Prospek Saham Bank Digital di 2023, Ini Deretan Sentimen yang Jadi Penentu
sebagian besar bank digital tengah berjibaku memenuhi permodalan inti Rp3 triliun, di saat investor global sedang menjauhi saham teknologi.
IDXChannel - Periode tahun 2022 oleh sebagian pihak dinilai cukup menantang bagi kinerja industri perbankan digital nasional.
Penilaian ini, diantaranya, didasarkan pada kinerja saham para pelaku industri tersebut yang turun tajam, usai menikmati rally panjang pada tahun 2021.
Di saat yang sama, sebagian besar bank digital tengah berjibaku memenuhi permodalan inti Rp3 triliun, di saat investor global sedang menjauhi saham teknologi.
Namun, sisi positifnya, kinerja bank digital semakin membaik. Penyaluran kredit, penghimpunan dana dan net interest margin tetap tumbuh melampaui pencapain 2021.
Di antara tujuh bank digital yang sudah memiliki aplikasi, PT Seabank Indonesia tercatat sebagai pemilik aset paling besar, yakni Rp23,86 triliun. Perolehan aset ditopang kredit yang mencapai Rp16,28 triliun per September 2022.
Menyusul Seabank adalah PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) dan PT Bank Jago Tbk (ARTO), yang memiliki aset masing-masing Rp15,99 triliun dan Rp15,82 triliun per September 2022. Sama halnya dengan Seabank, posisi aset tersebut ditopang pinjaman yang mencapai kisaran Rp8 triliun.
Lalu, bagaimana prospek bisnis bank digital tahun depan? Menurut Analis MNC Sekuritas Widi Tirta Gilang Citradi kans nya sangat menjanjikan meski bakal menemui berbagai tantangan. Beberapa di antaranya masih terkait pelemahan daya beli, inflasi dan suku bunga tinggi.
“Apabila inflasi berhasil dijinakkan dan suku bunga acuan sudah mulai moderat, bank digital bisa berkibar lagi tapi dengan sejumlah syarat,” ujar Tirta, Rabu (28/12/2022).
Syarat paling mendasar adalah kemampuan bank digital memperluas kerjasama ekosistem dan di saat bersamaan mesti mampu mengendalikan potensi risikonya.
“Ini dua hal yang tidak terpisahkan. Untuk bertumbuh, bank digital harus mampu memperbanyak partner bisnisnya. Masalahnya, memperluas partnership sama dengan menaikkan tingkat risiko,” tutur Tirta.
Jika hanya mengandalkan ekosistem berdasarkan grup sendiri atau satu afiliasi, bank digital menghadapi dua tantangan: pertama, risiko terkonsentrasi di satu titik.
Jika ekosistem grup yang menjadi andalannya itu bermasalah, bank juga terkena imbasnya. Kedua, bank tidak terpacu untuk meningkatkan kapasitasnya karena terlalu nyaman dengan grup sendiri.
Situasi ini membahayakan karena salah satu kunci keberhasilan bank digital adalah kemampuan menciptakan inovasi baru dan cepat beradaptasi dengan perubahan.
“Bank digital yang saat ini terlalu mengandalkan atau di back up penuh oleh ekosistem grup sendiri memang terlihat unggul, tapi itu akan ada batasnya. Ketika mereka sadar perlu ekspansi keluar ekosistem, mereka justru mendapati dirinya sudah tertinggal oleh kompetitor yang justru agresif membangun kolaborasi dengan banyak ekosistem,” ungkap Tirta.
Jika diibaratkan, bank digital yang hanya mengandalkan ekosistem itu sendiri seperti pohon jati hasil budidaya. Berbeda dengan bank digital yang berani ambil risiko ke luar dari ekosistemnya. Yang terakhir ini seperti pohon jati yang tumbuh di hutan. Mereka lebih kuat, lebih kekar dan lebih mengakar.
Untuk bank digital yang berani ekspansi membangun ekosistem di luar dirinya sendiri akan menghadapi satu tantangan, yakni manajemen risiko. Bisa saja kolaborasinya itu gagal atau tidak berkembang sesuai harapan.
“Ada risiko peningkatan NPL, risiko pasar dan risiko hukum jika ternyata integrasinya gagal. Tapi, jika berbagai risiko itu bisa dikendalikan dan dimitigasi, mereka akan menikmati pertumbuhan bisnis luar biasa. Mereka yang mau memperluas ekosistem dan mendiversifikasi risiko memiliki peluang lebih besar untuk sukses,” papar Tirta.
Menurut Tirta, sejauh ini Bank Jago terlihat lebih menonjol dalam hal kolaborasi dengan banyak partner dari berbagai jenis layanan. Apa yang sudah dilakukan Bank Jago tidak hanya tertanam di dalam ekosistem GOTO, juga di ekosistem lain seperti Stockbit dan Bibit.
“Belum lagi rencana kolaborasi dengan BFI Finance (BFIN) dan Carsome. Ini akan menjadi pintu masuk Jago ke pembiayaan otomotif dan konsumen,” jelas Tirta.
Nomura Sekuritas, institusi paling awal memberikan coverage pada Bank Jago juga menyebutkan, salah satu pilar bagi kesuksesan Bank Jago adalah kerja sama dengan partner yang beragam. Laporan riset yang dipublikasikan terbatas pada 1 Maret 2022 itu menyebut, kemitraan dengan Gojek, HomeCredit, KreditPintar bakal memberikan akses pembiayaan yang luas kepada nasabah maupun basis merchant di dalam ekosistem.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai kolaborasi dengan ekosistem adalah keniscayaan bagi bank berbasis teknologi. Kolaborasi akan semakin kuat apabila bank bersama partnernya menghadirkan sebuah long term value.
Piter menggambarkan, fitur-fitur yang memudahkan nasabah secara langsung akan mendorong kesetiaan nasabah dalam menggunakan aplikasi bank digital.
“Kalau nasabah sudah nyaman menggunakan fitur-fitur yang ada di aplikasi, dia akan gunakan terus. Kemudahan dan kenyamanan itu menjadi prioritas daripada bunga yang ditawarkan,” ujar Piter.
Piter menambahkan, bank digital juga perlu melakukan diversifikasi dalam menjalin kolaborasi dengan ekosistem digital. Menurut Piter, semakin banyak dan beragam jumlah partner yang digandeng, risikonya semakin akan semakin tersebar.
Piter menilai, apa yang dilakukan Bank Jago dengan jumlah ekosistem yang digandeng sudah tepat. Meski bukan bank digital paling besar, Bank Jago mampu mencetak profit lebih dahulu dibandingkan dengan kompetitornya.
Rasio kredit bermasalah atau non performing loan juga berada di kisaran yang masih rendah, menandakan manajemen risiko berjalan baik.
Berdasarkan laporan keuangan Bank Jago per September 2022, rasio NPL mencapai 0,59 persen, lebih rendah dari Bank Neo Commerce (1,86 persen) dan Seabank (3,26 persen) yang memiliki aset lebih tinggi. (TSA)