Harga Minyak Jatuh 2 Persen, Investor Waspadai Dampak Tarif Trump
Harga minyak turun lebih dari 2 persen pada Kamis (10/7/2025), seiring investor mencermati dampak tarif baru AS.
IDXChannel - Harga minyak turun lebih dari 2 persen pada Kamis (10/7/2025), seiring investor mencermati dampak tarif baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Harga minyak Brent ditutup di USD68,64 per barel, turun 2,21 persen. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir di USD66,57 per barel, tergelincir 2,65 persen.
Melansir dari Reuters, sehari sebelumnya, Trump mengancam Brasil—ekonomi terbesar di Amerika Latin—dengan tarif sebesar 50 persen untuk ekspor ke AS. Langkah ini menekan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva di tengah persidangan mantan Presiden Jair Bolsonaro yang didakwa merencanakan kudeta untuk menggagalkan pelantikan Lula pada 2023.
Pada Kamis, Lula menggelar rapat bersama para menteri, sehari setelah memberi sinyal bakal membalas langkah AS lewat unggahan di media sosial.
Trump juga mengumumkan rencana tarif untuk tembaga, semikonduktor, dan produk farmasi. Pemerintahannya bahkan mengirimkan surat pemberitahuan tarif ke Filipina, Irak, serta sejumlah negara lain, termasuk Korea Selatan dan Jepang yang merupakan pemasok utama bagi AS.
Kepala Riset Grup di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian, mengatakan pasar kini tak lagi terlalu reaktif terhadap ancaman tarif dari Trump, mengingat rekam jejaknya yang kerap membatalkan kebijakan serupa.
"Sebagian besar pelaku pasar memilih bersikap wait and see, mengingat arah kebijakan yang tak menentu serta fleksibilitas pemerintahan dalam soal tarif," ujar Tchilinguirian.
Di sisi lain, para pembuat kebijakan masih khawatir terhadap tekanan inflasi akibat tarif Trump. Risalah rapat Federal Reserve (The Fed) pada 17-18 Juni menunjukkan hanya beberapa pejabat yang menilai suku bunga bisa diturunkan secepat bulan ini, sementara mayoritas masih berhati-hati.
Suku bunga yang lebih tinggi biasanya membuat biaya pinjaman naik, sehingga bisa menekan permintaan minyak.
Produsen minyak OPEC+ dikabarkan siap menyetujui tambahan besar produksi pada September, seiring selesainya pengurangan produksi sukarela oleh delapan negara anggota, termasuk Uni Emirat Arab yang mendapat kuota lebih besar.
Namun, menurut Analis Senior di Price Futures Group, Phil Flynn, OPEC+ juga memberi sinyal kemungkinan menghentikan kenaikan produksi pada Oktober, karena adanya potensi puncak permintaan minyak.
"Ketakutan akan mencapai 'peak oil' sebelumnya belum terbukti. Kenaikan harga justru mendorong penemuan sumber minyak baru, baik di dalam negeri maupun lepas pantai," ujar Flynn.
Di tempat lain, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menggelar pembicaraan terbuka dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, di mana Rubio menyampaikan kekecewaan Washington atas lambatnya penyelesaian perang di Ukraina.
Trump juga menyatakan dirinya tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) untuk memperketat sanksi terhadap Rusia. (Aldo Fernando)