Inflasi AS dan China Kompak Naik, Bagaimana Dampaknya ke Pasar?
Dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, baru saja merilis data inflasi bulanan dan tahunan, tepatnya pada Minggu (9/3/2024) dan Selasa (12/3).
IDXChannel - Dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan China, baru saja merilis data inflasi bulanan dan tahunan, tepatnya pada Minggu (9/3/2024) dan Selasa (12/3).
Inflasi tahunan AS yang mengukur laju kenaikan harga tercatat sebesar 3,2 persen pada bulan Februari, naik dari 3,1 persen pada Januari, berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS.
Tiket pesawat, asuransi mobil, dan pakaian merupakan beberapa faktor yang mendorong kenaikan inflasi AS pada bulan tersebut.
Laporan inflasi ini terjadi pada tahun pemilihan presiden yang kritis dan ketika bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), sedang memperdebatkan langkah selanjutnya dalam perjuangannya mengendalikan harga.
Sementara itu, tingkat inflasi bulanan di AS juga naik menjadi 0,4 persen dari 0,3 persen, dengan harga sewa tempat tinggal dan bensin menyumbang lebih dari 60 persen kenaikan tersebut. Di sisi lain, inflasi inti turun menjadi 3,8 persen dari 3,9 persen, dibandingkan perkiraan sebesar 3,7 persen.
China juga melaporkan inflasi bulanan di mana indeks harga konsumen (CPI) naik sebesar 0,7 persen yoy pada bulan Februari 2024, di atas perkiraan pasar sebesar 0,3 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Data terbaru ini menyelamatkan China dari deflasi alias penurunan tertajam harga-harga dalam 14 tahun terakhir sebesar 0,8 persen pada Januari.
Angka terbaru ini juga menjadi inflasi konsumen yang pertama sejak Agustus lalu, yang mencapai level tertinggi dalam 11 bulan karena tingginya belanja selama liburan Tahun Baru Imlek.
Harga pangan mengalami penurunan terendah dalam delapan bulan (-0,9 persen vs -5,9 persen di bulan Januari), yang mencerminkan kenaikan harga daging babi dan sayuran segar. Sementara itu, inflasi non-makanan meningkat tajam menjadi 1,1 persen dari sebelumnya 0,4 persen.
CPI inti China yang merupakan ukuran inflasi tanpa harga pangan dan energi, meningkat sebesar 1,2 persen yoy di bulan Februari, yang terbesar sejak Januari 2022.
Secara bulanan, inflasi China juga meningkat sebesar 1,0 persen, menandai kenaikan ketiga bulan berturut-turut dan mencapai level tertinggi sejak Januari 2021.
Dampak ke Pasar
Peningkatan inflasi di dua negara ekonomi terbesar dunia ini menimbulkan sejumlah konsekuensi terhadap pasar.
Mengingat, inflasi AS dan China akan menjadi petunjuk bagi pasar maupun bank sentral dalam merumuskan kebijakan suku bunga ke depan.
Di AS, meningkatnya inflasi memberikan sinyal positif bagi pasar saham, terbukti dengan meroketnya kinerja indeks Wall Street pada Selasa (12/3).
Saham-saham AS berakhir lebih tinggi dengan saham-saham teknologi melanjutkan reli di tengah data inflasi yang sedikit lebih tinggi dari perkiraan dan berdampak kecil pada ekspektasi penurunan suku bunga pertama oleh The Fed pada bulan Juni.
S&P 500 naik 1,1 persen, ke penutupan tertinggi baru, sementara Nasdaq naik 1,1 persen dan Dow Jones melonjak 235 poin alias 0,61 persen. Laporan inflasi ini membuat saham Nvidia melonjak 7,1 persen, Meta naik 3,3 persen, dan Microsoft naik 2,6 persen.
Imbal hasil (yield) obligasi Treasury AS bertenor 10-tahun juga pulih dari penurunan sebelumnya, naik kembali ke angka 4,15 persen setelah laporan CPI AS terbaru.
Laporan inflasi terbaru ini juga memperkuat pandangan bahwa The Fed hanya akan melanjutkan kenaikan suku bunga pada bulan Juni.
Pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa penurunan suku bunga mungkin tidak akan lama lagi. Meski demikian, ia menegaskan bank sentral masih membutuhkan data perekonomian lebih lanjut untuk memastikan inflasi kembali bergerak menuju target 2 persen.
Pada saat bersamaan, harga emas pada perdagangan Selasa (12/3) juga sempat anjlok di akhir sesi setelah laporan inflasi AS dan melonjaknya imbal hasil obligasi Treasury AS.
Logam kuning tersebut turun tajam lebih dari 1 persen, diperdagangkan pada USD2.157.00 per troy ons setelah sempat mencapai level tertinggi USD2.184.76.
Emas di pasar spot kemudian mengalami rebound pada perdagangan Rabu (13/3/2024) dan diperdagangkan di sekitar USD2.159 per troy ons, naik 0,1 persen.
Emas diperkirakan akan mendapatkan keuntungan dari penurunan suku bunga besar-besaran pada tahun ini. Keyakinan pasar ini menjadi pendorong utama kenaikan logam kuning tersebut dalam beberapa sesi terakhir.
Di China, indeks Shanghai Composite sempat melonjak 0,74 persen pada penutupan perdagangan Senin (10/3) pasca rilis data inflasi. Sementara indeks Shenzhen menguat 2,27 persen pada sesi yang sama, dengan saham-saham daratan menetap di level tertinggi tiga bulan karena data inflasiyang optimis meningkatkan sentimen pasar.
Lingkungan ekonomi China yang mengalami deflasi dan pemulihan ekonomi yang rapuh meningkatkan spekulasi bahwa pihak berwenang akan melonggarkan kebijakan lebih lanjut. Namun angka inflasi konsumen yang kuat mengaburkan prospek tersebut.
Peningkatan penting terlihat dari perusahaan-perusahaan kelas berat seperti Contemporary Amperex (14,5 persen), Seres Group (7,5 persen) dan Foxconn Industrial (3,8 persen).
Regulator China juga dilaporkan bertemu dengan bank-bank untuk meningkatkan dukungan keuangan bagi perusahaan properti yang didukung negara seperti China Vanke.
Meski demikian, para analis memperkirakan kenaikan inflasi ini sebagian didorong oleh liburan Tahun Baru Imlek, yang jatuh pada Februari tahun ini.
“Saya pikir masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa deflasi di China telah berakhir. Permintaan dalam negeri masih cukup lemah,” kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom Pinpoint Asset Management.
China sebelumnya masih berjuang melawan pelemahan harga hampir sepanjang tahun lalu karena kemerosotan properti, krisis pasar saham, dan melemahnya sentimen konsumen.
Bank Rakyat China (PBOC) juga telah memangkas suku bunga beberapa kali dengan harapan dapat meningkatkan pinjaman bank dan mengembalikan inflasi ke targetnya sebesar 3 persen. Namun CPI hanya mencapai 0,2 persen pada tahun 2023, jauh di bawah target resmi.
Deflasi China juga berdampak buruk bagi perekonomian karena mendorong konsumen dan perusahaan menunda pembelian atau investasi untuk mengantisipasi penurunan harga lebih lanjut.
Hal ini, pada gilirannya, dapat menciptakan lingkaran setan dan mengakibatkan berkurangnya pengeluaran, lebih banyak pengurangan bisnis, dan meningkatnya pengangguran.
“Kami memperkirakan inflasi CPI akan turun menjadi 0,4 persen tahun-ke-tahun di bulan Maret,” kata analis Nomura pada hari Senin dalam sebuah laporan penelitian. (ADF)