Harga Minyak Turun, Ketegangan Timur Tengah Terimbangi Lemahnya Permintaan China
Harga minyak mentah melemah pada Senin (23/9/2024), tertekan oleh lemahnya permintaan dari China yang mengimbangi risiko geopolitik.
IDXChannel - Harga minyak mentah melemah pada Senin (23/9/2024), tertekan oleh lemahnya permintaan dari China yang mengimbangi risiko geopolitik yang meningkat setelah Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap milisi Hezbollah yang didukung Iran di Lebanon.
Menurut data pasar, kontrak berjangka (futures) minyak jenis Brent ditutup turun 0,53 persen secara harian ke level USD73,62 per barel. Sementara, minyak jenis WTI terkoreksi 0,66 persen ke USD70,76 per barel pada Senin.
Secara teknikal, dalam chart harian, futures Brent gagal menembus area resistance berupa Fibonacci (0,5) di level 74,43. Kini, futures Brent berpeluang menguji support Fibonacci (0,38) di 72,91.
Sementara, futures WTI juga tak mampu bertahan di atas Fibonacci (0,5), di area 71,09. Sekarang, futures WTI akan menguji support di level 69,48.
Pada Senin, Israel melancarkan 300 serangan udara di Lebanon selatan yang diklaimnya menargetkan infrastruktur Hezbollah.
Kementerian Kesehatan Lebanon menyebutkan serangan tersebut menewaskan 172 orang dan melukai 727 lainnya, menurut laporan The Washington Post.
Serangan ini terjadi setelah Hezbollah menyerang wilayah utara Israel pada akhir pekan, yang dilakukan setelah ledakan pager dan walkie-talkie jebakan di Lebanon pekan lalu yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka pada anggotanya dan pihak lainnya.
"Pemimpin Hezbollah menyatakan bahwa 'semua batasan' telah dilanggar dan setelah serangan terhadap Hezbollah dan Lebanon, sepertinya keterlibatan langsung Iran dalam konflik ini hanya masalah waktu, bukan kemungkinan,” kata PVM Oil Associates, dikutip MT Newswires, Senin (23/9).
Harapannya, ujar PVM Oil Associates, skenario ini tidak terjadi. Tetapi, jika iya, harga minyak diperkirakan melonjak.
“Sementara itu, situasi di sekitar Israel, Gaza, dan Palestina tetap menjadi sumber volatilitas yang signifikan,” katanya.
Risiko meluasnya perang di Timur Tengah sejauh ini terimbangi oleh menurunnya permintaan dari China, importir minyak terbesar dunia.
Ekonomi China terus melambat di tengah meningkatnya seruan untuk langkah-langkah stimulus dari Partai Komunis yang berkuasa di negara tersebut.
CNBC International melaporkan, Liu Shijin, mantan wakil kepala Pusat Penelitian Pembangunan di Dewan Negara, badan eksekutif tertinggi China, memperkirakan, negara tersebut membutuhkan paket stimulus dan reformasi ekonomi senilai USD1,42 triliun untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonominya. (Aldo Fernando)