Sambut Senja Industri Rokok, Terhimpit Cukai hingga Market Cap Anjlok
Emiten produsen rokok tengah menuju senja dalam beberapa tahun belakangan, salah satunya karena tercekik beban cukai rokok.
IDXChannel – Emiten rokok tengah meredup dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tercermin dari tergesernya kapitalisasi pasar emiten-emiten rokok terbesar Tanah Air oleh emiten lainnya di luar industri ini yang tergolong masih baru.
Adapun raksasa rokok tersebut adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT H.M Sampoerna Tbk (HMSP). Tercatat, saat ini GGRM dan HMSP sudah tak lagi masuk dalam ranking 10 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar (big cap) di bursa.
Selain itu, kapitalisasi pasar atawa market cap GGRM sudah merosot dari level Rp100 triliun menjadi sekitar Rp50 triliun sejak anjloknya saham emiten rokok di tahun 2019 silam. Sementara, market cap HMSP saat ini di kisaran Rp105 triliun setelah sempat menembus Rp250-an triliun sekitar tiga tahun lalu.
Runtuhnya saham emiten rokok terutama disebabkan oleh naiknya cukai rokok khususnya cukai sigaret mesin yang menjadi produksi utama GGRM. Adapun pada Januari lalu, pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen.
Sementara untuk sigaret kretek tangan atau SKT juga mengalami kenaikan maksimal sebesar 4,5 persen.
Sejak 2015, pemerintah rerata menaikkan cukai rokok 12,5% dengan total kenaikan sejak tahun ini mencapai lebih dari 70%.
Menurut Menteri KeuanganSri Mulyani, kenaikan tarif cukai rokok mempertimbangkan beberapa aspek. Aspek tersebut yakni, pengurangan konsumsi rokok, perhatian kepada buruh di pabrik rokok, hingga penyebaran rokok ilegal.
Naiknya cukai rokok tersebut akan menyumbang penerimaan negara dari segmen ini sebesar 10 persen dari pendapatan negara di tahun 2022 atau senilai Rp193,53 triliun.
Membengkaknya cukai rokok tentu menggerus laba bersih perusahaan. Selama lima tahun terakhir, cukai rokok GGRM terus melesat. Hingga tahun 2021, cukai tersebut sudah melesat sebesar 83,59 persen sejak 2017. Tercatat per 2021, cukai rokok membengkak hingga Rp91,10 triliun.
Adapun beban dari pita cukai rokok menyumbang 82,36 persen dari beban pokok perusahaan di tahun tersebut. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dalam riset yang terbit pada Senin (1/8), Mirae Asset Sekuritas Indonesia menurunkan rekomendasi (downgrade) saham GGRM menjadi jual atawa sell dengan harga target (TP) Rp20.000 per saham. Sebelumnya, dalam riset 8 Mei 2022, Mirae memberikan ratinghold.
Ini lantaran, kata periset Mirae, laba bersih GGRM berada di bawah estimasi Mirae dan konsensus analis. Mirae bilang, pihaknya tetap meyakini bahwa Gudang Garam tidak mampu menaikkan harga jual rata-rata produk (ASP) demi meredam dampak kenaikan cukai.
Senada dengan Mirae, Ciptadana Sekuritas Asia dalam riset pada Senin (1/8) juga menurunkan rekomendasi saham GGRM menjadi sell dengan TP Rp21.800/saham di tengah kinerja keuangan yang mengecewakan.
Sama seperti GGRM, emiten rokok lainnya yakni HMSP juga memiliki beban dari pita cukai yang tinggi. Sebagaimana dilansir dari laporan keuangan emiten, beban pita cukai dan pajak rokok dari HMSP pada tahun 2021 berkontribusi sebanyak Rp57,36 triliun terhadap beban pokok.
Sementara rasio beban pita cukai terhadap beban rokok di tahun tersebut sebesar 69,99 persen. Selain itu, terhitung sejak 2017 hingga 2021, pita cukai dan pajak rokok HMSP tumbuh sebesar 20,20 persen.(Lihat tabel di bawah ini.)
Adapun berdasarkan riset bertajuk “Regional Morning Notes” yang diterbitkan UOB KayHian pada Senin (1/8), keuangan HMSP disebut belum pulih karena tak dapatmembebankankenaikan cukai ke konsumen.
Sementara laba bersih setelah pajak emiten ini pada semester I-2022 turun sebesar 26,3 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp3,05 triliun. Angka ini berada di bawah konsensus yang ditetapkan oleh para analis.
“Menurut penelusuran kami, semua pemain industri rokok menderita seiring menurunnya laba bersih emiten,” tulis analis UOB KayHian Stevanus Juanda Senin (1/8).
Selain itu, riset tersebut juga melakukan downgrade dari beli (buy) menjadi menahan kepemilikan saham (hold), dengan harga target (TP) sebesar Rp900/saham.
Mirip dengan UOB, Mirae dalam riset pada 1 Agustus 2022, memberikan rating hold dengan TP Rp920/saham usai bottom line HMSP di bawah estimasi.
Menambah sentimen negatif, emiten rokok lainnya,PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), memutuskan untuk menjadi perusahaan tertutup atau go private.
Menurut Direktur RMBA, Dinar Shinta Ulie, proses pengurusan go private dan delisting atau penghapusan emiten di bursa masih terus berlanjut hingga saat ini.
Adapun pihak RMBA juga memastikan setiap tahapan yang dilalui perseroan telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurutnya, tahun 2022 masih menjadi tahun yang penuh tantangan bagi industri tembakau nasional. Hal ini selain disebabkan oleh kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE), juga dipicu oleh kurangnya tingkat prediktabilitas peraturan.
Selain itu meningkatnya perdagangan rokok ilegal serta minimnya insentif untuk mendorong investasi turut memberikan tekanan bagi industri tembakau secara keseluruhan.
"Terlepas dari tantangan tersebut, kami sangat yakin bahwa RMBA akan terus berperan aktif dalam perekonomian Indonesia, dengan menciptakan nilai dan masa depan yang lebih baik bagi semua pemangku kepentingan," kata Dinar.
Meski mayoritas emiten rokok mengalami ‘sunset’ di tahun ini, baik GGRM maupun HMSP pernah dikenal sebagai saham dengan kapitalisasi terbesar. Bahkan, kedua raksasa rokok ini sempat masuk ke jajaran 10 besar big cap Tanah Air.
Pada tahun 2019 lalu, kapitalisasi pasar HMSP dan GGRM berada di atas Rp100 triliun. Adapun kapitalisasi pasar HMSP pernah menyentuh Rp259,39 triliun, sedangkan GGRM sempat mencapai Rp181,63 triliun.
Tak hanya memiliki kapitalisasi pasar yang besar, saham GGRM juga terus menanjak sejak melantai pada 1990 lalu. Bahkan, harga sahamnya pernah menembus hingga Rp94.400/saham di penutupan 4 Maret 2019.
Tercekik Cukai Rokok, Laba Bersih Emiten Rokok Anjlok
Seiring dengan semakin redupnya pamor raksasa rokok sebagai saham termahal dan memiliki kapitalisasi pasar besar, kinerja keuangan emiten-emiten ini pada semester I-2022 juga merosot.
Pendapatan bersih GGRM di semester I-2022 hanya tumbuh 1,82 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Adapun pendapatan tersebut sebesar Rp61,67 triliun.
Berdasarkan laporan keuangannya, penjualan rokok di pasar domestik mendominasi pemasukan perseroan. Rinciannya, penjualan sigaret kretek mesin berkontribusi sebesar Rp56,51 triliun, sedangkan sigaret kretek tangan senilai Rp4,17 triliun terhadap pendapatan.
Adapun penjualan rokok klobot menyerap pemasukan sebesar Rp8,43 miliar, sedangkan kertas karton sebanyak Rp834,21 miliar, disusul pemasukan lain-lain Rp99,02 miliar.
Di samping pertumbuhan pendapatan bersih yang rendah pada semester I-2022, laba bersih GGRM ikut ambruk di angka minus 59,37 persen secara yoy. Meski merosot tajam, GGRM masih berhasil membukukan laba bersih hingga Rp956,14 miliar pada semester I tahun ini.
Merosotnya laba bersih perusahaan salah satunya disebabkan oleh tingginya beban pokok penjualan yang membengkak hingga Rp56,53 triliun atau naik 4,37% dari semester pertama tahun 2021.
Secara rinci, perseroan menanggung beban terbesar yang datang dari kenaikan pita cukai, PPN, dan pajak rokok mencapai Rp50,70 triliun, atau naik 10,68% dibandingkan semester pertama tahun lalu senilai Rp45,81 triliun.
Emiten rokok lainnya, yakni HMSP juga memiliki nasib yang sama dengan GGRM. Pada semester I-2022, laba bersihnya anjlok di minus 26,27 persen menjadi Rp3,05 triliun. Padahal, di periode sama tahun lalu, HMSP masih mampu membukukan laba bersih hingga Rp4,13 triliun.
Sama seperti GGRM, merosotnya laba bersih HMSP disebabkan oleh membengkaknya pengeluaran untuk cukai rokok. Adapun per semester I-2022, pita cukai HMSP mencapai Rp36,71 triliun. Ini berkontribusi sebesar 73,89 persen terhadap beban perusahaan. (Lihat tabel di bawah ini.)
Menyusul emiten rokok yang membukukan kinerja keuangan yang ambruk di semester I-2022, RMBA menjadi satu-satunya emiten dengan pendapatan bersih yang ambles di periode ini.
Menurut laporan keuangannya, pendapatan bersih RMBA merosot hingga minus 30,09 persen menjadi Rp3,39 triliun.
Turunnya pendapatan bersih emiten ini seiring merosotnya penjualan dari pihak ketiga hingga 31,22 persen dibanding semester I tahun lalu. Adapun pada semester I-2022 ini, penjualan dari pihak ketiga RMBA mencapai Rp2,20 triliun.
Kendati demikian, di periode ini RMBA mampu membalik rugi menjadi laba atawa turnaround. Pada semester I-2021, RMBA mengalami rugi mencapai Rp28,90 miliar. Kemudian, di periode ini, RMBA berhasil membukukan laba sebesar Rp16,01 miliar.
Meski kinerja mayoritas emiten rokok terpantau merosot, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) masih mampu mencatatkan keuangan yang baik pada semester I-2022.
Sebagaimana dilansir dari laporan keuangannya, pendapatan bersih WIIM mampu tumbuh hingga 38,20 persen pada semester I-2022. Ini menjadi pertumbuhan pendapatan bersih yang tertinggi diantara emiten rokok lainnya.
Adapun pendapatan bersih WIIM di semester I tahun ini mencapai Rp1,63 triliun.
Meningkatnya pendapatan bersih WIIM ditopang oleh penjualan dari Sigaret Kretek Mesin yang mencapai Rp1,30 triliun. Pendapatan dari segmen ini berkontribusi sebesar 79,84 persen terhadap total pendapatan bersih WIIM.
Selain itu, beberapa segmen pendapatan juga mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun lalu. Adapun segmen pendapatan yang meningkat yakni penjualan cerutu (Rp1,03 miliar) dan penjualan lainnya (Rp117,01 miliar).
Tak hanya mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih yang melesat, WIIM juga menjadi satu-satunya emiten rokok yang mengalami peningkatan laba bersih yang signifikan di periode ini.
Laba bersih WIIM di semester I-2022 tercatat terkerek hingga 30,33 persen menjadi Rp82,16 miliar. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, laba bersih WIIM hanya sebesar Rp63,04 miliar.
Pernah Berjaya, Bagaimana Nasib Saham Emiten Rokok Kini?
Saham emiten rokok pernah mengalami kejayaannya. Semenjak melantai perdana di bursa pada 1990 silam, harga saham GGRM pernah mengalami tren menanjak hingga mencapai puncaknya di penutupan 4 Maret 2019.
Pada periode ini, saham GGRM menembus Rp94.400/saham. Tingginya harga saham GGRM kala itu mengantarkan emiten ini menjadi salah satu jajaran saham dengan harga termahal.
Sama seperti GGRM, saham HMSP juga pernah berjaya di angka Rp5.200/saham pada perdagangan 26 Januari 2018. Akan tetapi, saham emiten-emiten rokok kini mulai meredup di tengah tarif cukai rokok yang semakin melambung.
Berdasarkan data yang dirangkum Tim Riset IDX Channel, dilansir dari BEI per Kamis (4/8), kinerja saham kedua raksasa rokok Tanah Air ini anjlok memerah sepanjang tahun 2022.
GGRM mencatatkan kinerja saham terburuk yang terkontraksi hingga minus 16,09 persen. Sepanjang bulan ini, harga saham GGRM anjlok hingga minus 18,63 persen. Bahkan, BEI mencatat, saham GGRM memerah sebanyak 17 kali dalam sebulan terakhir.
Sementara raksasa rokok lainnya seperti HMSP juga mencatatkan kinerja saham yang ambruk di angka minus 4,66 persen secara year to date (YTD). Adapun saham emiten rokok ini juga memerah selama sebulan di angka minus 3,65 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Selain itu, saham RMBA juga terpantau datar atau stagnan berada di angka 0 persen sepanjang tahun 2022. Datarnya saham RMBA terjadi di tengah rencana perusahaan untuk sepakat mengubah usahanya menjadi go private dan melakukan penghapusan secara sukarela atawa voluntary delisting.
Sehubungan dengan rencana delisting tersebut, pihak bursa sendiri telah melakukan suspensi (penghentian perdagangan) saham RMBA sejak 6 Agustus 2021.
Kendati saham emiten rokok semakin meredup sepanjang tahun ini, WIIM menjadi satu-satunya emiten yang sahamnya masih mampu tumbuh secara YTD.
Adapun berdasarkan data BEI pada penutupan perdagangan Kamis (4/8), performa saham WIIM melesat hingga 21,05 persen sepanjang 2022. Melesatnya harga saham WIIM ditopang oleh kinerja keuangan yang membaik di semester I-2022.
Di tengah emiten rokok yang kinerja keuangannya ambruk, WIIM masih mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih dan laba bersih masing-masing di angka 38,20 persen dan 30,33 persen. (ADF)
Periset: Melati Kristina
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.