Nasib Pasar Indonesia saat Konflik Iran-Israel dan Sinyal Hawkish The Fed
Pelaku pasar global dibuat terkejut dengan serangan drone misil Iran kepada Israel pada akhir pekan lalu, Sabtu (13/4/2024).
IDXChannel – Pelaku pasar global dibuat terkejut dengan serangan drone misil Iran kepada Israel pada akhir pekan lalu, Sabtu (13/4/2024).
Serangan tersebut memicu munculnya risiko perang regional yang bisa menyeret dunia ke dalam turbulensi ekonomi lebih lanjut.
Mengingat, posisi Iran sebagai salah satu produsen utama minyak dunia dan merupakan anggota organisasi kartel minyak dunia paling berpengaruh, OPEC.
Iran juga merupakan negara yang terletak didekat selat Hormuz, jalur yang menjadi penghubung utama perdagangan minyak dunia.
Tak hanya perang di Timur Tengah, pasar juga dikejutkan dengan pernyataan Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell di Wilson Center di Washington yang memberikan sinyal penundaan penurunan suku bunga.
“Mengingat kekuatan pasar tenaga kerja dan kemajuan inflasi sejauh ini, sangatlah tepat untuk memberikan kebijakan restriktif lebih lanjut dan membiarkan data serta prospek yang berkembang memandu kita,” kata Powell.
Perkembangan ini berdampak baik bagi pasar saham maupun komoditas, hingga kinerja nilai tukar sejumlah mata uang, terutama mata uang negara-negara berkembang yang berguguran.
Dampak Perang Iran-Israel ke Indonesia
Konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah yang meluas dinilai akan berdampak pada proses pemulihan perekonomian dunia tak terkecuali Indonesia.
Bahkan, perang baru antara Iran dan Israel bisa mengerek harga minyak dunia hingga tembus USD100 per barel.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bahkan sempat menyebut dampak perang Iran vs Israel terhadap harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia.
"Kalau 1 dolar (harga minyak) naik itu kan ada balance antara pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pengeluaran subsidi dan kompensasi, jadi kalau sama BBM ini naiknya luar biasa," jelas Arifin ditemui usai rapat terbatas (ratas) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4).
Arifin menuturkan, setiap kenaikan harga minyak per USD1, maka subsidi dan kompensasi untuk BBM bisa naik sekitar Rp3,5 triliun hingga Rp4 triliun.
Minyak sempat menguat pada sesi perdagangan awal pekan meski tak bertahan lama. Lima hari pasca serangan, harga minyak mentah berjangka (futures) West Texas Intermediate (WTI) dan Brent ditutup anjlok 3 persen di kisaran USD82,6 per barel dan di level USD87,3 per barel pada perdagangan Rabu (17/4).
Harga minyak WTI dan Brent masing-masing anjlok 3,02 persen dan 2,87 persen. Sementara pada pembukaan perdagangan Kamis (18/4) pukul 07.48 WIB harga minyak dunia terus merosot masing-masing 0,08 persen dan 0,03 persen.
Minyak mentah justru melemah di tengah konflik antara Iran dan Israel dan prediksi bullish harga ke depan.
Yang paling kentara dalam merespons konflik ini adalah pasar saham dan kinerja rupiah. (Lihat tabel di bawah ini.)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung turun tajam ke zona merah di awal perdagangan usai lebaran 2024, Selasa (16/4) di tengah kecamuk konflik Iran dan Israel.
Pada pukul 09.03 WIB, IHSG sempat merosot tajam 3,02 persen ke posisi 7.066,57 dibandingkan perdagangan sebelum libur Idul Fitri 5 April lalu, usai hanya 84 saham yang menguat dan 319 saham di zona merah—termasuk saham big cap perbankan yang terbenam.
Tak hanya pasar saham, rupiah juga terpuruk melampaui level Rp16 ribu pasca berita konflik di Timur Tengah menyeruak.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (16/4/) di mana per pukul 10.08 WIB, rupiah melemah 2,12 persen berada di level Rp16.174 per USD.
Sebelumnya, rupiah ditutup Rp15.839 per USD pada perdagangan jelang libur Hari Raya Idul Fitri 2024, Jumat (5/4).
Per Kamis (18/4) pukul 9.15 WIB, rupiah menguat tipis 0,28 persen di level Rp16.174 per USD, setelah pada perdagangan Rabu (17/2) ditutup di level Rp16.215 per USD.
Dari pasar komoditas, harga emas di pasar spot juga sempat menyentuh all-time high (ATH) di level USD2.385,79 per troy ons pada perdagangan Selasa (16/4) pukul 07.00 WIB.
Emas kembali menyentuh level tertinggi seiring didorong oleh konflik yang memanas di Timur Tengah antara Iran dan Israel.
Alex Ebkarian, COO dan salah satu pendiri Allegiance Gold, mengatakan kepada CBS News, harga emas melonjak lebih tinggi dan melampaui rekor tertinggi karena perpaduan persoalan ekonomi dan geopolitik.
Di antaranya seperti kenaikan inflasi, melemahnya dolar, dan ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung.
Ebkarian juga menyebutkan aktivitas bank sentral sebagai faktor yang berkontribusi di balik kenaikan harga emas.
“Bank-bank sentral, yang dipimpin oleh negara-negara BRICS Plus, membeli emas dengan kecepatan dan tingkat suku bunga yang lebih cepat setiap bulannya. Kami melihat lebih banyak investasi yang dipimpin oleh bank sentral dalam bentuk emas dibandingkan dengan obligasi pemerintah AS,” kata Ebkarian.
Menilik Fundamental Rupiah
Jatuhnya rupiah ke level di atas Rp16 ribu per USD adalah perpaduan tekanan faktor makro eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, menguatnya dolar imbas pernyataan Jay Powell menjadi tamparan bagi mata uang negara berkembang.
Dari dalam negeri, rupiah menghadapi fundamental yang lemah terlihat dari kinerja ekonomi Indonesia yang kurang memuaskan, terutama karena adanya defisit fiskal dan transaksi berjalan (current account).
Di sisi fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terus mengalami defisit. Pada 2023, angkanya mencapai Rp347,6 triliun, melandai dari tahun sebelumnya sebesar Rp460,4 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di sisi transaksi berjalan, Indonesia masih mengalami defisit. Padahal, transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan mata uang asing dari ekspor-impor barang dan jasa. Sehingga, transaksi berjalan adalah fundamental penting penyokong kinerja mata uang sebuah negara.
BI mencatat transaksi berjalan defisit transaksi berjalan sebesar USD1,6 miliar setara 0,1 persen dari PDB) pada keseluruhan 2023. Posisi ini berbalik jika dibandingkan akhir 2022 yang surplus USD13,2 miliar.
Sementara itu, pada akhir kuartal IV-2023 terjadi defisit USD1,3 miliar (0,4 persen dari PDB). (Lihat grafik di bawah ini.)
Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia pada akhir Maret 2024 juga menyusut menjadi USD140,4 miliar dibanding posisi pada akhir Februari 2024 sebesar USD144,0 miliar.
Melansir BI (5/4), penurunan posisi cadangan devisa ini dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah, antisipasi kebutuhan likuiditas valas korporasi, dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah seiring dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. (Lihat grafik di bawah ini.)
Suku Bunga Terancam Tetap Tinggi
Bank sentral di kawasan Asia Pasifik kini dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan suku bunga.
Harapan penurunan suku bunga acuan di kawasan Asia, termasuk Indonesia, semakin pudar tahun ini. Inflasi AS yang masih tangguh membuat The Fed semakin ragu menurunkan suku bunga.
Kondisi ini tercermin dari pernyataan terbaru Ketua The Fed Jerome Powell yang mengisyaratkan para pengambil kebijakan akan menunggu lebih lama dari perkiraan sebelumnya untuk memangkas suku bunga
Jika tekanan inflasi terus berlanjut, The Fed dapat mempertahankan suku bunga tetap tinggi selama diperlukan.
“Data terbaru jelas tidak memberi kita kepercayaan diri yang lebih besar dan justru menunjukkan bahwa kemungkinan akan memakan waktu lebih lama dari perkiraan untuk mencapai kepercayaan tersebut,” kata Powell pada Selasa (16/4).
Lemahnya rupiah dan kondisi pasar keuangan global yang tak pasti ini memicu ekspektasi kenaikan bunga BI rate dalam pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia pekan depan yang dijadwalkan berlangsung 23-24 April.
Kondisi ini sudah diperingatkan oleh ekonom PT Bank Central Asia Tbk David E. Sumual yang mengatakan, sebelum ada eskalasi atau ketegangan di Timur Tengah, pasar juga melihat ada perubahan yang cukup fundamental dari sisi kemungkinan kebijakan suku bunga The Fed kedepan.
"Sebelumnya kan pasar memperkirakan pertengahan tahun ini suku bunga Fed akan turun, tapi kelihatannya ini bergeser dari bulan Mei ke September tapi malah perkiraan saya kalau misalkan pun memanas geopolitik di Timur Tengah kemungkinan bisa bergeser lagi ke tahun depan," jelas David dalam Market Review IDX, Rabu (17/4/2024).
David menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan kondisi terakhir.
Menurut David, pasar kini juga masih mencermati bagaimana reaksi Israel, serangannya seperti apa, apakah dilakukan serangan balik ke Iran dan skalanya seberapa besar.
Namun sejauh ini, menurut David dampak ke Indonesia yang dikhawatirkan adalah risiko disisi harga minyak dan sisi harga komoditas yang juga bisa mengekor naik.
David juga melihat adanya risiko fiskal dari perpaduan kemungkinan naiknya suku bunga dan perang Iran-Israel.
Menurut hitungan BCA, setiap ada pelemahan rupiah bersamaan dengan harga minyak sebesar USD10 akan menambah beban subsidi sekitaran lebih dari Rp100 triliun.
"Tapi yang jelas sekarang relatif stabil, tapi kita harus antisipasi tadi skenario terburuk tadi dan di sisi rupiah juga banyak antisipasi dan cadangan devisa kita juga sebenarnya posisi sekarang lebih kuat dari masa pandemi, tapi tetap harus antisipatif," katanya.
Menanti Sikap BI
Merespons pelemahan rupiah, BI menyatakan telah menyiapkan tiga langkah untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) BI Edi Susianto mengatakan, langkah pertama adalah menjaga keseimbangan di pasar spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
"Menjaga kestabilan Rupiah dengan terus berada di pasar untuk menjaga keseimbangan supply-demand valas di market, melalui triple intervention khususnya di spot dan DNDF," kata Edi saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Kemudian, BI akan meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong capital inflow, seperti melalui daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost.
Terakhir, lanjut Edi, BI juga akan berkoordinasi dan membangun komunikasi dengan stakeholder terkait, seperti pemerintah, Pertamina dan lainnya.
Dia menambahkan, selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan di global, di mana rilis data fundamental AS semakin menunjukkan bahwa ekonomi AS masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar. Selain itu, terdapat memanasnya konflik di Timur Tengah khususnya konflik Iran-Israel. (ADF)