MARKET NEWS

Rupiah dan Mata Uang Asia Tertekan Suku Bunga Tinggi dan Modal Asing Keluar

Maulina Ulfa - Riset 27/10/2023 17:20 WIB

Posisi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih belum menunjukkan tanda-tanda penguatan.

Rupiah dan Mata Uang Asia Tertekan Suku Bunga Tinggi dan Modal Asing Keluar. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Posisi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih belum menunjukkan tanda-tanda penguatan.

Posisi rupiah masih tertekan 0,2 persen terhadap dolar AS di level Rp15.944 per USD pada pukul 14.20 WIB, Jumat (27/10/2023).

Mata uang Garuda sudah terdepresiasi 8,13 persen sepanjang enam bulan terakhir dan secara year to date (YTD) rupiah tertekan 2,3 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sementara indeks dolar (DXY) yang melacak nilai tukar sejumlah mata uang masih menunjukkan penguatan 0,01 perse di level 106.642 pada pukul 14.35 WIB.

Penguatan dolar dan pelemahan rupiah seiring dengan data ekonomi negeri paman Sam yang masih menunjukkan tanda-tanda ketahanan.

Produk domestik bruto (PDB) AS yang dirilis Kamis (26/10) menunjukkan peningkatan 4,9 persen pada kuartal III-2023 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Pertumbuhan ini melampaui prediksi pasar yang memperkirakan PDB tumbuh 4,3 persen dan jauh lebih tinggi dari pertumbuhan PDB kuartal II-2023 sebesar 2,1 persen.

Ketahanan ekonomi AS ini mengindikasikan The Fed akan kembali mengerek suku bunga acuan ke depan.

Rupiah dan Mata Uang Asia Lain Berjuang

Tak hanya rupiah, sejumlah mata uang di kawasan Asia Pasifik tahun ini cukup berjuang menghadapi kenaikan nilai tukar dengan greenback.

Sebagian mata uang Asia melemah terhadap dolar AS jelang berakhirnya perdagangan hari ini.

Yen Jepang melemah melewati level kritis 150 per USD dan meningkatkan kekhawatiran bahwa pemerintah dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk mendukung mata uangnya.

Penurunan yen juga mendorong Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki untuk memperingatkan para spekulan, dengan mengatakan bahwa pihak berwenang mengawasi dengan cermat pergerakan mata uang negeri Sakura tersebut.

Namun Suzuki belum memberikan komentar langsung mengenai potensi intervensi tersebut. Yen melemah tajam tahun ini karena Bank of Japan (BoJ) tetap berkomitmen terhadap kebijakan moneter ultra-longgar bahkan ketika bank sentral besar lainnya memulai kampanye pengetatan agresif untuk melawan inflasi.

Yuan China juga bertahan di kisaran 7,32 per dolar, tetap berada dalam kisaran perdagangan sideways karena investor menantikan data aktivitas manufaktur dan jasa China yang akan dirilis minggu depan untuk mendapatkan wawasan baru mengenai ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.

Data terbaru menunjukkan bahwa keuntungan industri di negara tersebut meningkat untuk bulan kedua pada September dan menambah tanda-tanda stabilisasi perekonomian.

Sementara itu, yuan berada di bawah tekanan pada awal pekan ini karena pemerintah mengumumkan langkah-langkah pinjaman baru dan stimulus, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa pihak berwenang mungkin akan melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut.

Hal ini akan semakin memperlebar kesenjangan imbal hasil antara China dan AS, sehingga memberikan tekanan pada yuan.

Di Asia Tenggara, otoritas di kawasan tersebut selama beberapa dekade terakhir berupaya menahan nilai tukar mata uang mereka sebagai cara untuk mendukung pertumbuhan ekspor dan pariwisata.

Menurut William Pesek, jurnalis dan pengarang Japanization: What the World Can Learn from Japan's Lost Decades mengatakan di Nikkei Asia, strategi ini kini menjadi bumerang ketika terjadi gejolak geopolitik kemudian memicu inflasi global. Kondisi ini semakin mendorong nilai tukar melemah.

Tak hanya rupiah, dolar Singapura (SGD) juga melemah 0,02 persen menjadi 1,3697 per USD per hari ini, dari 1,3694 per USD pada sesi perdagangan sebelumnya. Sementara Bath Thailand menguat 0,08 persen menjadi 36,2600 per USD dari 36,2900 per USD pada sesi perdagangan sebelumnya.

Sementara ringgit Malaysia (MYR) juga terdepresiasi melampaui 4,75 per USD sepanjang Oktober, yang merupakan nilai terendah sejak krisis keuangan Asia pada Januari 1998 di tengah menurunnya permintaan luar negeri dan perbedaan besar antara kebijakan moneter AS dan Malaysia.

Perlambatan tajam pada inflasi konsumen Malaysia, dikombinasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang moderat, mendorong pasar memperkirakan bank sentral Malaysia akan mempertahankan kebijakan moneternya yang akomodatif hingga akhir tahun 2024.

Bank sentral AS sebagai poros kebijakan moneter banyak bank sentral dunia sedang mempertimbangkan langkah tambahan untuk memperketat kebijakan dan mungkin secepatnya pada minggu depan.

Kondisi ini bisa meningkatkan dolar lebih jauh dengan mengorbankan Asia karena bisa mendorong arus keluar modal ke AS semakin cepat.

Di Tanah Air, sepanjang perdagangan kemarin saja, asing di pasar saham RI telah melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp1,39 triliun.

Dana asing sudah keluar dari pasar saham RI sebesar Rp2,44 triliun dalam sepekan dan mencapai Rp5,12 triliun selama Oktober.

Secara keseluruhan, Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik sebesar Rp 4,32 triliun pada periode 9-12 Oktober 2023.

Nilai tersebut terdiri dari modal asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp 4,62 triliun dan dari pasar saham Rp 0,10 triliun, dan modal asing yang masuk di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) Rp 0,40 triliun.

Asia Tenggara telah mengalami kemajuan yang sangat panjang sejak terjadinya krisis keuangan di kawasan ini pada 1997.

Bank telah berkinerja jauh lebih stabil dan transparan, pasar lebih dalam, hubungan antara sektor publik dan swasta tidak terlalu dekat, dan cadangan devisa cukup besar.

Namun seperti yang terjadi 26 tahun yang lalu, risiko pengetatan berlebihan yang dilakukan The Fed merupakan sinyal bahaya yang jelas dan nyata bagi nilai tukar.

Dampak inflasi yang diakibatkan konflik Hamas-Israel juga masih belum bisa diprediksi. Namun, Asia Tenggara harus menghadapi dampak buruk dari melonjaknya harga energi dengan mempertahankan suku bunga pada tingkat yang cukup rendah untuk mendukung pertumbuhan.

Kenaikan suku bunga yang mengejutkan pada minggu lalu oleh Bank Indonesia menyoroti tantangan berat yang dihadapi bank sentral Asia dalam mempertahankan mata uang mereka dan mengendalikan inflasi.

Pada tanggal 19 Oktober, BI akhirnya menaikkan suku bunga acuan Indonesia seperempat poin persentase menjadi 6 persen. (ADF)

SHARE