sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Bagaimana Kesiapan Indonesia?

Economics editor Ikhsan PSP
11/10/2022 19:38 WIB
Indonesia perlu mengejar ketertinggalan, karena pesaing di wilayah Asean seperti Vietnam dan Filipina masing-masing mencatatkan pertumbuhan 7,7% dan 7,4%
Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Bagaimana Kesiapan Indonesia? (FOTO:MNC Media)
Ancaman Resesi Global di Depan Mata, Bagaimana Kesiapan Indonesia? (FOTO:MNC Media)


IDXChannel  - Kabar mengenai resesi global terus digaungkan, terbaru Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan peringatan tentang meningkatnya resiko resesi global.

Lalu seperti apa kekuatan Indonesia untuk menghadapi resiko resesi global?

Sejumlah ekonom menerangkan kondisi perekonomian di Indonesia. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang cukup baik pada kuartal ke II 2022 yakni, 5,44% year on year.

Tapi menurutnya, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan, karena pesaing di wilayah Asean seperti Vietnam dan Filipina masing-masing mencatatkan pertumbuhan 7,7% dan 7,4% pada kuartal yang sama.

"Pada saat resesi ekonomi terjadi, pelaku usaha termasuk sektor manufaktur akan mencari lokasi basis produksi di negara yang mampu berikan pertumbuhan tinggi," ujarnya kepada MPI, Selasa (11/10/2022).

Bhima menambahkan, cadangan devisa Indonesia sampai September 2022 sebesar USD130,8 miliar. Masih relatif tinggi meski ada koreksi.

"Tapi dibandingkan dengan PDB, maka rasio cadangan devisa sebesar 8,4%. Perlu didorong agar kemampuan dalam intervensi stabilitas kurs rupiah semakin baik," tandasnya.

Lebih lanjut dia menerangkan, perlindungan sosial terhadap PDB baru mencapai 2,5% pada 2023 mendatang. "Sementara dibutuhkan setidaknya 4-5% rasio anggaran perlindungan sosial untuk menahan lonjakan angka kemiskinan baru akibat resesi dan inflasi," terangnya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal menyebut resesi di 2023 yang diprediksikan memang bisa melanda hampir sebagian besar negara di dunia.

Tetapi level dampaknya kepada negara-negara di dunia itu berbeda dan akan bergantung pada 3 hal.
Yang pertama menurutnya adalah dari sisi tingkat keterkaitan ekonomi satu negara terhadap negara lain atau terhadap ekonomi eksternal. Negara yang semakin tinggi keterkaitannya maka semakin mudah pula tertular dampak Resesi.

Yang kedua dilihat dari besaran ekonomi domestiknya termasuk juga pasar di dalam negerinya, yang mana ketika ekonomi eksternal bermasalah, ekonomi dalam negerinya bisa menjadi bantalan, asalkan kondisinya bagus.

Kemudian yang ketiga adalah respon kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing negara terhadap kondisi global untuk meredam tekanan dari ekonomi global yang mengalami resesi.

"Kalau dilihat dari itu sebenarnya Indonesia kalau dilihat dari sisi keterkaitan terhadap ekonomi globalnya dari trade saja, walaupun kita ekonomi terbuka, tapi persentase keterlibatan atau volume ekspor impor kita itu relatif lebih rendah dibandingkan bukan hanya volume, persentase daripada perdagangan internasional Indonesia terhadap total ekonominya itu lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara peer countries termasuk negara tetangga kita," jelasnya.

Jadi artinya dampaknya bisa lebih kecil terhadap Indonesia dibandingkan dengan negara-negara peer countries

Jika dilihat dari sisi besaran ekonomi domestik, Indonesia menurutnya sangat besar. Itu bisa menjadi bantalan ketika ekonomi global sedang bermasalah asalkan kondisinya bagus.

"Jadi paling tidak ada yang bisa meredam walaupun pasti ada dampaknya juga kalau ekonomi global tidak baik, karena paling tidak kita tetap bergantung kepada ekspor komoditas, jadi kalau ekspor komoditas kembali mengalami penurunan karena adanya resesi ini tetap akan mempengaruhi ekonomi domestik," ucapnya.

Sedangkan yang paling krusial menurut Faisal adalah respon kebijakan. Kalau dari kondisi makro ekonomi Indonesia dinilai masih cukup bagus pada saat sekarang, karena pertumbuhan ekonomi malah lebih tinggi daripada pra pandemi, masih di atas 5 persen.

"Walaupun ada peningkatan inflasi konsennya, tapi indikator yang lain seperti cadangan devisa, nilai tukar walaupun melemah, paling tidak persentase pelemahannya tidak sebanyak negara lain, lalu dari purchasing manager index di sektor manufaktur masih ekspansi walaupun menipis, kemudian index penjualan riil, index penjualan ritel masih bagus konsumsinya, artinya masih bisa dikatakan tahap pemulihan yang on track," tuturnya.

Dia menuturkan pemerintah perlu berhati-hati. Misalnya sudah kelihatan ada beberapa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor, lalu ada pelemahan nilai tukar rupiah, inflasi juga terus meningkat, dan dari sisi respon kebijakan, karena menjelang 2023 justru Pemerintah ingin melakukan normalisasi kebijakan, yang tadinya insentif diberikan pada saat pandemi, sekarang akan dikurangi.

"Jadi dalam kondisi dimana global justru mengalami ancaman resesi ini bisa berbahaya jika tidak dilakukan secara hati-hati. Jadi perlu ada skala prioritas jika ingin melakukan normalisasi kebijakan, perlu melihat kondisi masing-masing sektor, jadi tidak dilakukan secara pukul rata tidak konsiderat terhadap kondisi daripada sektor-sektor yang bersangkutan," paparnya.


(SAN)

Advertisement
Advertisement