Dana Asing Mulai Masuk Lagi, Seberapa Menarik SBN RI?
Pasar obligasi Indonesia menjadi primadona dan mengungguli sebagian besar negara berkembang di Asia sepanjang tahun ini
IDXChannel - Era suku bunga tinggi menyebabkan pasar obligasi sejumlah negara kembali riuh di tahun ini, tak terkecuali Indonesia menjelang di penghujung 2022.
Investor asing tampaknya lebih memilih memarkir dananya di pasar obligasi pemerintah RI ketimbang di bursa saham saat ini. Potensi resesi pada 2023 kemungkinan turut menjadi alasan asing berinvestasi di aset berisiko rendah.
Sebelumnya, presiden Jokowi mengatakan porsi kepemilikan SBN yang minim asing menjadi salah satu kunci kokohnya ekonomi makro RI. Namun, kini ramai-ramai asing menanamkan modal di SBN RI.
Melansir Laporan Ekonomi dan Keuangan yang dirilis oleh Kementerian Keuangan Kebijakan Fiskal pada periode 12-18 Desember 2022, aliran modal asing mulai masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN), yakni sebesar Rp22,94 triliun.
Hal ini seiring dengan kinerja positif pasar SBN sepanjang triwulan IV tahun 2022 yang tercermin dari terjaganya imbal hasil (yield) SBN di tengah melonjaknya yield surat utang negara-negara emerging markets atau negara dengan ekonomi rendah menuju menengah.
Mengutip laporan Kemenkeu sebagaimana yang disebut di atas, sepanjang tahun 2022, yield SBN 10 tahun meningkat secara moderat sebesar 56 basis points (bps).
Berdasarkan data Kemenkeu, hingga akhir 2022, asing hanya memiliki SBN sekitar belasan persen saja. Per 20 Desember lalu, kepemilikan asing di SBN mencapai 14,72% atau sebesar Rp738,45 triliun.
Walaupun, apabila dilihat secara year to date (YTD), RI telah kehilangan capital outflow (aliran dana asing yang keluar) dari SBN sebesar 15,57%.
Lalu seberapa menarik SBN RI jika dibandingkan dengan negara lain dan bagaimana kinerja obligasi pemerintah di negara lain?
Kinerja Obligasi Negara Ekonomi Mapan
Melansir data Trading Economics, beberapa kinerja obligasi pemerintah di negara-negara maju cukup mixed feeling tahun ini. Di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia hingga Jerman. (Lihat tabel di bawah ini.)
Beberapa negara ini dikenal menarik bagi investor karena menawarkan yield obligasi yang stabil dan dianggap cenderung kebal dengan guncangan ekonomi global.
Namun, kekhawatiran inflasi dan resesi tahun depan bisa jadi menjadi game changer yang menentukan pasar obligasi beberapa negara ini.
- Amerika Serikat (AS)
Kinerja imbal hasil obligasi Treasury 10-Tahun AS secara year to date (YTD) menguat 233,68 basis poin.
Hal ini tidak terlepas dari kebijakan The Fed yang berupaya untuk hawkish menaikkan suku bunga dan kondisi ekonomi AS yang menunjukkan tanda-tanda penguatan akhir-akhir ini.
Dalam lima hari terakhir, kinerja obligasi AS sempat meningkat 16,81 basis poin.
Per 29 Desember, imbal hasil US Treasury 10-year di level 3,8675 poin sebesar 0,02%. Di hari sebelumnya, imbal hasil Treasury 10-tahun naik 2,5 basis poin menjadi 3,883% setelah mencapai level tertinggi selama enam minggu di 3,89%.
Melansir Reuters, pada Selasa (27/12), obligasi 10 tahun AS melonjak 11,1 basis poin, kenaikan satu hari terbesar sejak 19 Oktober.
- Inggris
Imbal hasil obligasi Inggris atau 10-year Gilt melampaui 3,7% pada akhir Desember ini, meroket ke level tertinggi sejak 24 Oktober. Kenaikan imbal hasil ini sekitar 1% pada awal tahun di tengah meningkatnya investor obligasi dan kekhawatiran bahwa ekonomi global mungkin menuju ke resesi parah karena retorika hawkish dari bank sentral.
Bank of England baru saja menaikkan suku bunga ke level setengah basis poin. Sementara inflasi di negeri Raja Charles III ini mencapai 10,7% pada November.
- Jepang
Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun Jepang berada di atas 0,45% pada hari-hari terakhir tahun 2022. Angka ini bahkan mendekati level tertinggi sejak 2015 dan melampaui standar kebijakan Bank of Japan.
Yield obligasi 10 tahun Jepang ini sekarang jauh lebih tinggi dibanding 0,08% pada awal tahun. Pengetatan kebijakan agresif The Fed untuk melawan inflasi mendorong imbal hasil Treasury AS lebih tinggi dan terpaksa menekan pasar obligasi lainnya.
Meski demikian, Bank of Japan tidak menaikkan biaya pinjaman meskipun indeks harga konsumen meningkat ke level tertinggi sejak tahun 1991.
Namun secara mengejutkan pada pertengahan Desember BoJ meningkatkan batas atas toleransi pada obligasi pemerintah 10 tahun menjadi 0,5%.
- Australia
Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun Australia mencapai 4% pada hari-hari terakhir tahun 2022. Angka ini juga mendekati level tertinggi 8 tahun sebesar 4,3% yang dicapai pada bulan Oktober dan Juni.
Kondisi ini juga dipengaruhi meningkatnya kekhawatiran atas inflasi global dan perlunya kenaikan suku bunga kembali muncul setelah China bergerak maju dengan pembukaan kembali ekonominya setelah tiga tahun pembatasan Covid-19.
- Jerman
Imbal hasil obligasi 10 tahun Jerman memperpanjang kenaikan menuju 2,5% pada akhir ini dan juga mencapai level tertinggi sejak Juli 2011.
Angka ini menanjak tajam dari awalnya yang hanya sekitar -0,1% pada awal tahun di tengah kekhawatiran resesi global dan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut pada tahun 2023.
Imbal hasil 10 tahun Jerman juga didukung oleh ekspektasi peningkatan pendanaan pemerintah dan penurunan kelebihan likuiditas. Hal ini ditunjang oleh kebijakan pemerintah Jerman dalam meningkatkan belanja publik untuk melawan dampak merugikan dari krisis energi.
Bank Sentral Eropa menjanjikan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk melawan inflasi dan mengumumkan akan mulai mengurangi kepemilikan obligasi €5 triliun mulai Maret tahun depan.
Sementara itu, melansir Bloomberg, kondisi pasar obligasi Indonesia sebenarnya menjadi primadona dan mengungguli sebagian besar negara berkembang di Asia sepanjang tahun ini. Bahkan sejumlah investor meyakini kinerja obligasi masih menarik di tahun depan.
“Obligasi Indonesia relatif menarik dibandingkan negara-negara berkembang di Asia, dengan imbal hasil riil yang lebih tinggi daripada negara-negara seperti India dan Thailand. Ketika tekanan inflasi mereda di AS dan The Fed memperlambat laju kenaikan suku bunga, rupiah kemungkinan akan diuntungkan dari aliran portofolio obligasi,” kata Johnny Chen, manajer keuangan di William Blair Investment in Singapura, mengutip Bloomberg, (16/12). (ADF)