Kejar Momentum Nikel Ala Grup Harita dan Merdeka (MBM)
Perusahaan-perusahaan tambang, terutama nikel, bakal meramaikan bursa Tanah Air pada 2023 karena selain memiliki potensi kapitalisasi pasar jumbo.
IDXChannel – Perusahaan-perusahaan tambang, terutama nikel, bakal meramaikan bursa Tanah Air pada 2023 karena selain memiliki potensi kapitalisasi pasar atau market cap jumbo, perusahaan ini juga punya prospek yang menarik.
Perusahaan tersebut salah satunya adalah PT Trimegah Bangun Persada (TBP) yang merupakan milik Harita Group yang dikendalikan oleh taipan Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.
Menurut Financial Times, TBP telah mengadakan roadshow di pekan ini untuk aksi initial public offering (IPO) dengan harapan dapat membidik dana IPO sebesar USD600 juta atau Rp9,24 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.400/USD) sebelum pembukuan pada Maret.
Sementara, pihak TBP mengatakan, rencana IPO tersebut bertujuan untuk pendanaan proyek smelter high pressure acid leaching (HPAL) di Kawasan Industri Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Di sisi lain, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna mengatakan, memang ada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang sudah masuk dalam pipeline IPO. Namun, Nyoman tidak menyebutkan nama perusahaan tersebut.
“Yang berhubungan dengan pertambangan nikel dan electric vehicle sudah ada di pipeline. Tapi saya tidak boleh menyebutkan nama,” kata Nyoman saat ditemui di Gedung BEI, Jumat (10/3/2023).
Dalam proses IPO perusahaan tersebut, BEI telah melakukan kunjungan atau site visit, serta meminta penjelasan lebih lanjut kepada perusahaan tersebut. “Dan kami menunggu beberapa persetujuan dari ESDM,” imbuhnya.
Informasi saja, TBP merupakan tambang nikel yang beroperasi di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara sejak 2010 lalu.
Selain TBP, perusahaan nikel lainnya yang akan IPO adalah PT Merdeka Battery Minerals atau MBM. Rencananya, perusahaan nikel ini akan ditargetkan melakukan IPO di bursa pada kuartal pertama 2023.
Tak hanya dari sektor nikel, emiten tambang milik Grup Medco, PT Amman Mineral Internasional atau AMI juga dikabarkan akan menyelenggarakan IPO pada tahun ini. Adapun, dana IPO yang dibidik perusahaan tembaga ini mencapai USD1 miliar atau setara Rp15,40 triliun.
Besarnya jumlah dana IPO yang ditargetkan oleh AMI hingga TBP berpotensi mencerminkan market cap yang besar pula, setidaknya berada di atas Rp10 triliun.
Di samping itu, dengan potensi market cap jumbo dari emiten-emiten tambang yang akan IPO tersebut juga memiliki peluang untuk masuk dalam jajaran emiten dengan market cap besar, seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) hingga PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). (Lihat grafik di bawah ini.)
Nama Besar di Balik Duo Perusahaan Nikel TBP dan MBM
Baik perusahaan nikel TBP maupun MBM sama-sama memiliki nama besar dibelakangnya. TBP misalnya, yang berada di bawah naungan Harita Group.
Informasi saja, saham TBP saat ini digenggam oleh PT Harita Jayaraya dan PT Citra Duta Jaya Makmur dengan masing-masing kepemilikan saham sebesar 99 persen dan 1 persen.
Perusahaan-perusahaan tersebut dikendalikan oleh Lim Haryanto Wijaya Sarwono yang masuk dalam jajaran crazy rich Tanah Air.
Melansir data Forbes, per Jumat (10/3), pria berusia 94 tahun tersebut memiliki kekayaan sebesar USD1,2 miliar atau Rp18,48 triliun.
Adapun, kekayaan tersebut berasal dari gurita bisnisnya yang bergerak di bidang pertambangan nikel dan bauksit, smelter feronikel, perkebunan kelapa sawit, ekspedisi, kayu, batu bara, hingga properti.
Harita Group didirikan pada 1915 oleh ayah Lim Haryanto, yaitu Lim Tju King yang merupakan imigran dari China. Harita Group bermula dari toko sembako kecil-kecilan di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Adapun, Harita Group pertama kali mengembangkan sayapnya di bidang pertambangan pada 1988 melalui hasil joint venture dengan Kelian Equal Mining (KEM) milik Rio Tinto Group dalam mendirikan pertambangan emas.
Di sisi lain, MBM dikendalikan oleh raksasa emas dan tembaga, yaitu PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA). Sementara, MBM merupakan anak usaha dari MDKA dengan kepemilikan tidak langsung melalui PT Merdeka Energi Nusantara yang menggenggam saham MBM sebesar 59,88 persen.
Menurut data BEI per 28 Februari 2023, kendaraan investasi milik Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) turut menggenggam saham MDKA dengan kepemilikan saham sebesar 18,34 persen.
Sedangkan, Garibaldi ‘Boy’ Thohir juga memegang saham MDKA dengan kepemilikan saham mencapai 7,36 persen.
Prospek Industri dan Pemain Nikel di Indonesia
Industri nikel punya prospek yang cerah ke depannya terutama didorong oleh industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang berkembang pesat.
Di samping itu, Indonesia juga punya potensi menjadi pemain kunci dalam rantai pasokan EV, terutama dengan potensi cadangan nikel terbesar di dunia, yakni mencapai 22 persen.
Mengutip data dari Financial Times, hingga tahun 2022, cadangan nikel di Indonesia mencapai 21 juta ton, setara dengan cadangan nikel di Australia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Selain dikenal memiliki cadangan nikel yang jumbo, Indonesia juga menjadi produsen komoditas nikel terbesar di dunia.
Sebagaimana disebutkan dalam Financial Times, pada 2022, Indonesia berhasil memproduksi nikel sebanyak 1,6 juta ton, mengungguli negara-negara produsen nikel lainnya yang angka produksi nikelnya pada tahun yang sama kurang dari 0,5 juta ton. (Lihat grafik di bawah ini.)
Asal tahu saja, nikel merupakan komponen utama yang digunakan dalam pembuatan batu baterai untuk EV. Dengan potensi ini, sejumlah produsen baterai listrik dan EV berlomba-lomba untuk membangun pabrik baterai listrik di Indonesia.
Financial Times mengungkapkan, LG Energy Solution dari Korea Selatan tengah membangun pabrik sel baterai senilai USD1,1 miliar (Rp16,94 triliun), sedangkan produsen EV, Hyundai juga membuka pabrik pertamanya di Asia Tenggara untuk merakit mobil listrik.
Perusahaan asal China, CATL juga tercatat telah berinvestasi di industri ini. Di sisi lain, pemerintah juga tengah mendekati Tesla dan BYD agar dapat berinvestasi di Indonesia.
Selain potensi dari EV, pemerintah Indonesia terutama Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang ekspor nikel mentah guna mendorong lebih banyak pembuat baterai EV agar membangun pabrik domestik untuk memproses nikel menjadi bahan baku baterai EV.
Langkah hilirisasi tersebut membantu meningkatkan nilai ekspor produk nikel di Indonesia hingga 10 kali lipat dibanding satu dekade lalu menjadi USD30 miliar (Rp462 triliun) pada 2022.
Menurut Manajer Investasi Tim Ekuitas Asia, Jerry Goh, peluang-peluang tersebut dapat meningkatkan profil margin perusahaan yang tentunya jadi katalis positif bagi pergerakan saham pemain nikel kedepannya.
“Ini bisa menjadi peluang bagi investor global yang menyukai story dari nikel sehingga mau berinvestasi di industri ini,” kata Jerry Goh, dilansir dari Financial Times (8/3).
Selain industri nikel yang bakal prospektif, pemain nikel MBM dan TBP juga punya potensi yang menarik ditopang oleh kekuatan perusahaan sebagai pemain nikel.
Riset CLSA bertajuk “Merdeka Copper Gold (MDKA): Midas Touch” yang dirilis pada 13 Januari 2023 mengungkapkan, MBM memiliki 51 persen cadangan nikel sebesar 189m/1,1 miliar dmt. Sementara, perusahaan ini juga memiliki kapasitas produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebesar 38ktpa.
Di sisi lain, perusahaan ini akan memulai penambangan bijih limonit pada semester II-2023 dengan target produksi sebesar 6 juta hingga 8 juta wet metrik ton (wmt) per tahun.
CLSA tutut menyebutkan, pada akhir 2023, MBM akan menambah kapasitas NPI hingga 50kt dan membangun pabrik peleburan sebagai konverter NPI ke nikel matte.
“Pada 2024, kami berharap dengan potensi-potensi tersebut MBM dapat berkontribusi sebesar 50 persen hingga 70 persen terhadap pendapatan dan laba kotor MDKA,” tulis riset CLSA.
Sedangkan, dalam riset CLSA lainnya yang diterbitkan pada 23 Februari 2023 dengan judul “Merdeka Copper Gold (MDKA): Emerging as a Major Player” disebutkan, potensi sumber daya nikel MBM di satu lokasi yang terintegrasi dengan infrastruktur Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) memungkinkan emiten ini menjadi pusat nikel kelas satu di Indonesia.
Sebagai informasi, IMIP merupakan kawasan industri berbasis pengolahan nikel yang produk utamanya berupa nikel, stainless steel dan carbon steel yang terletak di Morowali, Sulawesi Tengah.
Di lain pihak TBP juga punya potensi menarik, terlebih emiten ini memiliki tambang dan hilirisasi nikel di Pulau Obi yang menjai salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden No. 109 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Lebih lanjut, pelaksana PSN Kawasan Industri adalah PT Trimegah Bangun Persada bersama tenan atau perusahaan afiliasi yang telah beroperasi, yakni PT Gane Permai Sentosa, PT Halmahera Jaya Feronikel dan PT Megah Surya Pertiwi, termasuk perusahaan partner perusahaan yang lain yakni, PT Halmahera Persada Lygend.
Tercatat, TBP memiliki izin usaha pertambangan (IUP) untuk jangka waktu 20 tahun, sejak 8 Februari 2010 hingga Feruari 2030.
Adapun, luas wilayah IUP TBP bersama Gane Permai Sentosa mencapai 5.523 hektare (ha). Dengan luas wilayah tersebut, TBP dapat memproduksi bijih nikel berkadar tinggi atau nikel saprolit sebanyak 682,63 ribu wmt.
Sementara, untuk produksi bijih nikel berkadar rendah (limonit), TBP mampu memproduksi sebanyak 617,30 ribu wmt.
Sedangkan, perusahaan afiliasinya, Gane Permai Sentosa dapat menghasilkan 322,30 wmt saprolit dan 153,69 wmt limonit.
Selain menambang nikel, TBP juga bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian bijih nikel melalui PT Megah Surya Pertiwi (MSP). Sejak 2016, TBP bersama MSP telah mengoperasikan smelter teknologi rotary klin electric furnance (RKEF).
Tercatat, smelter tersebut telah mengolah saprolit dengan kapaistas produksi 240 ribu ton feronikel (FeNi) per tahun dari empat jalur produksi.
Sedangkan, TBP juga mengoperasikan smelter lanjutan untuk mengolah bijih nikel saprolit melalui PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF) dengan kapasitas 780 ribu ton per tahun dari delapan jalur industri.
Kedua smelter tersebut menghasilkan produk akhir feronikel yang dimanfaatkan dalam industri stainless steel, baterai, perangkat elektronik, dan industri antariksa.
Di samping itu, TBP turut mengoperasikan smelter HPAL melalui Halmahera Persada Lygend yang menjadi smelter HPAL pertama di Indonesia.
Adapun, smelter yang beroperasi sejak 2021 lalu tersebut menghasilkan campuran nikel kobalt hidroksida yang diproses menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk bahan baku baterai EV dengan kapasitas produksi 365 ribu per tahun.
Informasi saja, nikel sulfat bermanfaat sebagai komponen katoda baterai litium atau baterai EV. Sementara, kobalt sulfat merupakan material katoda baterai lithium.
Dengan kekuatan perusahaan serta potensi industri EV kedepan, emiten-emiten nikel tersebut punya story yang cukup kuat untuk melantai di BEI.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.