Sisi Gelap Industri Nikel Indonesia: Pekerja Murah hingga Kerusakan Lingkungan
Industri nikel Tanah Air masih menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa memberikan dampak ekonomi yang nyata.
IDXChannel - Industri nikel Tanah Air masih menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa memberikan dampak ekonomi yang nyata.
Laporan The Guardian, Kamis (11/4) pekan lalu menyebut, industri nikel Indonesia masih menyisakan sejumlah tantangan lingkungan hingga isu pekerja seiring dominasi investasi China.
Nikel juga disebut telah mengubah kehidupan masyarakat di pulau Sulawesi, Halmahera, dan Obi di Timur Indonesia.
Selama lebih dari satu dekade, kawasan ini telah berubah dari pengekspor bijih sederhana menjadi pengolah logam terkemuka di dunia.
Daerah pedesaan yang awalnya terpencil kini telah menjelma menjadi kawasan yang tersentuh modernitas.
Saat ini, kawasan ini menjadi rumah bagi sekitar 200 jalur produksi smelter dan 200.000 pekerja pabrik nikel. Angka pekerjaan ini mungkin masih akan bertambah lagi di masa depan.
Dominasi ‘Uang’ China
Indonesia mengandalkan industri ini sebagai tiket untuk menjadi negara maju di 2045 seiring meningkatnya permintaan nikel untuk bahan bakar baterai dan kendaraan listrik.
Indonesia bahkan memproduksi sekitar setengah dari seluruh nikel dunia dan telah membuat harga nikel dunia turun dan menyebabkan sebagian besar produsen nikel lainnya mengalami kerugian.
Ini terlihat dari kasus tutupnya perusahaan nikel berbasis Australia BHP dan Glencore yang mengumumkan akan meninggalkan produksi logam tersebut pada Februari lalu.
The Guardian menyebut, resep sukses Indonesia dalam mengembangkan industri nikel adalah batu bara yang murah, bijih nikel yang dijual murah, pekerja yang murah, dan uang (investasi) dari China.
Tercatat, menurut laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2023 China menempati peringkat kedua penanaman modal asing (PMA) setelah Singapura dengan realisasi mencapai USD7,4 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Riset Carnegie Endowment menemukan, selama beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan China juga berinvestasi dalam ekstraksi dan pengolahan logam Indonesia. Namun, baru setelah 2013 perusahaan-perusahaan China menjadi sumber investasi terbesar di sektor ini.
Di antara investasi China, investasi yang dilakukan oleh Tsingshan Group, produsen baja tahan karat terkemuka di dunia, adalah yang terbesar.
Salah satu investasi pertama yang dilakukan perusahaan swasta China ini adalah pembangunan pabrik baja tahan karat di Pulau Obi, Maluku Utara.
Namun, investasi sebesar USD500 juta untuk membangun pabrik peleburan melalui kemitraan dengan perusahaan milik negara Indonesia gagal hanya dalam waktu satu tahun karena menurunnya harga dan output nickel pig iron (NPI).
Demikian pula investasi lainnya—termasuk PT Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali (IMIP), yang bekerja sama dengan Bintang Delapan, sebuah perusahaan pertambangan besar di Indonesia—dimulai antara tahun 2007 dan 2009, namun baru terwujud beberapa waktu kemudian.
Sementara melansir mining.com, China telah menginvestasikan puluhan miliar dolar ke Indonesia, membangun smelter dan menggunakan teknologi mereka untuk mendominasi pasar nikel.
Dengan cara ini, hal ini tidak berbeda dengan cara China dalam mendominasi produksi kobalt dunia yang ditambang di Kongo kemudian dikirim ke China untuk diproses menjadi mineral tanah jarang, baja, tembaga, dan lainnya.
Terlebih, Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia namun konsentrasi bijihnya sangat rendah.
“Menyempurnakannya menjadi kualitas baterai, atau bahkan hanya untuk membuat baja tahan karat, adalah proses yang sangat menguras energi. Hal ini didukung oleh pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara,” tulis laporan The Guardian.
Harga nikel berjangka sempat naik di atas USD18.300 per ton pada 10 April 2024 lalu, mendekati level tertinggi dalam hampir enam bulan.
Namun, harga nikel telah terjun bebas sejak Maret 2022 di mana saat itu mencapai USD48.000 per ton. Pada perdagangan Rabu (17/4), harga nikel di kisaran USD17.846 per ton. (Lihat grafik di bawah ini.)
Harga nikel sempat terangkat oleh kekhawatiran akan berkurangnya pasokan, karena Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengeluarkan sanksi baru terhadap logam Rusia.
Pihak berwenang Barat melarang pengiriman pasokan logam produksi Rusia, termasuk nikel dan melarang bursa perdagangan logam menerima aluminium, tembaga, dan nikel baru yang diproduksi oleh negara tersebut. Impor logam Rusia ke AS dan Inggris juga dilarang.
Langkah tersebut dilakukan dalam upaya membatasi pendapatan Rusia dari ekspor logam yang membantu mendanai operasi militernya di Ukraina.
Namun, para analis berpendapat bahwa pembatasan yang dilakukan Barat sepertinya tidak akan menghentikan penjualan Rusia dan dapat menyebabkan gelombang masuknya saham-saham lama ke pasar, sehingga menyebabkan ketidakpastian di pasar komoditas.
Tragedi Smelter dan Ketergantungan Batu Bara
Namun, Guardian menyebut hal ini berarti ada harga yang harus dibayar mahal bagi penduduk setempat, yakni rusaknya lingkungan hidup dan keselamatan pekerja.
Warga di daerah pertambangan nikel terkepung oleh berubahnya warna air laut menjadi oranye dan berbau logam menyengat.
Sebuah pabrik peleburan mengapit pemukiman di satu sisi dan pembangkit listrik tenaga batu bara di sisi lain yang menambah derita masyarakat setempat.
Laporan Guardian juga menyebut, RI telah menciptakan celah untuk menunda penghapusan batu bara secara bertahap demi keuntungan industri nikel.
“Karena logam ini sangat penting dalam transisi ramah lingkungan, maka negara ini mengizinkan pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang terhubung dengan pabrik peleburan nikel selama pabrik tersebut ditutup sebelum tahun 2050,” tulis laporan tersebut, Kamis (11/4/2024).
Hal ini menyebabkan negara ini mencetak rekor baru dalam konsumsi batu bara dan emisi karbon dioksida (CO2).
“Menyebut industri nikel sebagai bagian dari transisi ramah lingkungan adalah sebuah lelucon,” kata Muhammad Taufik, koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia.
“Bagus kalau bisa menciptakan lapangan kerja. Namun hal ini juga menghancurkan ekosistem dan kehidupan manusia,”lanjut Taufik kepada The Guardian.
Industri nikel Tanah Air juga ditampar oleh peristiwa ledakan di pabrik peleburan alias smelter yang merenggut 21 nyawa.
Media memberitakan tentang ledakan tersebut baik di dalam maupun di luar negeri.
Juru bicara PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, anak perusahaan IMIP mengatakan pihaknya akan bekerja sama dalam penyelidikan.
“Kami dengan tulus meminta maaf atas kejadian ini dan kami bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menyelidiki penyebab kecelakaan itu,” katanya.
Selain itu, pergeseran lain sedang terjadi dimana perusahaan otomotif barat seperti Volkswagen dan Ford menyatakan akan berinvestasi langsung di kilang minyak Indonesia untuk mengamankan pasokan nikel mereka.
Aimee Boulanger, direktur eksekutif Initiative for Responsible Mining Assurance, sebuah organisasi yang telah menetapkan standar global untuk praktik di bidang pertambangan, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia, serta beberapa perusahaan pertambangan di negara ini, telah memulai diskusi dengan mereka.
“Sebelumnya, perusahaan mobil Barat ini menjaga jarak dari industri pertambangan. Bahwa mereka sekarang berinvestasi langsung di pertambangan telah meningkatkan kesadaran akan kondisi pertambangan,” kata Boulanger. (ADF)