MARKET NEWS

Menilik Prospek Kinerja dan Saham Garuda (GIAA) di Tengah Risiko Utang Tinggi

Fiki Ariyanti 08/02/2024 12:50 WIB

Mau serok saham Garuda Indonesia (GIAA)? Simak dulu nih analisis kinerja dan sahamnya untuk 2024? Apakah bakal terbang atau suram?

Menilik Prospek Kinerja dan Saham Garuda (GIAA) di Tengah Risiko Utang Tinggi (Foto MNC Media)

IDXChannel - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan fokus pada rute-rute penerbangan yang memiliki performa positif dengan optimalisasi jumlah armada. 

Hal ini seiring dengan terjadinya penambahan empat armada Garuda B737-800NG pada 2023, serta menerapkan skema “Power by Hour” dalam sewa pesawat untuk meminimalisir beban sewa pesawat yang saat ini menyumbang 7% terhadap beban operasional. 

Dari sisi kinerja keuangan, Analis Saam Panin Sekuritas, Sarkia Adelia memaparkan, kinerja sembilan bulan 2023 perseroan membaik dengan EBITDA yang positif. Namun, katanya, patut dicermati kondisi posisi utang yang masih tinggi dan ekuitas perseroan yang masih negatif.

"Untuk itu, kami merekomendasikan NEUTRAL untuk GIAA. Secara valuasi perseroan diperdagangkan discount dengan EV/EBITDA di 4,8x T12M," kata Sarkia dalam risetnya, Kamis (8/2/2024).

GIAA, sambungnya, merupakan pemimpin dalam layanan Full Services Carrier (FSC) di pasar domestik. Perseroan memiliki dua segmentasi pasar yang berbeda, yakni menyediakan layanan FSC dengan maskapai Garuda Indonesia yang mengoperasikan 58 armada.

Selain itu, menyediakan layanan low cost carrier (LCC) melalui maskapai Citilink yang mengoperasikan 45 armada dan lebih fokus menjangkau pasar domestik. 

Hingga akhir 2023, perseroan berencana menambah 5 armada untuk maskapai Garuda Indonesia dengan fokus pada penerbangan domestik.

Menurut Sarkia, pemulihan industri penerbangan domestik sudah terlihat. Hal ini sejalan dengan pemulihan global, di mana passenger traffic domestic telah meningkat membaik ke level 25 juta penumpang di September 2023.

"Kami melihat tren ini akan berlanjut melebihi capaian di 2022, seiring dengan pembukaan rute-rute yang sebelumnya ditutup saat pandemic Covid-19, serta momentum seasonality di akhir tahun," jelasnya.

Dari sisi operasional terlihat tingkat keterisian sudah pulih ke level ~80% (2021: 59,8%), serta peningkatan frekuensi penerbangan yang diperkirakan AirNav hingga akhir tahun akan mencapai 1,8 juta jumlah penerbangan (2022: 1,2 juta penerbangan). 

"Kami memperkirakan tren ini akan berlanjut di 2024 seiring adanya penambahan bandara, ketersediaan maskapai, antusias masyarakat menggunakan transportasi udara, efisiensi rute dan biaya operasional," lanjutnya.

Lebih jauh diakui Sarkia, pada sembilan bulan tahun lalu, pendapatan penerbangan haji berkontribusi 11% terhadap total pendapatan GIAA (9M22: 5%), dengan pertumbuhan signifikan sebesar +234% YoY hingga September 2023. 

"Kami melihat, pendapatan dari penerbangan umrah dan haji akan meningkat di tahun depan seiring dengan pulihnya ekonomi pasca pandemi Covid-19, antusiasme umat muslim melaksanakan ibadah, dan peningkatan frekuensi penerbangan umrah dan ruang kenaikan tarif haji di 2024," papar dia. 

Sarkia membahas mengenai Kementerian BUMN yang berencana untuk menggabungkan Citilink dan Pelita Air Service, anak usaha Pertamina. Namun, rencana ini masih menjadi pertimbangan karena terdapat opsi lain, yaitu menyatukan maskapai milik negara menjadi satu di bawah naungan InJourney atau BUMN Holding Industri Aviasi dan Pariwisata yakni PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero). 

"Jika penggabungan Citilink dan Pelita Air terjadi, kami melihat dampaknya mungkin tidak begitu signifikan bagi Garuda secara konsolidasi. Meskipun Pelita lebih kuat secara finansial, namun pangsa pasarnya di dalam negeri masih kecil, sekitar 1%, dan fokusnya hanya pada pasar domestik," papar dia. 
 
Kinerja di sembilan bulan 2023 masih mencatat rugi, namun EBITDA positif. GIAA mencatatkan pendapatan sebesar USD837 juta di kuartal III tahun lalu (+5,6% QoQ; +33,6% YoY) yang membawa pendapatan perseroan menjadi USD2,2 triliun hingga September 2023 (+48,3% YoY). 

Posisi EBITDA perseroan saat ini sudah membaik di level USD254 juta di 3Q23 (3Q22: USD148 juta) yang membawa EBITDA perseroan ke USD616 juta (-0,7% YoY) di sembilan bulan 2023 yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya operasional. 

Meskipun demikian, secara bottom-line perseroan masih tertekan, tercatat rugi sebesar USD4 juta di kuartal III-2023 (-112,8% QoQ; -93% YoY) dan membawa rugi bersih perseroan ke USD72 juta di sembilan bulan, di mana gap yang besar disebabkan adanya keuntungan dari restrukturisasi di 2022.

"Kami masih melihat outlook NEUTRAL untuk industri penerbangan" terang Sarkia.

Menurutnya, hal ini sejalan dengan kondisi industri yang kembali berada di atas ~80% dari level pandemi, penerbangan internasional yang telah pulih, serta permintaan penumpang kembali meningkat khususnya untuk segmen LCC.

"Namun performa beberapa maskapai penerbangan masih mencatatkan rugi," sambungnya.

Sarkia memproyeksikan kinerja GIAA ke depan akan cenderung membaik didorong oleh meningkatnya passenger yield yang didorong oleh seasonality, efisiensi beban operasional dengan fokus pada rute yang profit dengan ruang pertumbuhan pada penerbangan internasional dan penerbangan umrah dan haji.

Selain itu, optimalisasi dari segmen kargo, potensi intervensi regulasi pemerintah terkait perubahan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat, serta potensi perbaikan ekuitas.

"Perlu dicermati downside risk dari rekomendasi kami antara lain tren harga minyak dan penerapan bioavtur, keadaan posisi utang yang masih tinggi, dan kondisi ekuitas yang masih negatif, meskipun EBITDA perseroan cenderung membaik. Secara valuasi perseroan diperdagangkan discount dengan peers dengan EV/EBITDA di 4,8x T12M," imbuh Sarkia.

(FAY)

SHARE