Proyeksi Rapor Keuangan Emiten di Q2-2024, Sektor Mana yang Moncer?
Sejumlah emiten di sejumlah sektor bisnis di Tanah Air diprediksi mencatatkan kinerja di bawah ekspektasi analis di kuartal II-2024 (Q2 2024).
IDXChannel - Sejumlah emiten di beberapa sektor bisnis di Tanah Air diprediksi mencatatkan kinerja di bawah ekspektasi analis di kuartal II-2024 (Q2 2024).
Riset CGS International yang dipublikasikan Selasa (16/7/2024) menyoroti sektor komoditas, semen, dan bank kecil di Indonesia.
Di sisi perbankan, bank-bank kecil diproyeksi menghadapi tekanan net interest margin (NIM) atau marjin bunga bersih akibat tingginya biaya dana (cost of fund/CoF), sementara pelaku industri rokok menghadapi tantangan akibat meluasnya ketersediaan rokok ilegal.
“Pada Q2 2024 sejumlah sektor akan sedikit di bawah ekspektasi, di antaranya sektor komoditas, semen, dan bank kecil. Terlebih, hasil bank-bank besar yang mengecewakan pada 1Q24,” tulis riset CGS International.
Di samping itu, perusahaan-perusahaan komoditas di segmen nikel, batu bara, serta minyak dan gas menghadapi harga komoditas yang relatif lesu, sedangkan perusahaan semen menghadapi pertumbuhan volume yang lemah dan kemampuan penetapan harga yang terbatas.
CGS International juga menyoroti sektor konsumer, layanan kesehatan, dan unggas yang bisa menjadi titik terang bagi pasar Indonesia.
Sebut saja, sejumlah saham seperti PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), emiten konsumer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), emiten properti PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), dan emiten rumah sakit PT Medikaloka Hermina Tbk (HEAL).
“BBNI, ICBP, CTRA, PWON, dan HEAL adalah pilihan utama kami. Meskipun kinerja keseluruhan pada Q2 2024 mungkin di bawah ekspektasi, hal ini kemungkinan membaik dari kinerja lemah pada Q1 2024 dan dapat terus meningkat pada kuartal-kuartal mendatang,” imbuh lembaga sekuritas tersebut.
Di sektor perbankan, CGS International berpendapat, pendapatan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan BBNI dapat mencapai angka konsensus karena potensi perbaikan kualitas aset BBRI dan perbaikan NIM BBNI baru-baru ini. (Lihat grafik di bawah ini.)
Hasil kuartalan bank-bank besar juga diproyeksi seharusnya sejalan dengan perkiraan pasar karena adanya sedikit perbaikan pada biaya dana dan kualitas aset menjelang akhir kuartal kedua tahun ini.
“Kami juga menggantikan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan BBNI karena prospek NIM BBNI yang membaik,” kata CGS International.
Informasi saja, NIM adalah rasio keuangan yang digunakan di perbankan yang mengukur selisih antara pendapatan bunga yang dihasilkan oleh bank dan jumlah bunga yang dibayar kepada pemberi pinjaman, relatif terhadap jumlah aset yang menghasilkan bunga.
CGS International menambahkan, total return BBCA sejak 1 April 24 adalah minus 1,2 persen, dibandingkan dengan indeks MSCI Indonesia negatif 8,8 persen.
“Kami berpendapat BBRI dan BBNI dapat memenuhi angka konsensus Bloomberg karena potensi perbaikan kualitas aset BBRI, dan perbaikan NIM BBNI baru-baru ini,” tulis CGS International.
CGS International menambahkan, pihaknya optimistis terhadap BBNI karena memperkirakan NIM akan meningkat secara bertahap pada Q2-2024 hingga Q4 2024, dan bank pelat merah ini telah mengalami salah satu net outflow asing terbesar di antara perusahaan-perusahaan berkapitalisasi besar di Indonesia.
Sebagai informasi, pekan lalu PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) menjadi saham favorit asing dalam sepekan dengan net foreign buy mencapai Rp499,4 miliar.
Di urutan kedua dan ketiga ada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan BBCA dengan capital inflow masing-masing Rp438,1 miliar dan Rp242,3 miliar dalam sepekan.
CGS International menambahkan, proporsi perusahaan yang gagal memenuhi ekspektasi mungkin lebih rendah dibandingkan pada 1Q24.
“Kami juga memperkirakan hasil keseluruhan pada kuartal dua tahun ini dari 51 perusahaan Indonesia terpilih akan sedikit di bawah ekspektasi konsensus Bloomberg.
CGS International menambahkan, sektor konsumen memberikan hasil yang positif, namun komoditas mungkin mengecewakan.
“Kami menyoroti potensi ICBP, INDF, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), HEAL, dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA),” imbuh riset tersebut
Ini karena, menurut CGS International, sektor kebutuhan pokok konsumen didukung oleh belanja pemerintah yang lebih tinggi dari tahun ke tahun dan daya beli masyarakat kelas bawah yang lebih tangguh dari perkiraan pasca pemilu.
Sementara itu, sektor kesehatan dapat terdukung oleh peningkatan kapasitas tempat tidur yang terus berlanjut dan tingginya jumlah kasus demam berdarah pada semester I-2024.
CGS International juga melihat konsumsi masyarakat berpendapatan rendah, yang telah menghambat pertumbuhan PDB, mungkin telah mencapai titik terendahnya.
“Kami berharap adanya reformasi di bawah pemerintahan baru, yang akan meningkatkan konsumsi dan membantu sektor lain,” tulis riset tersebut. (ADF)