Suku Bunga The Fed Diramal Naik Agresif Lagi, Bagaimana Nasib BBCA-BBRI Cs?
Sektor perbankan masih mencatatkan pertumbuhan saham yang positif di tengah bayang-bayang inflasi AS disusul kemungkinan naiknya suku bunga The Fed.
IDXChannel – Sektor perbankan Tanah Air sedang dibayangi inflasi Amerika Serikat (AS) di tengah kemungkinan naiknya suku bunga The Fed.
Inflasi AS pada periode Agustus 2022 menembus angka 8,3 persen, yang mana angka tersebut lebih tinggi dari konsensus dan prediksi pasar yakni sebesar 8,1 persen.
Angka inflasi yang lebih tinggi dari prediksi pasar berdampak terhadap meningkatnya risiko secara global hingga kekhawatiran akan resesi AS yang dapat memicu terjadinya resesi global, termasuk negara berkembang.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, naiknya inflasi berimbas terhadap meningkatnya suku bunga.
“Kalau suku bunga tinggi, maka akan menambah biaya pinjaman. Selain itu, inflasi AS yang tinggi berdampak pada komoditas yang diekspor ke AS,” kata Bhima dalam wawancara dengan IDX Channel, Rabu (14/9).
Adapun bank sentral AS (The Fed) akan mengumumkan keputusan suku bunga, pada Kamis (22/9) dini hari waktu Indonesia.
Sebagaimana dikutip dalam Reuters, analis Nomura menyebutkan, The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga jangka pendek pada pertemuan kebijakan di pekan depan sebagai respon atas risiko inflasi yang semakin tinggi.
Nomura juga memprediksi naiknya suku bunga menjadi 50 bps (basis poin) menjadi 4,50 persen hingga 4,75 persen pada Februari 2023.
Sebagaimana dilansir dalam CME FedWatch Tool, kenaikan suku bunga The Fed (FFR) diproyeksikan naik hingga 100 bps. Sedangkan CME FedWatch Tool juga menunjukkan probabilitas 34 persen dari kenaikan suku bunga 100 bp pada pertemuan 20-21 September.
Sementara peluang kenaikan suku bunga 75 bp turun menjadi 69 persen dari 91 persen. Kondisi tersebut mendorong investor untuk mengantisipasi bila Ketua The Fed, Jerome Powell, menaikkan suku bunga hingga 100 bps.
Suku Bunga Tinggi, Ini Dampak bagi Sektor Perbankan
Bhima menjelaskan, naiknya suku bunga The Fed akibat inflasi AS dapat mendorong kemungkinan Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan tingkat suku bunga menjadi lebih agresif yakni 25-50 bps atau lebih untuk mengerem inflasi seperti yang dilakukan The Fed.
“Akibatnya, di satu sisi likuiditas akan lebih baik jika Net Interest Margin (NIM) jadi gemuk. Di sisi lain, perbankan dapat mengalami tekanan likuiditas hingga penurunan laba karena bunga pinjaman terlalu mahal. Deposan juga dapat mengalihkan dari simpanan perbankan ke aset denominasi dolar,” jelasnya.
Sementara riset CGS CIMB bertajuk “Banks, Resume with OW: Ready for NIM upswing” yang dirilis pada Rabu (7/9) memperkirakan NIM sektor perbankan mulai berkembang sejak 22 Agustus dengan rata-rata ekspansi sebesar 7bp secara quarter on quarter (qoq) untuk proyeksi kuartal III tahun ini hingga pada puncaknya, yakni di periode yang sama tahun 2023.
“Kami percaya, NIM dari emiten bank besar juga akan mendapat manfaat dari saldo yang lebih produktif,” tulis analis CGS CIMB, Handy Noverdanius, Rabu (7/9).
Adapun riset tersebut juga menyebutkan, PT Bank Mandiri Indonesia Tbk (BMRI) memiliki ekspansi NIM tertinggi di sektor ini. Sementara angka perkiraan tahun 2023 untuk BMRI dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk(BBRI) adalah 4-5 persen di atas konsensus bloomberg.
Selain itu, ekspansi NIM dari BMRI pada tahun proyeksi 2023 sebesar 25bp, lebih tinggi dari rata-rata sektor perbankan yakni 17bp.
“Dengan demikian, kami masih memberikan rating Overweightterhadap sektor perbankan konvensional,” tulis Handy dalam riset tersebut.
Kendati demikian, terdapat berbagai risiko yang dapat mempengaruhi sektor ini. Adapun risiko tersebut adalah lambatnya pertumbuhan pinjaman dari perkiraan serta memburuknya kualitas aset dan likuiditas dari perkiraan.
Sedangkan permintaan pinjaman dan kemampuan untuk meningkatkan suku bunga pinjaman juga menjadi katalis penilaian ulang dari sektor perbankan.
Kinerja Saham Perbankan Masih Cerah
Dilihat dari kinerja sahamnya, sektor perbankan khususnya emiten big fourmasih berada di zona hijau dalam sepekan hingga sebulan belakangan.
Berdarkan data Bursa Efek Indoensia (BEI) per penutupan Senin (19/9), saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memimpin kinerja saham emiten big four bank dengan kenaikan mencapai 3,28 persen dalam seminggu terakhir.
Sedangkan kinerja sahamnya selama sebulan masih melesat hingga 8,13 persen. Selain BBCA, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mencatatkan kinerja positif selama sepekan yakni 1,99 persen dan sebulan sebesar 8,13 persen.
Menyusul kinerja pisitif dua emiten bank tersebut, saham BMRI juga masih berada di zona hijau meskipun kenaikannya hanya sebesar 0,54 persen dalam sepekan. Kendati demikian, kinerja sahamnya selama sebulan mencatatkan kinerja paling unggul, yakni sebesar 8,21 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)
Terakhir yaitu BBRI yang kinerja sepekannya hanya sebesar 0,22 persen selama sepekan terakhir. Adapun BEI mencatat, per Senin (19/9), saham BBRI masih tumbuh hingga 7,03 persen dalam sebulan terakhir.
Melesatnya saham emiten big four perbankan diiringi dengan kepercayaan investor asing dalam melakukan net buyatau aksi beli saham di emiten-emiten ini.
Sebagaimana dilansir dari BEI per Senin (19/9), asing mencatatkan net buy terhadap BMRI sebesar Rp1,11 triliun di pasar reguler. Selain BMRI, asing juga melakukan net buydi pasar reguler sebesar Rp760,97 miliar di BBCA.
Periset: Melati Kristina
(ADF)