MARKET NEWS

Kaleidoskop 2022: Wilayah Abu-Abu Industri Pasar Modal di Kasus Korupsi Jiwasraya

Taufan Sukma/IDX Channel 12/12/2022 06:06 WIB

bagaimana pun, peribahasa lama mengajarkan bahwa 'The man behind the gun is more important than the gun itself'.

Kaleidoskop 2022: Wilayah Abu-Abu Industri Pasar Modal di Kasus Korupsi Jiwasraya (foto: MNC Media)

IDXChannel - Momen akhir tahun selalu mendorong hampir semua pihak untuk rehat sejenak, berintrospeksi, berkontemplasi, dan mengevaluasi berbagai capaian yang telah didapat selama ini.

Jika dijalankan dengan baik, bijak dan konsekuen, langkah ini diyakini dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi pihak-pihak tersebut untuk kembali melanjutkan langkah, mengejar beragam target di masa depan.

Hal ini juga berlaku bagi industri pasar modal nasional. Terhitung sejak 2017 hingga September 2022 lalu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat adanya penambahan jumlah investor dari semula masih 1,12 juta menjadi 9,77 juta investor.

Artinya, terjadi lonjakan jumlah investor secara pesat hingga 8,7 lipat hanya dalam lima tahun terakhir. Tingkat kesadaran masyarakat dalam berinvestasi yang meningkat pesat, serta gelombang digitalisasi yang serba memudahkan ragam-rupa kegiatan manusia sehari-hari, menjadi penopang utama atas tren lonjakan jumlah investor secara fantastis tersebut.

Alhasil, nilai transaksi di bursa saham sejak awal tahun hingga awal Agustus 2022 tercatat mencapai Rp15,46 triliun, dengan volume transaksi mencapai 24,71 miliar saham dan frekuensi 1,4 juta kali.

Nilai tersebut tumbuh cukup signifikan dibanding realisasi di sepanjang tahun lalu, di mana rata-rata nilai transaksi masih sebesar Rp13,43 triliun, dengan volume transaksi sebanyak 22,54 miliar saham dan frekuensi 1,32 juta kali.

Namun, bagaimana pun, peribahasa lama mengajarkan bahwa 'The man behind the gun is more important than the gun itself'. Sebagus dan sehebat apapun sebuah senjata, nilai kegunaannya akan tetap bergantung pada sosok di balik senjata tersebut.

Sama dan sebangun, sebagus dan sehebat apapun perkembangan industri pasar modal, bila berada pada 'tangan yang salah', maka hasilnya juga tidak akan sesuai dengan harapan, dan bahkan merugikan banyak pihak.

Seperti halnya yang tergambar dari Laporan Statistik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang mencatat adanya jumlah transaksi keuangan mencurigakan hingga 1.033 laporan, terhitung sejak Januari hingga Oktober 2022 mencapai 1.033 laporan.

Jumlah tersebut meningkat lebih dari 20 persen dibanding pelaporan transaksi mencurigakan pada periode sama tahun lalu, yang sebanyak 855 laporan. Tak sedikit dari laporan tersebut berkaitan erat dengan praktik ilegal di industri pasar modal nasional.

Berkaca pada catatan dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus korupsi besar di tingkat nasional juga bersinggungan erat dengan aktivitas transaksi di pasar modal. Salah satu yang sukses membetot atensi publik nasional, diantaranya, adalah kasus korupsi Jiwasraya.

Borok Lama
Setelah sekian lama terlihat adem-ayem, kinerja PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tiba-tiba menjadi sorotan publik, usai diumumkan tengah mengalami tekanan likuiditas hingga minus Rp23,92 triliun pada September 2019 lalu.

Untuk dapat menyelamatkan Badan USaha Milik Negara (BUMN) di sektor asuransi itu, setidaknya dibutuhkan investasi tambahan hingga Rp32,89 triliun agar membuatnya kembali sehat dan tetap beroperasi.

Dari sanalah, berbagai fakta mencengangkan terkuak. Diantaranya adalah data Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan bahwa kondisi kerugian sebenarnya telah melilit Jiwasraya sejak 2006 lalu, dengan posisi kas yang minus Rp3,29 triliun.

Hal ini mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008 memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) terkait laporan keuangan Jiwasraya periode 2006-2007, di mana bagian penyajian informasi cadangan dinilai tidak dapat diyakini kebenarannya.

"(Kondisi kerugian) Ini tidak sesuai dengan laporan keuangan perusahaan, yang sejak 2006 tercatat masih (membukukan) laba, tapi laba itu semu, sebagai akibat dari rekayasa akuntasi atau window dressing," Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, dalam sebuah wawancara pada awal 2020 lalu.

Sebagai informasi, aksi window dressing merujuk pada satu aktivitas di pasar yang dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk 'memoles' portofolio yang dimilikinya, agar terlihat bagus dan positif di mata investor.

Aksi window dressing kerap dilakukan pada akhir tahun, dengan harapan agar posisi saham dan laporan keuangan perusahaan terlihat bagus saat pergantian tahun, sehingga dapat bertumbuh lebih maksimal di tahun selanjutnya.

Abu-Abu
Meski terkesan manipulatif dan tricky, faktanya praktik window dressing jamak ditemui di industri pasar modal nasional. Bahkan, kalangan analis sudah hampir pasti memasukkan pertimbangan window dressing dalam menakar potensi sebuah saham di akhir tahun.

Sehingga, meski banyak disorot dan dimaknai sebagai hal negatif, praktis aksi window dressing tidak mudah untuk ditertibkan dalam praktik aktivitas perdagangan pasar modal.

Seperti halnya upaya Jiwasraya yang pada 2010 hingga 2012 melakukan skema reasuransi, sehingga berhasil mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun per akhir 2011.

Menyadari kejanggalan yang ada, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) saat itu, Isa Rachmatawarta, menolak ijin perpanjangan skema asuransi yang diajukan Jiwasraya.

Menurut Isa, metode reasuransi tidak memiliki keuntungan secara ekonomis, sehingga hanya mencerminkan keuntungan semu terhadap kinerja perusahaan. Karenanya, opsi reasuransi disebut Isa hanya merupakan langkah penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah yang ada saat itu.

"Karena faktanya tidak keuntungan ekonomis yang didapat (dari reasuransi). Sehingga laporan keuangan (Jiwasraya) 2011 juga tidak mencermintkan angka (keuntungan) yang wajar," ungkap Isa, saat itu.

Membengkak
Tak kunjung menemukan solusi untuk memperbaiki kondisi keuangannya, pada akhir 2012 Jiwasraya justru menerbitkan produk JS Proteksi Plan yang menawarkan bunga tinggi, dari kisaran sembilan hingga 13 persen.

Meski kemudian produk tersebut mengantongi izin dari Bapepam-LK, namun dalam perkembangannya, produk yang ditawarkan lewat skema kerjasama dengan perbankan (bancassurance) itu justru semakin membebani keuangan Jiwasraya lantaran kewajiban membayar bunga ke nasabah yang demikian besar.

Situasi semakin memburuk saat 2014 Jiwasraya justru menggelontorkan dana besar untuk menjadi sponsor bagi klub sepakbola asal Inggris, Manchester City.

Ajaibnya, di sepanjang 2013 hingga 2017 catatan pendapatan premi Jiwasraya justru melonjak signifikan, yang disebut lantaran ditopang oleh laris-manisnya penjualan produk JS Saving Plan, dengan periode pencairan bunga dilakukan setiap tahun.

Dalam laporan keuangan 2017 yang dipublikasikan, Jiwasraya tercatat sukses meraup pendapatan premi dari produk JS Saving Plan hingga Rp21 triliun. Pada saat yang sama, perusahaan juga berhasil mengantongi laba sebesar Rp2,4 triliun, bertumbuh 37,64 persen dari raihan 2016.

Namun, pada 2017 pula, Jiwasraya kembali memperoleh opini tidak wajar terkait laporan keuangannya, yang didasarkan pada kekurangan nilai pencadangan sebesar Rp7,7 triliun.

"Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, harusnya mereka (Jiwasraya saat itu) tidak laba, malah menderita kerugian," tutur Agung.

Atas kondisi yang semakin memburuk, pada 2018 dua jajaran direksi Jiwasraya dicopot dari jabatannya, yaitu Direktur Utama Hendrisman Rahim dan Direktur Keuangan Hary Prasetyo.

Di lain pihak, nasabah mulai mengendus adanya kejanggalan dalam sistem manajemen yang dijalankan oleh direksi lama. Atas dasar itu, nasabah mulai berbondong-bondong mencairkan produk JS Saving Plan yang dimilikinya.

Sementara, Direktur Utama Jiwasraya yang baru, Asmawi Syam, juga mulai merekapitulasi sejumlah kejanggalan pada laporan keuangan perusahaan, dan melaporkannya kepada Kementerian BUMN.

Salah satunya terkait pengelolaan dana yang terkumpul dari produk JS Saving Plan, yang notabene memiliki cost of fund sangat tinggi bahkan di atas bunga deposito dan obligasi, namun justru diinvestasikan pada ragam instrumen saham dan reksadana berkualitas rendah.

Berbagai dugaan kejanggalan tersebut, terkonfirmasi oleh hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan Jiwasraya tahun 2017, yang mengoreksi catatan laporan keuangan interim, dari semula laba sebesar Rp2,4 triliun menjadi hanya Rp428 miliar.

Investigasi
Atas temuan tersebut, Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, pada Agustus 2018 mulai meminta keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit investasi menyeluruh terhadap pengelolaan Jiwasraya selama ini.

Dua bulan berselang, manajemen juga mengumumkan ketidakmampuan perusahaan dalam membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar.

November 2018, pemerintah sebagai pemegang saham mengangkat Hexana Tri Sasongko sebagai Direktur Utama Jiwasraya, menggantikan Asmawi Syam yang telah memasuki masa pensiun.

Di awal masa jabatannya, Hexana mengumumkan kebutuhan dana segar sebesar Rp32,89 triliun untuk menyelamatkan kondisi Jiwasraya, yaitu dengan memenuhi rasio solvabilitas (RBC) perusahaan sebesar 120 persen.

Hexana juga menyebut bahwa Jiwasraya memiliki kewajiban hingga Rp50,5 triliun, namun dengan kepemilikan seluruh aset perusahaan hanya Rp23,26 triliun saja. Itu artinya, Jiwasraya mengalami ekuitas minus Rp27,24 triliun. Sedangkan, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.

Berselang setahun, Menteri BUMN pengganti Rini Soemarno, yaitu Erick Thohir, melaporkan indikasi kecurangan dalam pengelolaan Jiwasraya kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Laporan didasarkan pada data dan fakta yang ditemukan dari laporan keuangan perusahaan, yang diduga disusun dengan tidak transparan.

Saham Gorengan
Tak hanya itu, Erick juga mensinyalir adanya praktik investasi oleh Jiwasraya di berbagai portofolio saham berstatus 'saham gorengan', yang diyakini dilakukan untuk memberikan keuntungan pribadi terhadap manajemen lama saat itu, sehingga berujung pada gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya.

Sebagai informasi, label 'saham gorengan' biasanya dilekatkan oleh pelaku pasar terhadap saham yang dinilai tidak memiliki fundamental bisnis yang cukup kuat, namun mengalami peningkatan harga secara cukup signifikan tanpa adanya sentimen positif yang dapat dipertanggungjawabkan.

Praktiknya, sejumlah oknum pelaku pasar dengan sengaja membeli sebuah saham dengan harga tinggi, dengan tujuan untuk memoderasi pasar untuk juga melakukan hal yang sama. Aksi ini dilakukan berulang kali, dengan terus mendorong harga saham terkait hingga mencapai target harga yang diinginkan.

Puncaknya, ketika saham tersebut sudah overpriced sedemikian tinggi, maka oknum pelaku pasar tersebut akan melakukan aksi jual secara besar-besaran, yang tentunya bakal membanting harga saham tersebut ke level awal. Alhasil, Sang Oknum sukses meraup cuan besar, sementara pelaku pasar yang terpancing melakukan transaksi, bakal rugi besar lantaran telah membeli saham tersebut di atas harga wajar.

Seperti halnya aksi window dressing, praktik 'menggoreng saham' merupakan salah satu kejahatan yang meski banyak dikecam, namun tetap tidak bisa ditindak tegas lantaran berada di wilayah abu-abu dalam aturan pasar modal nasional.

Seperti halnya praktik yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang menjadi oknum dalam kasus korupsi dalam pengelolaan manajemen Jiwasraya di masa lalu. Atas proses hukum yang berjalan, Kejagung menetapkan sedikitnya 13 korporasi yang terlibat sebagai tersangka, yang terbukti saling membantu dalam memanfaatkan dana investasi Jiwasraya untuk kepentingan pribadi mereka.

Atas praktik culasnya tersebut, 13 perusahaan itu didakwa telah merugikan negara sebesar Rp10 triliun. 13 perusahaan tersebut meliputi PT DMI/PAC, PT OMI, PT PPI, PT MDI/MCM, PT PAM, PT MAM, PT MAM, PT GAPC, PT JCAM, PT PAAM, PT CC, PT TFII, dan PT SAM.

Puncaknya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta juga telah menjatuhkan vonis bersalah pada enam nama, yaitu mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo, Kepala DIvisi Investasi dan Keuangan, Syahmirwan, Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro.

Seumur Hidup

Keenam pihak tersebut mendapatkan vonis sama, yaitu penjara seumur hidup, dengan masing-masing hukuman yang bervariasi. Heru Hidayat, misalnya, divonis penjara seumur hidup dan kewajiban membayar denda Rp5 miliar subsider satu tahun penjara. Vonis dijatuhkan karena Heru dinyatakan bersalah melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun, serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Benny Tjokrosaputro juga mendapatkan vonis yang sama persis dengan yang diterima Heru, namun dengan pidana tambahan berupa kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp6.078.500.000.000.

Berikutnya, Joko Hartono Tirto dijatuhi vonis penjara seumur hidup dan pidana denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara. Dalam dakwaannya, hakim menilai Joko telah melakukan sejumlah hal yang memberatkan vonisnya, yaitu telah menggunakan cara-cara licik yang seolah ingin membantu Jiwasraya bangkit dari kebangkrutan, namun pada dasarnya justru menyebabkan kerugian perusahaan menjadi semakin dalam.

Sedangkan, Hendrisman Rahim dijatuhi hukuman juga dijatuhi vonis penjara seumur hidup, lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang semula menuntut Hendrisman hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara.

Hukuman lebih berat dari tuntutan JPU juga dijatuhkan pada Syahmirwan, yang semula dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara.

Namun, hakim memutuskan keduanya tetap dijatuhi hukuman seperti halnya keempat tersangka lainnya, yaitu penjara seumur hidup plus denda subsider kurungan penjara.

Sementara, terakhir, Hary Prasetyo dijatuhi hukuman sesuai dengan tuntutan JPU, yaitu penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara.

Tak berhenti di situ, pihak berwajib juga terus berupaya melakukan penyitaan atas berbagai aset yang terafiliasi dengan terpidana Benny Tjokrosaputro. Upaya penyitaan dilakukan dalam rangka pemiskinan pada para tersangka kasus korupsi.

Terbaru, Kejagung kembali melakukan penyitaan terhadap aset milik Benny yang berada di Jawa Barat dan Banten. Penyitaan digelar oleh Jaksa Eksekutor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan didampingi Tim Pengendalian Eksekusi Direktorat Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi dan Eksaminasi serta Tim Pusat Pemulihan Aset (PPA) dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) dan PT ASABRI (persero).

"Aset yang berhasil dilakukan sita eksekusi berupa tanah sejumlah kurang lebih 220 bidang dengan luas sekitar 33,94 hektar," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, dalam keterangan resminya, Kamis (8/12/2022).

Menurut Ketut, aset tanah yang disita di Provinsi Banten berada di Kabupaten Tangerang, sebanyak 104 bidang tanah, dengan total luas sekitar 21 hektar.

Tanah tersebut tersebar di Kecamatan Sepatan Timur (Desa Sangiang, Desa Gempol Sari, Desa Jati Mulya dan Desa Pondok Kelor), Kecamatan Pakuhaji (Desa Paku Alam, Desa Kiara Payung dan Desa Buaran Bambu), dan Kecamatan Cisauk (Desa Dandang).

Sementara tanah yang disita di Jawa Barat terletak di Kabupaten Bogor, yaitu 116 bidang tanah seluas 12,94 hektar, di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin.

"Jaksa Eksekutor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada hari yang sama akan segera menyerahkan aset sita eksekusi tersebut kepada Pusat Pemulihan Aset (PPA) melalui Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat," tegas Ketut. (TSA)

SHARE