Heboh Krisis Silicon Valley Bank (SVB), Bagaimana Nasib Emiten Bank RI?
Krisis yang ditimbulkan dari kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) menimbulkan kekhawatiran bagi perbankan Tanah Air, meskipun kinerja perbankan masih solid.
IDXChannel – Krisis yang ditimbulkan dari kolapsnya bank asal Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB) menimbulkan kekhawatiran bagi perbankan Indonesia, walaupun kinerja fundamental industri ini masih solid.
Pada Jumat (10/3) lalu, regulator perbankan California menutup SVB seiring dengan kolapsnya bank yang memiliki aset sekitar USD209 miliar tersebut.
Adapun, kebangkrutan SVB bermula dari kenaikan suku bunga di AS. Suku bunga yang lebih tinggi menutup penggalangan dana publik melalui penawaran umum perdana (IPO) bagi banyak perusahaan start up.
Di sisi lain, penggalangan dana dari swasta menjadi lebih mahal hingga beberapa klien SVB mulai menarik uang.
Terhambatnya pendanaan kepada perusahaan-perusahaan start up merupakan dampak dari kenaikan biaya pinjaman yang terus-menerus akibat sikap hawkish The Federal Reserve (The Fed) selama setahun terakhir serta kenaikan inflasi.
Bangkrutnya SVB tentunya menimbulkan kekhawatiran perbankan global termasuk Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Investasi Kamet Capital Partners Pte. Kerry Goh yang menyebutkan, bangkrutnya Silicon Valley Bank juga berpengaruh bagi perbankan di Indonesia.
“Saya paling khawatir dengan bank-bank baru di Indonesia yang memberikan pinjaman kepada perusahaan start up unggulan dalam ekosistem fintech yang tidak terdanai dengan baik,” kata Kerry Goh dikutip dari Bloomberg, Jumat (10/3).
Sementara, Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, kebangkrutan SVB Bank bisa menjadi pelajaran bagi perbankan Tanah Air bahwa kenaikan suku bunga secara serentak di berbagai negara bisa menimbulkan risiko yang cukup serius.
“Jadi, perbankan domestik pun perlu hati-hati menyusun strategi terutama terkait manajemen risiko,” kata Bhima dalam wawancara dengan IDX Channel, Senin (13/3).
Terkait kinerja perbankan di Indonesia, Bhima menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan stress test terkait dampak SVB bank terhadap aliran pinjaman, modal, dan investasi dengan perbankan domestik.
“Belajar dari kasus Century, investasi yang bermasalah di AS dapat menjalar ke likuiditas perbankan domestik. Sejauh ini, semoga tidak ada dampak sistemik ke bank dalam negeri,” ujar Bhima.
Senada dengan Bhima, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta berpendapat, makroekonomi domestik masih solid meskipun ada kehebohan dari SVB maupun kebijakan hawkish The Fed.
Menurut Nafan, kinerja perbankan Tanah Air lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan kredit hingga fundamental masing-masing emiten.
“Krisis SVB hanya merambat di sektor perbankan AS, risiko sistemik di situ. Di Indonesia likuiditas masih kuat dan sangat memadai, sehingga kondisi perbankan masih relatif aman saat ini,” kata Nafan kepada IDX Channel, Senin (13/3).
Nafan menambahkan, pemerintah saat ini sedang berkomitmen dalam menciptakan inklusi keuangan secara digital, sehingga ini dapat mendongkrak kinerja perbankan, terlepas dari potensi krisis SVB maupun kebijakan hawkish The Fed yang menghantui industri ini.
Sedangkan, Pengamat pasar modal sekaligus Founder WH Project, William Hartanto mengatakan, dampak bangkrutnya SVB belum tentu dialami oleh industri perbankan di Indonesia.
“Sepengamatan saya, kinerja industri perbankan hingga sahamnya tidak mengalami pelemahan, kalaupun ada penurunan harga saham, itu akan menjadi koreksi sehat dan masih bisa dimanfaatkan untuk buy on weakness,” kata William dalam wawancara dengan IDX Channel, Senin (13/3).
Sementara, terkait kolaps yang dialami oleh SVB sebagai dampak dari ambruknya start up tekno, William berpendapat perbankan di Indonesia memiliki potensi yang sama seperti SVB.
“Dampaknya, emiten perbankan secara khusus akan lebih berhati-hati dalam memberikan pendanaan bagi start up tekno,” tutup William.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.