MARKET NEWS

Tantangan Industri Aviasi di Balik Rencana Merger Garuda, Citilink, dan Pelita Air

Maulina Ulfa - Riset 25/08/2023 07:30 WIB

Rencana merger BUMN aviasi antara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Citilink Indonesia, dan PT Pelita Air Service riuh terdengar di jagat maya.

Tantangan Industri Aviasi di Balik Rencana Merger Garuda, Citilink, dan Pelita Air. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Rencana merger BUMN aviasi antara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Citilink Indonesia, dan PT Pelita Air Service riuh terdengar di jagat maya. Rencana tersebut langsung digaungkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir beberapa waktu lalu.

Erick berdalih, ada dua alasan yang mendorong rencana penyatuan tiga perusahaan tersebut.

Pertama,  sebagai upaya efisiensi biaya logistik. Ia menilai, merger bisa membuat industri penerbangan negara semakin kuat dan efisien.

"BUMN terus menekan biaya logistic. Pelindo dari 4 (perusahaan) menjadi 1. Sebelumnya, logistic cost mencapai 23 persen, sekarang jadi 11 persen. Kita juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," ungkap Erick pada Senin, (21/8/2023).

Kedua, memperkuat industri penerbangan Indonesia. Erick mengatakan industri penerbangan di dalam negeri sampai saat ini masih perlu diperkuat. Erick mengatakan program efisiensi klaster maskapai tersebut akan dibentuk seperti Pelindo.

Lantas seperti apa prospek merger ketiga BUMN aviasi ini? Bagaimana persaingan bisnis penerbangan di sisa 2023?

Peta Persaingan Bisnis Aviasi RI

Terdapat beberapa pemain utama bisnis aviasi komersial besar di RI selain PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), dan Pelita Air, yakni Lion Air, Air Asia Indonesia, dan Sriwijaya Air.

Pangsa penerbangan di RI masih cukup menjanjikan mengingat karakter Indonesia sebagai negara kepulauan.

Selain itu, pulihnya mobilitas masyarakat yang sebelumnya terdampak Covid-19 juga menjadi angin segar bagi bisnis di segmen ini.

Per Maret 2023, PT Angkasa Pura (AP) II menyebutkan bahwa potensi pasar penerbangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) masih didominasi oleh pelayanan standar minimum atau Low Cost Carrier (LCC) dengan pergerakan rute domestik.

PT Angkasa Pura (AP) II menyebutkan bahwa potensi pasar penerbangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) masih didominasi oleh pelayanan standar minimum atau Low Cost Carrier (LCC) dengan pergerakan rute domestik.

LCC yang beroperasi di Bandara Soetta adalah Citilink (Garuda Indonesia Group), Lion Air, Super Air Jet, dan AirAsia Indonesia.

Selain itu, kompetitor GIAA dan Pelita Air nampaknya juga berkinerja tak lebih baik. Menurut laporan The 2023 Airline Index yang dirilis oleh Bounce, dua maskapai asal Indonesia, yakni Lion Air dan Wings Air harus rela masuk ke daftar maskapai penerbangan internasional terburuk di dunia.

Penilaian Bounce dilakukan terhadap 52 maskapai dari berbagai negara yang melayani penerbangan internasional. Adapun 12 Maskapai di antaranya termasuk penerbangan terbesar di Amerika Serikat (AS).

Penilaian didasarkan pada sejumlah indikator, seperti ketepatan waktu, tingkat pembatalan penerbangan, kualitas makanan dan hiburan dalam pesawat, kenyamanan kursi pesawat, kualitas pelayanan awak kabin, hingga kebijakan bagasi.

Dari berbagai indikator tersebut, Wings Air dinobatkan sebagai maskapai penerbangan internasional terburuk. Anak usaha Lion Group tersebut hanya mendapatkan skor 0,37 dari total 10 poin. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Sementara sang induk Wings, Lion Air berada di posisi kedua mendapatkan skor 0,61 poin, dengan tingkat ketepatan waktu 48,76 persen dan tingkat pembatalan mencapai 20,01 persen.

Adapun maskapai anak usaha Lion Air lainnya, yakni Batik air menduduki peringkat ke-13 maskapai terburuk dalam daftar ini, dengan skor 2,48 poin. Tercatat, tingkat ketepatan waktu Batik Air sebesar 58,11 persen dan tingkat pembatalan 10,48 persen.

"Ini berarti, terbang dengan Wings Air sangat berisiko jika anda memiliki jadwal yang padat atau memiliki jadwal penerbangan lanjutan," tulis Bounce dalam laporannya.

Pro Kontra Merger Perusahaan

Pernyataan Erick soal dampak positif dari adanya merger bukan tanpa alasan, Sebenarnya langkah merger dan akuisisi dalam duni bisnis sangat lumrah dilakukan.

Mengutip laman LinkedIn, adanya merger dan akuisisi dapat menimbulkan sejumlah dampak, di antaranya;

Dampak Positif:

  1. Sinergi dan efisiensi: Menggabungkan dua perusahaan dapat menghasilkan penghematan biaya yang signifikan dan peningkatan efisiensi, terutama untuk biaya produksi, distribusi, dan pemasaran. Ketika dua perusahaan bergabung, mereka dapat menghilangkan fungsi seperti operasi back-office, dan mengkonsolidasikan sumber daya mereka. Hal ini dapat menghasilkan organisasi yang lebih efisien dan efisien.
  2. Peningkatan pangsa pasar: Merger atau akuisisi dapat membantu perusahaan meningkatkan pangsa pasarnya dan mendapatkan keunggulan kompetitif. Selain itu, perusahaan dapat memperluas basis pelanggan dan portofolio produknya, yang dapat meningkatkan pendapatan dan keuntungan.
  3. Akses ke pasar baru: Merger atau akuisisi juga dapat membantu perusahaan mendapatkan akses ke pasar baru. Perusahaan juga dapat memperkuat kehadiran di wilayah baru dan menghasilkan jejak geografis yang lebih luas.
  4. Bakat dan keahlian: Merger dan akuisisi juga dapat mendatangkan talenta dan keahlian baru ke dalam perusahaan. Dengan mengakuisisi perusahaan lain, perusahaan dapat memperoleh akses terhadap karyawan terampil dan manajer berpengalaman yang dapat membantu mendorong pertumbuhan dan inovasi.

Dampak negatif:

  1. Tantangan Integrasi: Integrasi dua perusahaan dapat menjadi proses yang kompleks dan menantang, terutama jika kedua perusahaan tersebut memiliki budaya, sistem, dan proses yang berbeda. Proses integrasi dapat memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Di tambah lagi, jika tidak dikelola dengan baik, dapat mengakibatkan gangguan dan hilangnya produktivitas.
  2. Risiko Finansial: Merger dan akuisis juga bisa berisiko secara finansial. Biaya untuk mengakuisisi suatu perusahaan bisa sangat besar, dan jika merger atau akuisisi tidak memberikan manfaat yang diharapkan, hal ini dapat mengakibatkan kerugian finansial dan bahkan kebangkrutan.
  3. Kendala Regulasi: Merger dan akuisisi harus mendapat persetujuan regulasi, yang bisa menjadi proses yang memakan waktu dan mahal
  4. Bentrokan Budaya: Ketika dua perusahaan dengan budaya berbeda bersatu, dapat terjadi bentrokan dan konflik. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya semangat kerja dan produktivitas karyawan, bahkan menyebabkan karyawan kunci keluar dari perusahaan.

GIAA Masih Dihantui Kerugian

Keputusan antara GIAA, Citilink Indonesia dan Pelita Air untuk merger mendapatkan respon positif dari pasar.

Hal ini terlihat dari kinerja saham emiten maskapai penerbangan GIAA yang melambung tinggi pada Kamis (24/8/2023).

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham GIAA melesat 10,00 persen ke Rp88 per saham atau menembus batas auto rejection atas (ARA) 10 persen (untuk efek dalam pemantauan khusus).

Diketahui saham GIAA sempat terkena suspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Juni 2021, disebabkan oleh penundaan pembayaran kupon sukuk global. Saham GIAA kembali dibuka BEI pada awal Januari lalu.

Meski demikian, secara year to date (YTD), pasca suspensi saham GIAA masih tertekan 56,86 persen. (Lihat tabel di bawah ini.)

Jika dilihat dalam laporan keuangannya, GIAA membukukan kerugian USD76,5 juta, setara Rp 1,15 triliun (asumsi kurs Rp 15.080 per dolar AS) pada paruh pertama 2023.

Padahal GIAA sempat membukukan laba bersih  sebesar USD3,76 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan dikutip Selasa (1/8), GIAA meraih pendapatan USD1,39 miliar setara Rp 21,04 triliun hingga semester I-2023.

Pendapatan perusahaan aviasi pelat merah ini melesat 58,84 persen dari sebelumnya sebesar USD878,69 juta.

Pendapatan terbesar GIAA masih ditopang dari segmen penerbangan berjadwal penumpang sebesar USD1,01 miliar atau Rp15,25 triliun. Pendapatan disegmen ini melejit 84,9 persen dari periode yang sama tahun sebelum sebesar USD550,79 juta.

Di sisi lain, segmen penerbangan berjadwal kargo dan dokumen menyumbang USD83,48 juta atau Rp1,25 triliun, merosot 34 persen dari kuartal kedua tahun lalu sebesar USD126,49 juta.

Meski pendapatan naik, beban usaha total di semester I-2023 GIAA tercatat sebesar USD1,26 miliar, atau naik dari periode yang sama tahun lalu di angka USD1,21 miliar. Untuk itu, GIAA membukukan rugi sebelum pajak sebesar USD109,56 juta di enam bulan pertama 2023.

Sebelumnya, GIAA mencatatkan kerugian pada kuartal I 2023, sebesar USD110,13 juta pada kuartal I (Januari-Maret) 2023. Nilai itu setara Rp1,61 triliun (asumsi kurs Rp14.666 per dolar AS per 5 Mei 2023).

Kerugian yang dialami GIAA sejatinya sudah berjalan bertahun-tahun. Tak berbeda jauh dengan semester I 2023, Garuda juga membukukan kerugian pada 2020 sebesar USD2,48 miliar. Tahun berikutnya, angka kerugian ini melebar menjadi USD4,16 karena dampak pandemi Covid-19 yang masih terasa. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Saat ini, total aset yang dimiliki GIAA mencapai USD 6,18 miliar dengan nilai liabilitas sebesar RpD7,82 miliar dan ekuitas minus 23,64 triliun.

Adapun rugi menahun juga membuat modal (ekuitas) GIAA menguap. Terlihat pada 2020 GIAA mengalami equitas negatif sebesar minus USD1,94 miliar. Padahal, di akhir 2019, total ekuitas GIAA masih positif sebesar USD 582,58 juta.

Pada saat yang bersamaan, pada 2020 total liabilitas GIAA malah melonjak USD 12,73 miliar. Kondisi ini menyebabkan total aset GIAA didominasi utang perusahaan.

Diketahui GIAA selama ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang menjadi penopang bisnisnya, termasuk Citilink di dalamnya.

Sejumlah anak perusahaan GIAA di antaranya PT Aerowisata, PT Sabre Travel Network Indonesia, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia (GMFAA), PT Aero Systems Indonesia (ASYST), PT Citilink Indonesia, PT Gapura Angkasa, dan Garuda Indonesia Holiday France.

Anak usaha GIAA, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) merupakan emiten yang juga melantai di BEI. Saham GMFI juga langsung naik 8,97 persen pada perdagangan hari ini, Kamis (24/8). Secara YTD, kinerja saham GMFI juga naik 28,79 persen.

PR Berat buat Pelita Air

Sementara PT Pelita Air Service atau biasa disingkat menjadi PAS saat ini adalah anak usaha dari Pertamina.

Perusahaan ini beroperasi sejak tahun 1963 saat Pertamina mendirikan divisi pelayanan transportasi udara yang diberi nama Pertamina Air Service.

Awalnya Pelita Air didirikan untuk mendukung mobilitas pegawai. Pada 24 Januari 1970, divisi tersebut resmi dipisah menjadi sebuah perusahaan tersendiri dengan nama PT Pelita Air Service.

Pada 2016, perusahaan ini mulai menyediakan jasa pengangkutan bahan bakar minyak (BBM) dan membentuk Strategic Business Unit (SBU) Bandara untuk mengelola bandara-bandara milik Pertamina.

Pada 2019, SBU Bandara mulai mengelola tiga bandara milik Pertamina, yakni Bandar Udara Pondok Cabe, Bandar Udara Pinang Kampai, dan Bandar Udara Warukin.

Pada 2020, perusahaan ini mulai menyediakan jasa pengangkutan kargo umum. Hingga pada 28 April 2022, perusahaan ini kembali membuka penerbangan komersil dengan rute, Jakarta-Denpasar dengan menggunakan pesawat jenis Airbus A320-214.

Dua bulan kemudian, tepatnya Juni 2022, perusahaan ini kembali membuka rute penerbangan komersil dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan jenis pesawat yang sama.

Secara kinerja keuangan, Pelita Air memang jauh lebih prima ketimbang GIAA karena sering tersandung prahara keuangan.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang terakhir dirilis pada 2021, Pelita Air membukukan pendapatan USD52,06 jutaa dengan beban pokok mencapai USD44,07 juta. Dari jumlah ini, Pelita Air masih mengantongi laba bersih tahun berjalan sebesar USD2,15 juta. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Namun, maskapai carter ini akan menghadapi tantangan berat ketika harus membantu GIAA dalam meningkatkan performa keuangannya, baik dari segi permodalan, armada, SDM, maupun organisasi.

Sehingga merger ini akan menjadi PR berat bagi Pelita Air jika memang benar-benar terealisasi. (ADF)

SHARE