MARKET NEWS

Membuktikan Ramalan Resesi di 2023, Sudah Sejauh Mana?

Maulina Ulfa - Riset 16/02/2023 03:33 WIB

jika diperhatikan, kenaikan maupun penurunan ramalan pertumbuhan ekonomi tak memiliki gap yang terlalu besar dengan tahun pra pandemi 2019.

Membuktikan Ramalan Resesi di 2023, Sudah Sejauh Mana? (foto: MNC Media)

IDXChannel - Tahun 2023 sudah hampir memasuki kuartal pertamanya. Banyak kejadian dan capaian yang diraih oleh banyak ekonomi dunia. Dinantaranya adalah inflasi yang mulai terkendali di beberapa bagian negara. Juga harga-harga komoditas yang sempat melangit sepanjang 2022 kembali melandai memasuki kuartal pertama tahun ini.

Ini merupakan sinyal yang ambigu. Sejumlah proyeksi memetakan tahun 2023 menjadi tahun yang suram bagi sejumlah perekonomian dunia.

Sebut saja Amerika Serikat, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di muka bumi, diramalkan akan memasuki fase resesi akibat tingginya angka inflasi yang memaksa bank sentral terus menggenjot kenaikan suku bunga bank sentral.

Juga Inggris, dan beberapa negara zona Eropa, yang, walaupun ekonomi nasionalnya harus 'babak belur' akibat melambungnya biaya hidup karena mahalnya energi dan pangan, namun mulai menunjukkan inflasi yang mendingin. 

Membaca sejumlah sinyal ini, benarkah ramalan resesi masih akan tetap terjadi di tahun ini? Jika memang ramalan ini nyata, sudah sejauh mana resesi terjadi?

Ekonomi Asia Tenggara Lebih ‘Tahan Banting’

Di Asia Tenggara, negara-negara yang terkenal dengan sebutan ASEAN 5 yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand mengalami pertumbuhan mengesankan sepanjang 2022. (Lihat grafik di bawah ini)

Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,01 persen secara year on year (yoy) pada Q4 2022. Pembacaan ini mengalahkan perkiraan pasar 4,84 persen, setelah sebelumnya mengalami kenaikan 5,73 persen pada Q3 tahun yang sama. 

Ini adalah periode ekspansi ekonomi RI ketujuh berturut-turut. Namun, menjadi laju terlemah sejak Q3 2021, di tengah perlambatan konsumsi rumah tangga sebesar 4,48 persen dan penurunan investasi 3,33 persen.

Sementara tingkat inflasi tahunan Indonesia turun menjadi 5,28 persen pada Januari 2023 dari bulan sebelumnya sebesar 5,51 persen. Ini juga menjadi level terendah sejak Agustus tahun lalu, dan di bawah konsensus pasar sebesar 5,4 persen.

Menuju negeri tetangga, perekonomian Malaysia tumbuh mengesankan 7 persen yoy pada Q4 tahun 2022. Data ini juga di atas perkiraan pasar sebesar 6,6 persen tetapi melambat dari pertumbuhan 14,2 persen di Q3.

Namun, pertumbuhan PDB berada di atas rata-rata sebesar 5,1 persen. 

Tingkat inflasi tahunan Malaysia juga melambat menjadi 3,8 persen pada Desember 2022 dari sebelumnya 4 persen pada November tahun lalu dan di bawah perkiraan pasar sebesar 3,9 persen.

Ini menjadi angka terendah sejak Juni, karena inflasi makanan turun ke level terendah dalam tiga bulan sebesar 6,8 persen pada Desember dari rekor 7,3 persen pada bulan November.

Adapun untuk inflasi Januari 2023 diperkirakan akan melandai ke level 2,6 persen, berdasarkan proyeksi Economists Intelligent Unit (EIU).

Sementara salah satu ekonomi terbesar ASEAN, Singapura, mencatatkan tumbuh sebesar 3,6 persen pada 2022, sedikit di bawah perkiraan pemerintah sebelumnya sebesar 3,8 persen. 

Pertumbuhan ini terutama didorong oleh sektor perdagangan besar, manufaktur dan jasa lainnya.

Adapun tingkat inflasi tahunan Singapura turun menjadi 6,5 persen pada Desember 2022 setelah sebelumnya sempat mencapai 6,7 persen dalam dua bulan sebelumnya, dan hampir sejalan dengan perkiraan pasar sebesar 6,55 persen.

Di negeri Tagalog, PDB Filipina tumbuh 7,2 persen yoy pada Q4 2022. Setelah sebelumnya mencatatkan kenaikan 7,6 persen pada Q3 dan di atas konsensus pasar sebesar 6,5 persen. 

Ini juga menjadi pertumbuhan kuartal ke-7 berturut-turut Filipina, karena konsumsi rumah tangga tetap solid meskipun ada tekanan biaya hidup yang intens dan suku bunga yang lebih tinggi yang mencapai 7 persen, dan didukung peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 3,3 persen.

Adapun tingkat inflasi tahunan di Filipina naik menjadi 8,7 persen pada Januari 2023, dari sebelumnya 8,1 persen pada bulan sebelumnya. Ini cukup meleset jauh di atas ekspektasi pasar sebesar 7,7 persen dan menjadi level tertinggi sejak November 2008.

Beralih ke negeri Gajah Putih, perekonomian Thailand tumbuh 1,2 persen secara kuartalan pada Q3 tahun 2022 dan mengalahkan konsensus pasar tentang kenaikan 0,9 persen dan mengikuti pertumbuhan 0,7 persen di Q2. 

Hasil terbaru adalah kuartal keempat berturut-turut dari kenaikan kuartalan, di tengah konsumsi swasta yang tangguh dan investasi tetap yang kuat.

Sembari menanti data ekonomi Q4 Thailand, beberapa lembaga ekonomi memproyeksikan ekonomi akan bertumbuh 4,2 persen secara kuartalan dan tumbuh 3,4 persen secara yoy. 

Tingkat inflasi tahunan di Thailand turun menjadi 5,02 persen pada Januari 2023, dari 5,89 persen pada bulan sebelumnya dan di bawah perkiraan pasar sebesar 5,12 persen.

AS, Eropa, China Mulai Membaik, Jepang Masih Tertatih

Negara-negara ekonomi utama dunia diramalkan akan menghadapi badai resesi tahun ini. Namun, anomali nampak dari pertumbuhan ekonomi beberapa negara seperti AS, China, Jepang, Inggris, dan Eropa. (Lihat grafik di bawah ini)

Di AS, tercatat PDB riil meningkat pada tingkat tahunan sebesar 2,9 persen pada kuartal keempat 2022. Pada kuartal sebelumnya, PDB AS berada di level 3,2 persen. 

Peningkatan pada kuartal keempat terutama mencerminkan peningkatan investasi dan belanja konsumen yang sebagian diimbangi oleh penurunan investasi perumahan.

Adapun angka inflasi negeri Paman Sam dilaporkan sedikit melambat menjadi 6,4 persen pada Januari 2023 dari sebelumnya 6,5 persen pada Desember tahun lalu. 

Meski angka inflasi ini meleset dari perkiraan pasar sebesar 6,2 persen namun juga merupakan angka inflasi terendah sejak Oktober 2021.

Bergeser ke ekonomi mapan Asia, di China, PDB tumbuh sebesar 3 persen sepanjang 2022, menurut Biro Statistik Nasional. 

Angka ini lebih baik dari perkiraan ahli sebesar 2,8 persen dalam jajak pendapat Reuters. Angka pertumbuhan PDB ini juga meleset dari target resmi sekitar 5,5 persen yang ditetapkan pada bulan Maret 2022. 

Di tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China sempat pulih sebesar 8,4 persen dari tahun pandemi 2020 yang hanya bertumbuh 2,2 persen. Sementara PDB kuartal keempat 2022 naik 2,9 persen, mengalahkan ekspektasi dari jajak pendapat Reuters sebesar 1,8 persen.

Adapun tingkat inflasi tahunan China naik menjadi 2,1 persen pada Januari 2023 dari 1,8 persen pada Desember 2022. Ini meleset tipis dari perkiraan pasar sebesar 2,2 persen. 

Namun, data ini adalah pembacaan tertinggi dalam 3 bulan. Disebabkan karena harga makanan melonjak dan harga non-makanan naik lebih jauh karena adanya momentum Tahun Baru Imlek dan penghapusan pandemi.

Sebelumnya, inflasi China sempat memuncak di level 2,8 persen pada September 2022. Sementara tingkat inflasi rata-rata tahunan China berkisar 2,0 persen pada tahun 2022.

Jepang juga mengalami perlambatan pertumbuhan PDB. Ekonomi Jepang tumbuh hanya sebesar 0,2 persen pada Q4 2022.

Angka ini berbalik dari kontraksi di kuartal sebelumnya sebesar minus 0,3 persen. Kenaikan ini tetap jauh dari ekspektasi pasar sebesar 0,5 persen. 

Tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 4 persen pada Desember 2022. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak Januari 1991 karena kenaikan harga komoditas mentah impor dan pelemahan yen.

Di samping itu, BOJ mempertahankan pengaturan kebijakan utamanya dengan tidak mengubah suku bunga negatif pada -0,1 persen dan imbal hasil obligasi 10 tahun sekitar 0 persen. 

Di daratan Eropa, Inggris masih mencatatkan pertumbuhan stagnan. Perekonomian Inggris terhenti pada kuartal terakhir 2022, menyusul penurunan 0,2 persen pada periode sebelumnya, dan nyaris lolos dari resesi.

Adapun tingkat inflasi tahunan Inggris mencatatkan penurunan menjadi 10,1 persen pada Januari 2023. Pada akhir 2022, inflasi Inggris berada di level 10,5 persen pada Desember lalu.

Penurunan inflasi ini di bawah perkiraan pasar sebesar 10,3 persen. Inflasi Inggris juga mencatatkan penurunan selama tiga bulan berturut-turut ke level terendah sejak September tahun lalu.

Di zona Eropa, pertumbuhan ekonomi kuartalan dikonfirmasi sebesar 0,1 persen pada kuartal keempat 2022. Angka ini juga sangat kecil dan lebih rendah dari ekspansi 0,3 persen pada periode tiga bulan sebelumnya. 

Perekonomian blok ini akhirnya juga berhasil menghindari kontraksi pada akhir tahun lalu. Ini cukup mengejutkan jika melihat kondisi inflasi tinggi dan kenaikan biaya pinjaman memukul permintaan domestik wilayah tersebut. Serta kemacetan rantai pasokan terus membebani aktivitas ekonomi Eropa. 

Di antara ekonomi terbesar zona Eropa, PDB bertumbuh di beberapa negara, seperti Belanda sebesar 0,6 persen, Spanyol tumbuh 0,2 persen, Prancis tumbuh 0,1 persen.

Namun, ekonomi utama Eropa, Jerman, masih mengalami kontraksi sebesar 0,2 disusul Italia dengan pertumbuhan minus 0,1 persen. 

Sementara tingkat inflasi tahunan kawasan Euro adalah 9,2 persen pada Desember 2022, turun dari 10,1 persen pada November.

Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Kawasan Euro melambat menjadi 1,9 persen selama kuartal keempat 2022, tingkat ekspansi terlemah sejak resesi 2020 akibat Pandemi Covid-19.


Mengkaji Ulang Ramalan Resesi 2023

Aktivitas ekonomi di suatu negara biasanya diukur dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan juga kondisi inflasi.

Sepanjang 2022, inflasi di beberapa negara memang tercatat meroket tajam dalam waktu yang singkat. Kondisi inilah yang rentan menimbulkan resesi.

Sementara menurut Investopedia, resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, meluas, dan berkepanjangan. Ditandai dengan pertumbuhan PDB negatif selama dua kuartal berturut-turut. 

Namun ini bukan sebuah ukuran yang saklek digunakan oleh suatu negara. Biasanya, kebijakan pengukuran ekonomi di setiap negara tergantung konteks yang melingkupi negara tersebut, di samping indikator utama pengukuran ekonomi.

Dua pertiga ekonom yang disurvei oleh World Economic Forum (WEF) untuk laporan Chief Economists Outlook pada pertengahan Januari lalu mengatakan resesi global yang ditandai penyusutan produk domestik bruto dunia kemungkinan tetap terjadi pada 2023. 

Di bulan yang sama, Bank Dunia juga memperingatkan ekonomi global sangat dekat untuk jatuh ke dalam resesi.

Sementara IMF melakukan pembaruan Outlook Ekonomi Dunia Januari 2023 memproyeksikan bahwa pertumbuhan global akan turun menjadi 2,9 persen pada tahun 2023 tetapi naik menjadi 3,1 persen pada tahun 2024. (Lihat grafik di bawah ini)

Perkiraan tahun 2023 adalah 0,2 poin persentase lebih tinggi dari prediksi pada Outlook Ekonomi Dunia Oktober 2022 tetapi di bawah rata-rata historis 3,8 persen. 

Menurut IMF, kenaikan suku bunga dan perang di Ukraina akan terus membebani aktivitas ekonomi. Pembukaan kembali China baru-baru ini telah membuka jalan bagi pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan. 

Namun, jika diperhatikan, kenaikan maupun penurunan ramalan pertumbuhan ekonomi tak memiliki gap yang terlalu besar dengan tahun pra pandemi 2019. Angkanya juga masih lebih optimis dibanding saat pandemi Covid-19 melanda 2020.

Sementara inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 6,6 persen pada 2023 dan 4,3 persen pada 2024, namun masih di atas level sebelum pandemi.

Jika mengkaji perkiraan IMF, seharusnya kondisi saat ini menjadi tidak terlalu pesimistis dan menunjukkan bahwa ekonomi global dapat menghindari kontraksi tahun ini. 

Sebagai pengecualian, IMF telah meramalkan bahwa ekonomi Inggris akan menyusut dan memperingatkan bahwa Amerika Serikat memiliki peluang yang cukup sempit untuk keluar dari resesi.

Setidaknya, beberapa indikator makro ini bisa menjadi gambaran mungkin saja resesi tak “seseram” yang digemborkan menjelang akhir 2022 lalu. (TSA)

SHARE