Siap Investasi di Pertamina Geothermal (PGE), Teropong Sepak Terjang INA di RI
SWF asal Indonesia, INA akan menjadi investor Pertamina Geothermal Energy (PGE). Di samping itu, SWF ini juga berinvestasi di sejumlah perusahaan di Indonesia.
IDXChannel – Sovereign Wealth Funds (SWF) asal Indonesia, Indonesia Investment Authority (INA), dikabarkan siap menjadi investor strategis PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang diperkirakan bakal melantai di bursa pada akhir bulan ini.
Sekedar informasi, INA merupakan lembaga pengelola investasi yang didirikan pemerintah dengan peran sebagai jembatan bagi para investor untuk menempatkan investasinya dan berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia.
Adapun, INA siap berinvestasi di saham PGE dalam proses initial public offering (IPO) sebesar Rp9,7 triliun dengan mengajak investor asal Timur Tengah.
Secara resmi, PGE akan memulai proses IPO dengan melepas sebanyak-banyaknya 10,35 miliar sahamnya ke publik.
Rencananya, perusahaan bakal menggunakan kode saham PGEO, dengan harga perdana ditawarkan di kisaran Rp820 sampai Rp945 per saham, dengan nilai nominal Rp500 per saham.
Dengan rentang harga penawaran tersebut, maka dari proses IPO kali ini perusahaan berpotensi meraup dana segar minimal Rp8,48 triliun, atau maksimal bahkan dapat mencapai Rp9,78 triliun.
Komposisi pemegang saham PGE saat ini diketahui meliputi PT Pertamina Power Indonesia (PPI) sebesar 92,02 persen, dan PT Pertamina Pedeve Indonesia (Pedeve) sebanyak 7,98 persen.
Sedangkan proses penawaran awal (bookbuilding) dari perusahaan ini berlangsung sejak Rabu (1/2) hingga Kamis (9/2) mendatang. Adapun, melansir prospektus perusahaan, PGE bakal melakukan pencatatan Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 24 Februari 2023.
Ketertarikan INA untuk berinvestasi di PGE seiring dengan potensi perusahaan yang mendukung program pemerintah untuk mencapai target pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) melalui pengembangan tenaga panas bumi.
Adapun, PGE merencanakan pengembangan proyek panas bumi hingga 600MW sampai dengan tahun 2027. Selain itu, perusahaan ini juga memiliki hak atas 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) secara langsung maupun tidak langsung dengan kapasitas terpasang mencapai 1.877 Megawatt (MW).
Di samping itu, perusahaan juga memiliki kinerja keuangan yang apik hingga valuasi dan kapitalisasi pasar atau market cap yang menarik.
Melansir prospektus perusahaan, pendapatan bersih PGE sepanjang 9 bulan 2022 bertumbuh sebesar 3,90 persen menjadi USD287,40 juta atau setara dengan Rp4,27 triliun dengan asumsi kurs sebesar Rp14.855/USD.
Selain itu, laba bersih perusahaan melesat hingga 67,77 persen, dari USD66,42 juta (Rp986,64 miliar) pada 9 bulan 2021 menjadi USD111,43 juta (Rp1,65 triliun).
Untuk valuasi saham pasca IPO, PGE diproyeksikan memiliki price to earnings ratio (PER) di kisaran 17 kali hingga 20 kali. Sementara untuk rasio price to book value (PBV) perusahaan diperkirakan sebesar 1,2 kali hingga 1,3 kali.
Kendati valuasi tersebut berada di atas rule of thumb, yakni sebesar 1 kali untuk PBV dan 10 kali untuk PER suatu perusahaan bila dianggap murah, PGE masih menarik karena memiliki market cap yang jumbo.
Adapun, perusahaan energi milik Pertamina tersebut diproyeksi bakal memiliki market cap sekitar Rp33 triliun hingga Rp39 triliun.
Sepak Terjang Investasi INA di Tanah Air
Di samping berinvestasi di PGE, INA dikenal berinvestasi di sejumlah perusahaan dari berbagai sektor yang punya kontribusi dalam pembangunan di Tanah Air.
SWF yang didirikan oleh pemerintah Indonesia tersebut memiliki permodalan yang berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp75 triliun. Adapun, pemenuhan permodalan tersebut dilakukan secara bertahap pada 2021.
Dengan modal tersebut, hingga 31 Desember 2021 INA mencatatkan aset sebesar Rp79,22 triliun.
Sementara, menurut laporan keuangan perusahaan pada periode tersebut, ekuitas perusahaan mencapai Rp79,05 triliun serta liabilitas perusahaan sebesar Rp167,45 miliar.
Sedangkan, pendapatan bersih dan laba bersih yang dibukukan oleh perusahaan hingga 31 Desember 2021 masing-masing sebesar Rp580,44 miliar dan Rp231,25 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Selama perusahaan ini berdiri pada 2020 lalu, INA sudah berinvestasi di berbagai perusahaan. Pada Mei 2021, INA melakukan perjanjian investasi di bidang energi dengan Pertamina.
Di bulan September di tahun yang sama, INA melakukan Memorandum of Understanding (MoU) untuk investasi bersama perusahaan petrokimia domestik.
Kemudian, INA juga berinvestasi di sektor logistik maritim yang nilai komitmen investasinya mencapai USD7,51 miliar (Rp111,42 triliun) dengan menggandeng DP World.
Sementara, pada November 2021 INA menandatangani perjanjian kerangka kerja investasi bersama ADG dengan komitmen investasi sebesar USD10 miliar atau Rp148,55 triliun.
Di bulan yang sama, INA juga menjadi investor dalam IPO PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) bersama Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC), Abu Dhabi Investment Authority (ADIA), dan Abu Dhabi Growth Fund (ADG).
Menurut laporan tahunan INA pada 2021, perusahaan SWF asal Indonesia ini tertarik berinvestasi pada MTEL karena potensi perusahaan sebagai perusahaan menara terbesar Indonesia.
Tercatat, hingga 30 September 2022, MTEL memiliki 35.051 menara yang menjadikan MTEL sebagai perusahaan menara terbesar di Tanah Air, bahkan regional Asia Tenggara.
Selain iu, MTEL juga memiliki 58 persen menara di luar Jawa di tengah tenancy ratio menara di luar Jawa yang rendah. Dengan demikian, MTEL punya potensi pertumbuhan penyewaan menara di luar Jawa yang masih tinggi, didukung oleh masifnya bisnis digital.
“MTEL memiliki faktor fundamental seperti permintaan data yang meningkat sehingga berdampak pada mingkatnya permintaan sektor menara telekomunikasi sehingga ada peluang ekspansi bagi pemain industri ini,” tulis INA dalam laporan tahunannya.
Di samping itu, MTEL juga memiliki kinerja keuangan pada 9 bulan 2022 yang bertumbuh. (Lihat tabel di bawah ini.)
Melansir laporan keuangan emiten, pendapatan bersih MTEL naik 11,53 persen menjadi Rp5,60 triliun. Sedangkan, laba bersihnya juga melesat 18,06 persen menjadi Rp1,23 triliun.
Kendati demikian, kinerja saham MTEL sepanjang 2023 masih terkotraksi. Melansir data BEI pada Kamis (2/2), saham emiten menara ini mencatatkan kinerja saham year to date (YTD) yang merosot 16,25 persen.
Sementara, dalam setahun belakangan, saham MTEL juga turun sebesar 16,25 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Pemain SWF yang Berinvestasi di Indonesia
Selain INA, terdapat SWF lainnya yang turut berinvestasi di sejumlah perusahaan di Indonesia. Perusahaan tersebut adalah Government of Singapore Investment Corporation Private Limited atau GIC yang berasal dari Singapura.
Seperti yang disinggung di atas, GIC juga menjadi salah satu investor MTEL ketika melakukan IPO pada November tahun 2021 lalu. Adapun, GIC diketahui menggenggam saham MTEL sebesar 5,3 persen pada saat IPO.
Selain memegang saham MTEL, GIC juga turut berinvestasi di emiten tekno, yakni PT Bukalapak.com Tbk (BUKA). Menurut catatan BEI, GIC melakukan pembelian saham di BUKA sebesar 1,55 persen pada Agustus 2021.
Tercatat, GIC menggelontorkan dana sebesar Rp1,36 triliun untuk membeli saham emiten yang dikendalikan oleh Grup Emtek ini.
GIC juga tercatat masuk ke saham emiten bank digital, PT Bank Jago Tbk (ARTO) pada tahun 2021 lalu melalui rights issue. Dalam aksi korporasi tersebut, GIC merogoh kocek sebesar Rp3,15 triliun untuk menguasai 1,19 miliar saham ARTO.
Emiten selanjutnya yang sahhamnya digenggam oleh GIC yakni PT Avia Avian Tbk (AVIA). Pada Desember 2021 lalu, GIC bersama perusahaan Singapura lainnya, Archipelago Investment Pte Ltd memegang 7,11 persen saham emiten cat milik crazy rich Hermanto Tanoko.
Selain berinvestasi di perusahaan yang melantai di bursa, GIC juga tercatat bekerja sama dengan sejumlah perusahaan nasional. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun, PT Intiland Development Tbk juga pernah bekerja sama dengan perusahaan SWF ini pada November 2016 lalu dalam membuat usaha patungan untuk mengembangkan properti South Quarter Tahap II di TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Di samping itu, GIC juga menjalin kemitraan dengan PT Nusantara Sejahtera Raya yang menguasai bioskop seperti Cinema 21, Cinema XXI dan The Premier. Sementara, kemitraan tersebut memiliki nilai investasi sebesar Rp3,5 triliun.
Tak hanya itu, GIC juga pernah bekerja sama dengan Grup Rajawali dalam mengembangkan kawasan bisnis CBD di Jakarta.
Selain perusahaan yang telah disebutkan di atas, GIC juga tercatat pernah menjalin kemitraan dengan PT Trans Retail Indonesia, perusahaan milik Chairul Tanjung.
Tak hanya GIC, terdapat SWF lainnya yang tercatat berinvestasi di Indonesia, di antaranya adalah SWF Norwegia dan SWF milik Denmark.
Hingga tahun 2019, SWF Norwegia pernah berinvestasi di 79 perusahaan Tanah Air dengan nilai investasi mencapai USD1,86 miliar (Rp27,63 triliun).
Adapun, perusahaan Tanah Air yang menerima investasi dari SWF ini adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), hingga PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Sementara, di sektor telekomunikasi, SWF Norwegia berinvestasi di PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Indosat Tbk (ISAT), dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Sedangkan, SWF Norwegia juga turut berinvestasi di sejumlah emiten tambang, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), hingga PT Timah Tbk (TINS).
Di sektor industri makanan, SWF Norwegia tercatat berinvestasi di PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO).
Di sisi lain, SWF asal Denmark, Investment Fund for Developing Countries (IFU) juga berinvestasi di Indonesia dengan menyepakati perjanjian kerangka investasi dengan INA sebesar USD500 juta atau Rp7,8 triliun.
Adapun, kedua pihak terlibat dalam kerja sama investasi hijau seperti pemanfaatan EBT, pengelolaan limbah, dan ekonomi sirkular.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.