IHSG di Tengah Guncangan Global, Krisis 1998 hingga Perang Rusia-Ukraina
Dinamika pasar modal RI tidak terlepas dari faktor eksternal berupa guncangan makro.
IDXChannel - Dinamika pasar modal RI tidak terlepas dari faktor eksternal berupa guncangan makro.
Sejumlah peristiwa telah menjadi saksi bergejolaknya pasar saham, terutama terkait pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (Lihat grafik di bawah ini.)
Beberapa peristiwa penting berdampak signifikan bagi pergerakan IHSG sepanjang tahun, di antaranya:
- Krisis Moneter 1997-1998
Pasar modal RI menghadapi tantangan yang cukup berat sejak akhir tahun 1997. Menjelang reformasi 1998, perekonomian Indonesia diguncang oleh hantaman krisis ekonomi yang meluluh-lantahkan seluruh kawasan Asia.
IHSG sempat mengalami kontraksi 29,85 persen di penghujung 1997. Memasuki 1998 masih mengalami kontraksi sebesar minus 9,13 persen.
Krisis ekonomi Asia ditandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mengakibatkan tingkat suku bunga deposito dan suku bunga BI naik tajam mencapai level 41,42 persen di tengah meroketnya inflasi sebesar 77,65 persen.
Fluktuasi IHSG bahkan berlanjut hingga 2002 di mana pada tahun tersebut IHSG masih terkoreksi 8,39 persen.
Pada 2007, IHSG mengalami kenaikan 52,08 persen di kisaran mencapai Rp 2.745,83. Faktor yang mempengaruhinya di antaranya beberapa saham perbankan mengalami kenaikan, serta mergernya Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia pada November 2007.
- Krisis Ekonomi 2008
Pergerakan IHSG pada tahun berikutnya harus terkontraksi kembali, tepatnya pada 2008 yang mencapai minus 50,64 persen di level Rp 1.355,41.
Penurunan tajam ini terjadi karena adanya krisis finansial global akibat kejatuhan bank-bank besar Amerika Serikat (AS) dampak dari Subprime Mortgage Crisis yang mulai terasa imbasnya menjelang akhir tahun 2008.
Kondisi ini sempat membuat kondisi makro Indonesia mendapatkan tekanan berat meskipun perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,10 persen dan inflasi di level 11,06 persen.
Nilai tukar rupiah yang awalnya sebesar Rp 9.291 pada Januari 2008 naik menjadi Rp 12.151 pada September kemudian turun menjadi Rp 10.950 pada Desember 2008.
Pada tahun 2009, IHSG mulai mengalami kenaikan secara bertahap sebesar 86,98 persen, hal ini dikarenakan rendahnya tingkat inflasi sebesar 2,78 persen dan juga keberhasilan pemilu 2009.
- Taper Tantrum 2013
Pada 2013, terjadi sinyal penarikan stimulus atau tapering off oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Kondisi ini menimbulkan riak di pasar keuangan di mana kinerja IHSG minus 9,84 persen. Di saat yang sama, rupiah juga melemah mendekati Rp14.500 per dolar AS.
Kondisi ini dikenal dengan istilah periode taper tantrum. Taper tantrum sebenarnya adalah istilah yang digunakan media ekonomi untuk menggambarkan lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena pengumuman rencananya The Fed untuk mulai menarik stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi dari USD85 miliar menjadi USD75 miliar.
Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik di mana IHSG bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus 2013.
Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp36 triliun.
- Perang Dagang 2018-2019
Kinerja IHSG pada 2018 kembali diuji setelah munculnya wacana Perang Dagang antara China dan AS. Kinerja IHSG 2018 menjadi yang terburuk dalam 3 tahun terakhir yang mencatatkan minus -2,54 persen.
Meski demikian, penurunan indeks pada akhir 2018 masih lebih baik dibanding 2015 yang terkoreksi 12,10 persen dan mencatatkan kinerja terparah pasca 2008.
Sepanjang Januari hingga Desember 2018, selain mencatatkan kinerja negatif, sejumlah sentimen dalam negeri dan luar negeri mendorong investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp45,65 triliun di pasar reguler.
Meski demikian, kinerja IHSG masih tetap lebih baik dibandingkan dengan performa indeks bursa lain di dunia. Di antaranya indeks Hang Seng di Hong Kong terkoreksi 15,30 persen, Straits Times di Singapura minus 10,62 persen, indeks Nikkei 225 di Jepang minus 14,85 persen.
Adapun indeks global lain juga minus yakni indeks Dow Jones di AS minus 7,10 persen dan indeks FTSE di Inggris minus 12,05 persen.
Setahun kemudian, sepanjang perdagangan 2019, indeks saham gabungan hanya mampu naik 1,70 persen. Di tahun ini, efek perang dagang masih terasa yang berimbas pada pelemahan ekonomi.
- Pandemi Covid-19 di 2020
Selesai perang dagang, hadirnya wabah virus corona kembali mengguncang perekonomian global. Berbagai sektor dan pilar ekonomi terpukul, termasuk pasar modal dan bursa saham.
Hampir semua indeks harga saham di seluruh dunia anjlok, bahkan hingga level terendah dalam beberapa tahun terakhir. IHSG juga mengalami nasib yang sama. Sepanjang 2020, IHSG terkoreksi 5,09 persen.
Sepanjang tahun awal pandemi, investor asing juga banyak yang ‘kabur’ dari bursa saham Tanah Air. Tercatat asing melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp53,82 triliun di pasar regular.
Sepanjang 2020 pelaku pasar dihantui oleh berbagai sentimen negatif yang memukul perekonomian nasional. Adanya pandemi Covid-19 memberikan efek domino pada kinerja banyak perusahaan. Di tahun yang sama, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07 persen (c-to-c) dibandingkan tahun 2019.
- Perang Rusia-Ukraina
Memasuki fase pemulihan pandemi Covid-19, 2022 perekonomian global kembali dihantui sentimen pecahnya perang Rusia-Ukraina pada Maret 2022.
Sepanjang tahun ini, pasar komoditas mengalami reli harga secara signifikan terutama minyak dan batu bara. Beberapa komoditas penting seperti gandum dan biji-bijian serta pupuk juga terkerek naik imbas kekhawatiran pasokan yang terganggu akibat perang.
Pasar saham Indonesia sepanjang 2022 tumbuh lebih rendah dibandingkan 2021 dengan kinerja IHSG hanya tumbuh sebesar 4,08 persen dibandingkan 2021 sebesar 10,08 persen.
Meski demikian, nilai kapitalisasi pasar modal RI naik lebih dari 15 persen dibanding 2021 menjadi Rp 9.495 triliun atau setara dengan USD600 miliar di akhir 2022.
Rata-rata nilai transaksi perdagangan yang bertumbuh sebesar 10,1 persen per 29 Desember 2022 menjadi Rp 14,7 triliun dibandingkan tahun 2021.
Sepanjang 2022, dari periode 30 Desember 2021 hingga 29 Desember 2022, bursa Asia-Pasifik secara mayoritas juga berkinerja kurang menggembirakan.
- Era Suku Bunga Tinggi 2023
Memasuki 2023, kinerja IHSG dihadapkan pada tingginya suku bunga di tengah reli pengetatan moneter sejumlah bank sentral.
Sepanjang semester I-2023, kinerja IHSG terpantau kurang memuaskan ambles 2,09 persen. Hal ini karena IHSG tampak berada di dalam tren sideways. Pergerakannya terbatas di 6.500-6950 saja.
Selain itu, kinerja IHSG juga dibebani oleh sejumlah investor yang memilih instrumen investasi lain seperti obligasi. Perpindahan modal terjadi dari pasar saham menuju instrumen investasi lainnya di negara-negara emerging market.
Secara garis besar kondisi IHSG tahun ini dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni ketidakpastian ekonomi global.
Suku bunga The Federal Reserve (The Fed) kini telah mencapai level 5,5 persen hingga 5,75 persen yang mendorong sejumlah bank sentral utama lainnya juga menaikkan suku bunga. Kondisi ini didukung oleh inflasi yang masih sulit untuk dijinakkan.
Selain itu, sejumlah negara masih berjuang memulihkan ekonomi nasional dari guncangan seperti China dan Uni Eropa. Kondisi ekonomi negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan Indonesia yang cenderung melemah seperti China juga mempengaruhi kinerja IHSG. (ADF)