September Suram bareng Green Day, IHSG Siap Bangkit di Oktober?
Para pelaku pasar maupun media kadang mengutip judul lagu “Wake Me Up When September Ends” untuk menggambarkan suasana psikologis pasar saham di September.
IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya menutup September kelabu. Apabila menilik data historis, IHSG berpotensi ‘balas dendam’ di Oktober, sembari tetap bersiaga dengan iklim negatif ekonomi global yang bisa menjadi penghambat utama.
September memang bukan bulannya IHSG. Selama 2013-2022, IHSG hanya menghijau 4 kali selama September, dengan 6 sisanya ambles. Secara rerata IHSG turun 1,32% di September selama 10 tahun terakhir.
Karena itu, tidak mengherankan apabila para pelaku pasar maupun media ekonomi kadang mengutip judul lagu milik band rock Amerika Green Day “Wake Me Up When September Ends” untuk menggambarkan suasana ‘kebatinan’ pasar saham di September.
Sebagai contoh, Forbes pada 26 September 2022 menerbitkan artikel dengan judul sama persis dengan lagu Green Day tersebut sebagai cara ‘merayakan’ pasar saham AS yang anjlok di pekan itu.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (30/9/2022), IHSG anjlok 1,92% ke posisi 7.040,80 sepanjang September.
Indeks harga saham acuan tersebut cenderung merosot setelah menyentuh level tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) harian pada 13 September 2022 di angka 7.318,02.
Selama September, penurunan IHSG paling tajam berlangsung pada 23-29 September ketika ditutup turun secara beruntun. Itu terjadi di tengah memburuknya sentimen pasar global, terkait suku bunga sampai resesi.
Belum lagi, di pekan terakhir September, investor asing getol melakukan aksi penjualan bersih (net sell) sebesar Rp3,08 triliun di pasar reguler.
Walapun memang, sejak awal tahun (YtD), IHSG masih melonjak 6,98%.
Plus, IHSG masih menjadi yang terbaik di kawasan Asia-Pasifik yang penuh ‘lautan merah’ alias indeks saham berkinerja negatif.
IHSG Siap Bangkit di Oktober?
Menurut data musiman (seasonality), IHSG memiliki rekam jejak yang baik selama Oktober.
Dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), IHSG sukses menghijau 8 kali dan hanya melemah 2 kali selama Oktober. (Lihat tabel di bawah ini.)
Hal tersebut membuat probabilitas IHSG untuk menguat dalam periode yang sama mencapai 80%.
Secara rata-rata, tingkat pengembalian alias return IHSG di Oktober dalam 10 tahun mencapai 2,27%.
Apabila menilik rentang lebih jauh, dalam 20 tahun terakhir, kemungkinan IHSG untuk menguat di Oktober mencapai 70% dengan rerata kenaikan 0,47%.
Melihat data tersebut, hanya faktor musiman Desember (dikenal dengan window dressing) yang mampu mengalahkan seasonality Oktober dalam sedekade belakangan.
Selama 10 tahun, IHSG selalu menghijau di Desember atau probabilitas 100%. Secara rerata, IHSG naik 3,02% di Desember dalam periode tersebut.
Catatan saja, data musiman berasal dari kinerja masa lalu yang tidak serta merta dapat menggambarkan kinerja masa depan.
Sentimen Oktober
Kendati membawa bekal data musiman yang positif, ada sejumlah sentimen gejolak ekonomi global yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para investor.
Ini karena pasar dikelilingi sentimen negatif akhir-akhir ini, mulai dari kecamuk perang, krisis energi, sampai aksi kerek bunga a la bank sentral untuk memerangi inflasi.
Sebut saja, eskalasi perang Rusia-Ukraina yang berpotensi membuat Eropa mengalami krisis energi.
Eropa banyak bergantung pada Rusia untuk impor gas alam. Namun, sanksi yang diberikan Eropa terhadap Rusia akibat perang tersebut membuat harga gas melonjak tinggi.
Era suku bunga tinggi untuk meredam efek inflasi membuat risiko resesi global pun banyak dilontarkan oleh lembaga-lembaga dunia.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pada Selasa (27/9), misalnya, memperingatkan sejumlah krisis yang ada di tengah kecamuk perang memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mengancam dunia jatuh ke jurang resesi.
“Indikatornya tidak terlihat bagus,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala kepada Bloomberg selama wawancara pada hari Selasa.
Di samping itu, Bank Dunia (World Bank) pada awal bulan ini juga mengeluarkan studi yang memprediksi resesi global pada awal tahun depan, menggaris bawahi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan bank sentral di seluruh dunia memperketat kebijakan moneter mereka demi mengurangi inflasi.
Di Oktober, investor akan menunggu rilis data inflasi dan keputusan suku bunga acuan sejumlah negara utama, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa, sembari menyimak data dari domestik.
Apabila, misalnya, bank sentral AS (The Fed) kembali pamer otot dengan mengerek suku bunga atau melakukan manuver pengetatan lebih lanjut dan ditambah efek perang semakin meluas, hal tersebut akan semakin menambah tekanan ke pasar. (ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.