers dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.
Dalam proses IPO yang berjalan, Kementerian BUMN saat itu memutuskan bahwa saham KRAS dilepas ke publik dengan harga perdana dipatok sebesar Rp850 per saham.
Oleh sejumlah pihak, posisi harga perdana ini dinilai cukup janggal, lantaran berdasarkan hitungan Rasio Perolehan Harga (Price Earning Ratio/PER) oleh pihak sekuritas, harga KRAS masih bisa mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) sebesar 1,1 kali pada level harga Rp1.000 per saham, dan 1 kali di posisi Rp1.100 per saham.
Bebekal analisa tersebut, sejumlah wartawan pasar modal dari beberapa media mencoba mengkritisi lewat berita yang dipublikasikannya.
Jatah Saham
Di lain pihak, sebagai bagian dari ekosistem yang setiap harinya bergelut di industri pasar modal nasional, tidak sedikit wartawan yang juga berinvestasi saham.
Karenanya, terlepas dari tugasnya sebagai wartawan, secara personal para jurnalis ini juga terdaftar sebagai investor pasar modal di sekuritas masing-masing.
Sehingga, ketika proses IPO KRAS dilaksanakan, para jurnalis ini, seperti halnya investor yang lain, dapat melakukan pemesanan saham sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Sebagaimana dilansir mncsekuritas.id, setidaknya ada tiga tahapan utama dalam proses IPO sebuah emiten. Ketiga tahap tersebut meliputi masa penawaran awal (bookbuilding), penawaran umum (offering) dan penjatahan saham (allocation).
Pada tahap bookbuilding, harga saham perdana calon emiten masih akan berupa rentang harga. Setelah rentang harga tersebut diumumkan, investor akan melakukan pemesanan saham sesuai dengan harga yang diinginkan.
Tujuan dari tahap ini adalah agar pihak calon emiten dapat menakar pada posisi harga berapakah nantinya saham mereka bakal mendapat respon yang maksimal dari pelaku pasar.
Dari mekanisme tersebut, proses IPO bakal beranjak pada tahapan kedua, yaitu penawaran umum, di mana pihak calon emiten telah menetapkan harga fix dari saham yang ditawarkan ke publik.
Dengan harga perdana yang telah ditetapkan, dan juga pesanan saham yang telah diterima oleh pihak calon emiten melalui penjamin pelaksana emisi (underwriter), maka investor bakal diberi tahu terkait jatah saham yang bakal dia dapatkan dalam proses IPO kali ini.
Proses pemberian kepastian jatah saham yang didapat oleh investor inilah yang secara resmi disebut dengan tahapan penjatahan saham (allocation).
Selanjutnya, dari jatah (porsi) yang didapat dari pihak underwriter, investor wajib melakukan pembayaran sesuai harga perdana yang telah fix, dikali jumlah saham yang telah dialokasikan untuknya.
Peyoratif
Sayang, istilah 'jatah' ini sendiri dalam kehidupan sehari-hari terkadang mengalami perubahan makna menjadi lebih buruk, karena identik dengan istilah 'jatah preman, 'jatah bohir' dan semacamnya.
Dalam ilmu Bahasa Indonesia, perubahan makna ini biasa disebut peyoratif, yaitu sebuah majas yang digunakan pada kata-kata tertentu, sehingga memiliki arti yang negatif.
Sedikit banyak, magisnya majas peyoratif ini, sangat berpengaruh terhadap terjadinya kasus dugaan pemerasan saham dalam IPO KRAS ini. Bagaimana kemudian seorang jurnalis yang juga seorang investor saham dipersepsikan tengah meminta/memaksa untuk mendapatkan 'jatah' saham secara ilegal.
"Karena faktanya, dalam praktiknya, sama sekali tidak ada eksekusi, baik berupa pemberian atau pun penerimaan saham KRAS sebanyak 1.500 lot seperti yang dituduhkan. Pihak pelapor juga tidak bisa membuktikan adanya permintaan (jatah saham) itu," ujar Ketua Forum Wartawan Pasar Modal, Budi Suyanto, di Media Center Dewan Pers, Jakarta, 23 November 2010.
Yang terjadi, menurut Budi, adalah beberapa jurnalis dari sejumlah media yang juga merupakan investor pasar modal, melakukan pemesanan saham IPO KRAS sesuai aturan yang berlaku.
Selanjutnya, dalam proses yang dilalui, para jurnalis ini mendapatkan jatah saham sesuai dengan proses bookbuilding yang telah dilakukan sebelumnya.
"Apakah mereka (jurnalis) ini dapat jatah saham? Ya memang dapat jatah saham, karena mereka sebelumnya telah ikut proses bookbuilding. Setelah dapat jatah atau alokasi, ya mereka bayar sesuai ketentuan. Dan ingat, istilah 'jatah saham' itu adalah diksi resmi yang ada industri pasar modal, yang sayangnya diartikan secara negatif dan semena-mena," keluh Budi.
Kode Etik
Sementara, terkait aturan tentang jurnalis yang memiliki saham, Budi menilai bahwa hal tersebut dibolehkan dan sama sekali tidak menyalahi aturan.
Klaim tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), Fuad Rachmany, saat itu.
Sebagai informasi, Bapepam LK merupakan induk lembaga yang mengawasi kinerja dan operasional industri pasar modal nasional, sebelum kemudian digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 31 Desember 2012 silam.
"Saya rasa tidak masalah (wartawan memiliki saham). Kecuali ada hubungan afiliasi, maka tidak boleh. Misal tempat dia kerja merupakan bagian atau ada kaitannya dengan calon emiten yang mau IPO, atau kasusnya ada saudara, keluarga, yang jadi underwriter. Itu tidak boleh," ujar Fuad, kepada wartawan, 18 NOvember 2010.
Namun demikian, Fuad mengakui, penilaian akan berbeda bila wacana kepemilikan saham oleh wartawan tersebut ditarik ke ranah kode etik. Artinya, perdebatan boleh-tidaknya aktivitas investasi tersebut lebih dilihat dari kaca mata profesi dan industri jurnalistik, dan bukan dari sudut pandang pasar modal nasional.
"Jadi (masalahnya) bukan di pasar modal, tapi mungkin lebih ke kode etik (jurnalistik). Apakah secara industri dibolehkan, apakah media tempat bernaungnya membolehkan. Lebih ke arah sana. Karena yang Saya tahu, sebagian media itu membolehkan (jurnalisnya berinvestasi saham)," ungkap Fuad.
Pernyataan Fuad tersebut dibenarkan oleh Budi. Menurut Budi, kebijakan boleh dan tidaknya seorang wartawan memiliki saham telah diatur oleh masing-masing media tempatnya bernaung.
Diakui Budi, ada sebagian media yang memperbolehkan kepemilikan saham oleh wartawan tanpa ada aturan turunan yang melekat. Lalu ada juga yang memberi izin, selama pembelian saham tersebut dilaporkan secara berkala kepada tim redaksi.
Tujuannya, agar wartawan tersebut tidak akan ditugaskan untuk meliput atau menulis berita dari emiten-emiten yang sahamnya tengah dia miliki. Kebijakan ini berkaitan dengan aturan afiliasi, sebagaimana yang telah dijelaskan Fuad, sebelumnya.
Namun, ada juga sebagian media yang sama sekali melarang kepemilikan saham oleh jurnalisnya, dengan berharap agar independensi penulisan dapat tetap terjaga.
"Jadi (boleh dan tidaknya memiliki saham) itu ranah media masing-masing. Tidak bisa kemudian langsung dijudge bahwa wartawan punya saham itu salah. Kalau medianya membolehkan, lalu letak kesalahannya di mana? Apalagi kalau dikaitkan dengan tuduhan minta jatah (saham), itu dengan tegas kami bantah," tegas Budi, saat itu. (TSA).