Inflasi AS dan Zero COVID di China Kompak benamkan Harga Minyak Dunia
Kebijakan itu membuat permintaan bahan bakar merosot tajam, padahal selama ini China tercatat sebagai importir minyak terbesar di dunia.
IDXChannel - Pergerakan harga minyak dunia kembali masuk ke zona merah seiring dengan mencuatnya sejumlah sentimen negatif di pasar. Salah satunya terkait kekhawatiran terhadap pelaksanaan kebijakan zero COVID-19 di China.
Sebagaimana diketahui, pemerintah China sejauh ini masih disibukkan dengan pandemi COVID-19 yang masih melanda, hingga mencetuskan kebijakan pembatasan aktivitas warga secara ekstrem untuk mengejar target zero COVId-19.
Kebijakan itu membuat permintaan bahan bakar merosot tajam, padahal selama ini China tercatat sebagai importir minyak terbesar di dunia. Pelaku pasar khawatir, situasi pelemahan permintaan ini bakal berlangsung lama, sehingga menekan harga minyak secara keseluruhan.
"Kebijakan zero-COVID China tetap utuh dan itu akan membuat rebound yang muncul selama beberapa minggu mendatang dibatasi," ujar Analis Pasar Senior di OANDA, Edward Moya, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (14/9/2022).
Dalam data perdagangan yang tersedia, harga minyak mentah Brent terpantau turun 17 sen (0,2 persen) menjadi USD93 per barel. Sedangkan harga minyak mentah West Texas Intermediate AS juga turun 11 sen (0,1 persen) menjadi USD87,2 per barel.
Selain kekhawatiran dari China, terbaru, data inflasi AS juga menjadi faktor pemberat harga minyak dunia di pasar perdagangan. Posisi inflasi Agustus 2022 yang mencapai 8,3 persen berada di luar ekspektasi pasar, lantaran terhitung naik secara tahunan (year on year/yoy) dibanding inflasi Agustus 2021 yang masih 8,2 persen.
Dengan tren harga minyak dalam beberapa waktu terakhir yang telah melandai, ekspektasi pelaku pasar inflasi AS harusnya ikut turun, setidaknya 0,1 persen, menjadi 8,1 persen. Kondisi ini memupuskan harapan bahwa ke depan The Fed dapat melonggarkan kebijakan suku bunga agresif yang diterapkan selama ini.
Justru, The Fed diekspektasikan bakal kembali menaikkan bunga, sampai kondisi inflasi ditargetkan kembali pada posisi normal, di level dua persen. Pekan depan, The Fed dijadwalkan kembali bertemu untuk membahas kebijakan yang bakal diambil selanjutnya.
"Dolar AS yang kuat dan ekspektasi untuk kenaikan suku bunga besar lainnya oleh The Fed membebani sentimen," ujar Analis di CMC Markets, Tina Teng, dalam laporan yang sama.
Menurutnya, bila prospek permintaan minyak di AS kian melemah, maka tren penurunan akan terus berlanjut sejak awal musim panas.
Di sisi lain, stok minyak mentah AS terkahir mengalami kenaikan sebesar 6 juta barel pada 9 September. Pemerintah AS juga menantikan data invetaris yang akan dirilis pada hari Rabu.
Sebelumnya, Organisasi OPEC pada hari Selasa (13/9/2022) telah memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak dalam rentang tahun 2022 dan 2023. Permintaan minyak diperkirakan akan naik sebesar 3,1 juta barel per hari pada tahun 2022, sedangkan tahun 2023 akan naik 2,7 juta per barel. (TSA)
Penulis: Ribka Christiana