Yield Obligasi AS Turun dari Rekor 5 Persen, Dolar Melemah
Imbal hasil obligasi pemerintah AS alias US Treasury bertenor 10-tahun naik ke atas 5 persen pada Senin (23/10) untuk pertama kalinya sejak 2007.
IDXChannel - Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) alias US Treasury bertenor 10-tahun naik ke atas 5 persen pada Senin (23/10) untuk pertama kalinya dalam 16 tahun.
Memasuki perdagangan Selasa (24/10) pukul 8.00 WIB, yield Treasury AS kembali turun di level 4,86 persen.
Meski demikian, yield Treasury AS berada dalam mode penguatan sejak pekan lalu juga sempat menyentuh angka 5 persen dan masih berada di kisaran tertingginya dalam dua pekan terakhir. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kenaikan Treasury yang terjadi sejak pekan lalu tak lepas dari kekhawatiran investor yang memprediksi bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan suku bunga pada tingkat tertinggi saat ini lebih lama.
Yield Treasury tenor 10-tahun, yang merupakan tolok ukur harga aset di seluruh dunia naik ke level tertinggi sejak Juli 2007.
Komentar dari Ketua The Fed, Jerome Powell pada Kamis (19/10) pekan lalu menunjukkan bahwa kebijakan moneter dapat diperketat lebih lanjut.
Hal ini tampaknya memicu kekhawatiran investor dan mendukung kenaikan imbal hasil Treasury.
Beberapa analis berpendapat imbal hasil obligasi pemerintah AS ini masih memiliki ruang lebih lanjut untuk kenaikan.
“Kenaikan pesat dalam imbal hasil seharusnya mempercepat gambaran ekonomi yang sudah melemah yang ditutupi oleh kenaikan suku bunga,” kata Tony Dwyer, kepala strategi pasar Canaccord Genuity dalam catatannya pada Senin (23/10).
Emas hingga Dolar Melemah
Kenaikan yield Treasury ini berdampak pada fluktuasi harga aset investasi lainnya, seperti pasar saham, emas, hingga dolar.
Secara umum, kenaikan imbal hasil obligasi berdampak buruk bagi emas. Ini karena adanya hubungan negatif antara emas dan suku bunga. Sementara suku bunga tinggi bisa mendorong daya tarik imbal hasil obligasi.
Investor biasanya menenmpatkan uangnya pada instrumen safe-haven seperti mata uang layaknya dolar AS, euro, atau yen dan logam mulia seperti emas dan perak.
Jika yield naik maka emas cenderung turun dan yield turun emas cenderung menguat karena investor biasanya akan memindahkan asetnya. Namun, jika berinvestasi emas, instrumen ini tidak menghasilkan keuntungan dari kenaikan suku bunga.
Begitu pula kenaikan imbal hasil obligasi biasanya mendorong dolar untuk tetap kuat dan melemahkan emas.
Namun, ini menunjukkan kondisi anomali di mana hari ini indeks dolar turun 0,11 persen di level 105,45 pada perdagangan pukul 10.00 WIB. Dalam sepekan terakhir, dolar telah melemah 0,69 persen dan telah menguat sekitar 4,3 persen selama 6 bulan terakhir.
Indeks saham di Negeri Paman Sam ditutup mixed di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup turun 0,61 persen, S&P 500 turun 0,17 persen, sementara Nasdaq 100 ditutup menguat 0,26 persen pada perdagangan Senin (23/10).
Biasanya, Treasury menawarkan imbal hasil stabil bagi investor dan merupakan aset berrisiko rendah dalam portofolio, sementara saham menawarkan imbal hasil yang lebih menarik.
Namun saat ini, kenaikan suku bunga telah membuat obligasi dan pasar uang lebih menarik, sehingga memberikan persaingan yang lebih besar pada saham.
Merespons menguatnya Treasury, aset safe haven lainnya, yakni emas spot telah turun di level sekitar USD1.975 per troy ons pada Selasa setelah mundur dari level tertinggi lima bulan yang dicapai pada pekan sebelumnya di level USD1.996 pada 20 Oktober 2023.
Mengutip TradingView, harga emas telah naik 3 persen selama sebulan terakhir dan secara year to date (YTD) emas telah menguat 8,44 persen.
Mundurnya harga emas dari kenaikan dampak imbal hasil Treasury AS naik dan upaya diplomatik mencegah perang Israel-Hamas meledak menjadi konflik yang lebih luas di Timur Tengah, sehingga mengurangi permintaan aset safe-haven.
Sementara sebelumnya kenaikan emas terdorong oleh pecahnya konflik Israel-Hamas yang membuat khawatir para investor.
Investor juga dengan hati-hati menunggu angka PDB dan inflasi AS pada minggu ini yang dapat mempengaruhi prospek kebijakan moneter.
Powell pekan lalu mengatakan bahwa inflasi masih terlalu tinggi dan kemungkinan memerlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, seraya menambahkan bahwa pengaturan moneter saat ini belum terlalu ketat.
Namun, pasar memperkirakan bank sentral akan mempertahankan suku bunga stabil pada pertemuan kebijakan 30-31 Oktober mendatang. (ADF)