3 Dampak Pemotongan Dana Transfer ke Daerah, Apa Saja Potensi Risikonya?
Pemangkasan dana transfer daerah diprotes oleh para kepala daerah. Salah satu potensi risikonya adalah pembangunan yang terhambat.
IDXChannel—Apa saja 3 dampak pemotongan dana transfer ke daerah? Pemerintah memangkas dana transfer ke daerah (TDK) dalam APBN 2026, dari semula Rp919 triliun pada tahunini menjadi Rp693 triliun.
Pemangkasan ini direspons negatif oleh para kepala daerah. Dalam pertemuan dengan Menkeu Purbaya pada Selasa 7 Oktober 2025, Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) memprotes kebijakan tersebut.
Mayoritas kepala daerah menyampaikan penolakan. Menurut catatan Sindonews (10/10/2025), bahkan banyak gubernur yang meminta agar semua kebutuhan daerahnya ditanggung oleh pemerintah pusat, termasuk gaji pegawai.
Pemangkasan dana TDK ini didasari alasan efisiensi sekaligus perbaikan tata kelola anggaran daerah, termasuk kinerja belanja daerah. Purbaya sempat mengatakan pada Senin (6/10/2025) kemarin, “Kalau mereka mau bangun daerahnya, kan, harusnya dari dulu sudah bagus. Anggarannya (mestinya) enggak ada yang hilang sana-sini.”
Apa saja dampak yang dapat terjadi pasca pemotongan dana transfer ke daerah?
3 Dampak Pemotongan Dana Transfer ke Daerah, Apa Saja?
1. Layanan Publik Berpotensi Terganggu
Kekhawatiran ini disampaikan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam laman resmi Pemprov Aceh. Banyak layanan publik dibiayai oleh anggaran pemerintah daerah, sementara jika pemda kekurangan anggaran karena APBD-nya berkurang, maka layanan publik terpaksa disesuaikan.
Bagi daerah dengan APBD berjumlah besar seperti Jakarta yang mencapai puluhan triliun, pelayanan publik masih bisa diutamakan dengan memangkas anggaran lain yang dinilai tidak perlu.
Sementara bagi daerah lain dengan anggaran yang lebih rendah, atau di bawah Rp10 triliunan, ruang alokasinya lebih terbatas. Proyek pembangunan tak banyak bisa terlaksana, terlebih jika beban belanja pegawainya tinggi.
2. Potensi Proyek Mangkrak
Sebagian proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan pemerintah daerah didanai oleh APBD, di mana sebagian komponen ABPD adalah dana TKD dari pemerintah pusat. Dengan berkurangnya TKD, tak menutup kemungkinan pemda harus menghentikan proyek.
Melansir laman Pemprov Aceh (10/10/2025), hal ini juga disampaikan oleh Muzakir Manaf. “Pemotongan anggaran akan berimbas pada program prioritas seperti pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat. Kami berharap pemerintah pusat dapat mempertimbangkan kembali,” kata dia.
Bagi kota besar dengan infrastruktur dan tingkat investasi tinggi seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, pemda relatif lebih mudah menggandeng pihak swasta ataupun BUMD untuk berkolaborasi.
Seperti Gubernur Jakarta Pramono Anung yang menyebut akan mengupayakan creative financing agar pembangunan infrastruktur tetap berjalan dengan bekerja sama dengan mitra-mitra strategis.
Namun bagi daerah dengan tingkat investasi rendah, akan lebih sulit untuk mencari pihak swasta ataupun mengandalkan BUMD untuk berpartisipasi.
3. Sulit Bayar Pegawai
Dari pertemuan dengan Menkeu Purbaya, bahkan dikatakan bahwa semua kepala daerah meminta agar semua kebutuhan daerah ditanggung pemerintah pusat, termasuk gaji para pegawai, atau PNS.
Ini menunjukkan bahwa pemda mengalami kesulitan untuk mengatur alokasi belanja daerah dengan keterbatasan dana. Sebab APBD tak hanya digunakan untuk membiayai pelayanan publik dan membangun infrastruktur, tetapi juga menggaji pegawai daerah.
Itulah sejumlah dampak pemotongan dana transfer ke daerah.
(Nadya Kurnia)