Ketularan Banyak ‘Drama’ Ekonomi, IHSG Sanggup Balik ke 7.000?
Inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, hingga resesi menghiasi headline pemberitaan akhir-akhir ini.
IDXChannel – Inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, hingga resesi menghiasi headline pemberitaan akhir-akhir ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya ikut terdampak sentimen negatif global tersebut. Bagaimana nasib ke depan?
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), dalam perdagangan sesi I pada Rabu (12/10/2022), IHSG berada di level 6.896,39.
Semenjak menyentuh level tertinggi sepanjang masa (all time high) harian di 7.318,01 pada penutupan pasar 13 September 2022, IHSG sudah turun 5,76 persen. Di posisi ini, kinerja year to date (ytd), IHSG sempat melesat 11,19 persen.
Namun, berkat aksi jual yang lumayan besar di pasar sejak medio September, kinerja YTD (artinya sejak awal tahun hingga saat ini) IHSG terpangkas menjadi ‘hanya’ 4,78 persen. Walaupun, menurut data BEI, IHSG masih menjadi yang terbaik di kawasan Asia-Pasifik yang diselimuti ‘lautan merah’ alias berkinerja minus.
Dalam sepekan, IHSG turun 2,53 persen dan dalam sebulan anjlok 5,24 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Seiring penurunan IHSG tersebut, investor asing keluar dari pasar saham RI dengan melakukan penjualan bersih (net sell) Rp2,56 triliun di pasar reguler dalam sepekan. Sementara, dalam sebulan terakhir, asing juga membukukan net sell sebesar Rp6,16 triliun di pasar reguler.
Kekhawatiran Global Tekan IHSG
Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee memaparkan, ekonomi global yang sedang dilanda kekhawatiran berpengaruh terhadap pasar saham RI.
“Ekonomi global sedang khawatir. Ekonomi melambat. Kalau ekonomi melambat, biasanya akan berdampak pada pertumbuhan laba perusahaan,” jelas Hans saat dihubungi IDXChannel, Rabu (12/10).
Menurut estimasi Hans, dengan skenario resesi rendah, laba perusahaan di luar negeri kurang lebih bisa turun 15 persen.
Hans melanjutkan, sebagai negara pengekspor komoditas, seperti batu bara dan minyak sawit, perlambatan ekonomi global akan memengaruhi ekonomi RI dan pasar saham dalam negeri.
“Tentu ini [sentimen ekonomi global] akan berpengaruh ke Indonesia. Indonesia kan ngandelin komoditas. Ekonomi global turun, ekspor turun. Saham komoditas turun. Sehingga ekonomi melambat, laba perusahaan turun. Ini yang membuat saham dalam negeri turun,” bebernya.
“Kita salah satu bursa terbaik di dunia,” kata Hans, “Penurunan ini mengoreksi pertumbuhan-pertumbuhan sebelumnya.”
Ke depan, mengutip penjelasan Hans, dunia menghadapi dua hal penting.
Pertama, soal potensi bank sentral global akan menaikkan suku bunga lagi di tengah data inflasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang masih tinggi. “Kenaikan [inflasi] tersebut akan membuat resesi,” ujar Hans.
Kedua, Rusia-Ukraina, salah satu jembatan yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea meledak pada Sabtu (8/10) dan menyebabkan kemarahan di Moskow. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan di rute penting bagi pasukan perang Rusia tersebut.
“Itu bikin Rusia marah. Ini membuat risiko global meningkat dan membuat pasar terkoreksi akhir-akhir ini,” jelas Hans.
Berkaitan dengan poin kedua, kata Hans, menjelang akhir tahun, Eropa akan memberikan sanksi ke Rusia yang sedang berperang dengan Ukraina.
Hal ini juga, demikian papar Hans, berpotensi menaikkan harga minyak mentah dunia dan ikut memengaruhi harga BBM dalam negeri.
IHSG dan Divergensi
Sementara, analis senior di Samuel Sekuritas Indonesia M. Alfatih berpendapat, IHSG mengalami divergensi (cenderung berbeda arah) dengan dengan indeks saham global MSCI.
Menurut penjelasan Alfatih, ketika saham global mulai mengalami tren penurunan sejak Oktober 2021, IHSG masih tetap dalam tren naik sejak Maret 2020, yakni saat pandemi Covid menekan indeks acuan saham Tanah Air tersebut.
Saat itu, demikian ujar Alfatih, bank sentral AS (The Fed) sudah mulai menyebut bakal memulai tapering, yaitu mengurangi pembelian pembelian obligasi pemerintah AS, merespons tingginya likuiditas yang beredar.
Lalu, Alfatih melanjutkan, tapering tersebut disusul oleh tingginya inflasi “dan perang Rusia-Ukraina yang semakin meningkatkan inflasi.”
Lebih lanjut, menurut amatan Alfatih, IHSG juga mengalami divergensi dari saham negara berkembang globalMSCI, “yang sudah turun sejak awal 2021, terpukul akibat kondisi Covid.”
“Dalam setahun terakhir, hal yang paling dominan untuk kenaikan IHSG adalah kuatnya harga-harga komoditas akibat supply chain [rantai pasok] terganggu karena Covid dan diperparah oleh kondisi geopolitik di Eropa timur,” tutur Alfatih saat menjawab pertanyaan dari IDXChannel, Rabu (12/10).
Saat ini, masih mengutip Alfatih, harga komoditas terlihat mulai melemah sehingga mengurangi faktor positif yang RI punya selama ini. “Juga inflasi mulai menguat, setelah selama ini berhasil dijaga rendah,” imbuh Alfatih.
Mungkinkah Kembali ke 7.000?
Menurut hemat Alfatih, IHSG kemungkinan masih akan melemah ke arah 6.850, lalu sekitar posisi 6.750.
Alfatih mengestimasi, level pivot (titik potensi pembalikan/reversal) di 7.030. “[J]ika indeks dapat menguat di atas level ini maka trend turun sejak September 2022 dapat berkurang,” pungkas Alfatih.
Sementara, Hans masih optimistis indeks saham acuan RI tersebut akan kembali ke level psikologis 7.100-7.200 di akhir Desember.
Investor asing, kata Hans, juga akan kembali ke pasar saham RI seiring dengan aksi The Fed yang diproyeksi tidak akan seagresif bulan-bulan sebelumnya dalam menaikkan suku bunga.
Sebagai informasi, kendati ‘cabut’ sebulan terakhir, investor asing masih melakukan pembelian bersih (net buy) di pasar reguler sebesar Rp62,81 triliun secara ytd. (ADF)