Saham Bank Besar Tergelincir di Tengah Pesta Emiten Konglomerat, Ada Apa?
Saham emiten bank besar serentak turun signifikan hingga penutupan sesi I perdagangan Senin (14/7/2025), kontras dengan lonjakan harga saham konglomerat.
IDXChannel – Saham emiten bank besar serentak turun signifikan hingga penutupan sesi I perdagangan Senin (14/7/2025), kontras dengan lonjakan harga saham konglomerat yang dipimpin Grup Barito besutan taipan Prajogo Pangestu.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham bank pelat merah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) merosot tajam 5,03 persen ke level Rp4.720 per unit, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk BBNI) minus 4,07 persen, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) terkoreksi 3,35 persen.
Saham bank besar lainnya, yang dikendalikan Grup Djarum, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga terdampak, melemah sebesar 1,74 persen. Saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga tergerus 2,88 persen dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) memerah 1,67 persen.
Kabar terbaru, Bank Mandiri berencana melakukan perubahan jajaran pengurus perseroan melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 4 Agustus 2025.
Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara, membenarkan rencana tersebut dan menyampaikan bahwa pemanggilan resmi RUPSLB telah dipublikasikan pada Minggu (13/7/2025) melalui situs Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Rapat akan berlangsung secara fisik dan elektronik, bertempat di Assembly Hall Menara Mandiri 1, Lantai 9, Jakarta Selatan, mulai pukul 15.00 WIB hingga selesai. Perubahan pengurus menjadi satu-satunya agenda yang dibahas dalam RUPSLB kali ini.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai tekanan jual masih membayangi saham-saham bank, terutama dari sisi teknikal.
“Sideways. No Power,” ujar Michael, Senin (14/7/2025), merujuk pada tidak adanya dorongan naik yang mampu menahan secara signifikan tekanan turun saat ini.
Sebelumnya, Nomura memperkirakan kinerja perbankan Indonesia lesu pada paruh pertama 2025, seiring lemahnya permintaan kredit dan ketatnya likuiditas, meskipun ada potensi pelonggaran dari jatuh tempo instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Dalam riset terbarunya, Nomura, dikutip Dow Jones Newswires, 23 Juni lalu, menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit tahunan untuk periode 2025 hingga 2027 sebesar 1 persen menjadi hanya 4 persen. Dengan revisi ini, estimasi pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) selama tiga tahun ke depan dipangkas menjadi 8 persen dari sebelumnya 9 persen.
Kondisi likuiditas diperkirakan tetap menantang, tercermin dari pertumbuhan uang beredar (M2) yang stagnan di kisaran 5 persen, serta rasio kredit terhadap simpanan (LDR) yang tinggi, sekitar 91 persen.
Meski belanja pemerintah diperkirakan mendorong pemulihan kinerja perbankan pada semester kedua, secara keseluruhan pertumbuhan kredit sepanjang tahun ini dinilai akan tetap di bawah 10 persen.
Analis Nomura, Tushar Mohata, mencatat bahwa berdasarkan laporan keuangan bank per Mei year-to-date (YtD) 2025, permintaan kredit masih lemah. Selain itu, likuiditas masih ketat dan biaya kredit (credit cost) diproyeksikan tetap tinggi.
Sebagai konsekuensinya, Nomura memangkas proyeksi laba gabungan bank-bank yang masuk dalam cakupan risetnya sebesar 3 persen untuk 2025, 6 persen untuk 2026, dan 9 persen untuk 2027. Target harga saham untuk Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Syariah Indonesia (BRIS), dan Bank Negara Indonesia (BBNI) juga direvisi turun.
Meski demikian, Nomura tetap mempertahankan rekomendasi buy untuk seluruh emiten perbankan besar tersebut, termasuk Bank Rakyat Indonesia (BBRI), yang target harganya tidak mengalami perubahan.
Pesta Saham Konglo
Penurunan tajam saham-saham bank besar hari ini berbanding terbalik dengan lonjakan tajam saham milik sejumlah konglomerat.
Saham-saham emiten yang terafiliasi dengan taipan Prajogo Pangestu langsung melesat sejak pembukaan pasar, Senin (14/7), menyusul keputusan penyedia indeks global MSCI yang resmi mencabut status pengecualian untuk tiga emiten miliknya.
Ketiga saham tersebut adalah PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN), dan PT Petrosea Tbk (PTRO). BREN terbang hingga menyentuh batas auto rejection atas (ARA) 20 persen, CUAN melonjak 19,27 persen, sementara PTRO melesat 22,26 persen.
Efek MSCI juga terasa pada saham-saham lain dalam ekosistem Barito. Saham induk BREN, PT Barito Pacific Tbk (BRPT), naik 13,33 persen, sementara PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) menguat 4,08 persen.
Saham anak usaha TPIA, PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), terus melaju kencang di hari keempat perdagangan sejak debutnya di bursa pada Rabu (9/7) lalu. CDIA kembali mencetak ARA dan kini telah mengoleksi kenaikan kumulatif sebesar 163,16 persen.
Kenaikan tajam tak hanya terjadi pada saham-saham Grup Barito. Saham PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) milik Grup Sinarmas melesat 13,44 persen. PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI), yang dikendalikan Grup Salim dan taipan Aguan, naik 2,76 persen. Sementara dua saham milik Happy Hapsoro, PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), masing-masing menguat 3,50 persen dan 2,11 persen.
Secara keseluruhan, lonjakan saham-saham milik konglomerat—yang memiliki kapitalisasi pasar besar dan kerap menyaingi bobot bank-bank papan atas—masih mampu menahan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap di zona hijau. IHSG naik 0,52 persen ke level 7.084,35, mencatatkan penguatan lima hari berturut-turut. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.