Rupiah Nyaris Rp15.000, Ekonom Nilai BI masih Wait and See
Ekonom menilai Bank Indonesia masih memantau pasar keuangan global karena pelemahan mata uang tidak hanya terjadi pada rupiah.
IDXChannel - Rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat dan mendekati angka Rp. 15.000. Meski begitu, Bank Indonesia belum menerbitkan kebijakan baru untuk menahan penurunan mata uang Garuda.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menilai, Bank Indonesia masih memantau pasar keuangan global. Menurutnya, pemantauan tersebut dilakukan karena pelemahan mata uang tidak hanya terjadi pada rupiah, melainkan pada seluruh mata uang di dunia.
Hal itu terjadi karena dolar AS tengah mengalami penguatan dengan didukung oleh ketidakpastian utang AS dan sentimen dari pejabat Bank Sentral AS, Federal Reserves (The Fed) yang cenderung akan kembali menaikan suku bunga pada Juni dan Juli mendatang.
“Sejauh ini BI tetap berada dan memantau pasar. Ini berkali - kali disampaikan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo. Bila semua mata uang juga ikut melemah terhadap dolar, tentunya akan melihat perkembangan,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (31/5/2023).
Josua mengatakan, terdapat beberapa strategi yang selama ini dilakukan oleh BI untuk menjaga stabilitas Rupiah. Pertama, melalui triple intervention atau intervensi yang dilakukan BI pada Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, keputusan BI untuk menjaga suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 juga dinilai sebagai langkah mitigasi untuk menjaga stabilitas Rupiah.
“Sejauh ini menurut saya BI memantau. Tapi triple intervention dan strategi untuk menjaga stabilitas Rupiah pasti akan dilakukan. Itu akan dilakukan apalagi bila nilai tukar rupiah melemah terlalu jauh dari fundamentalnya. Untuk waktunya, itu merupakan ranah dari BI untuk memutuskan,” bebernya.
Selain BI, Josua mengatakan pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga stabilitas Rupiah khususnya untuk mendorong kinerja ekspor. Pasalnya, harga komoditas ekspor energi mulai mengalami normalisasi. Hal itu tercermin melalui harga batu bara yang sudah turun kurang lebih menjadi 140 dolar AS per ton dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) turun di bawah 1.000 dolar AS per ton.
Lebih lanjut, revisi terbaru mengenai devisa hasil ekspor (DHE) juga perlu dikeluarkan untuk memberikan kepastian dan mendorong suplai valas di dalam negeri.
“Bolanya lebih banyak di Pemerintah. Pemerintah bisa terus dorong kinerja ekspor dengan mendorong komoditas lainnya, tidak hanya mengandalkan energi dan memberikan kepastian revisi DHE,” katanya.
(FRI)