MILENOMIC

Benarkah Mantan Founder Startup Tak Laku di Bursa Kerja?

Nia Deviyana 07/08/2022 06:30 WIB

para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi ternyata 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua setelah menjalani wawancara kerja.

Pemutusan hubunga kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi (startup). Foto: MNC Media

IDXChannel - Sepanjang 2022, terjadi pemutusan hubunga kerja (PHK) besar-besaran pada karyawan sektor teknologi (startup). Perhatian besar tak hanya muncul terkait nasib para karyawan, tetapi juga founder startup yang perusahaannya terpaksa tutup karena kekurangan pendanaan atau faktor lain.

Sebuah riset yang digelar Yale University, Amerika Serikat menunjukan kondisi anomali. Riset bertajuk 'Are Former Startup Founders Less Hireable?' yang baru saja dirilis itu melaporkan, para mantan pendiri usaha rintisan di sektor teknologi ternyata 43% lebih kecil berpeluang mendapat panggilan kedua setelah menjalani wawancara kerja saat melamar pekerjaan, jika dibandingkan dengan pelamar kerja yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Survey yang melibatkan 2.400 responden itu juga menyebutkan, para mantan pendiri startup yang usahanya sukses rupanya punya peluang lebih kecil 33% untuk diundang wawancara kerja. 

Hal ini memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dengan kecenderungan sebagian besar perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berjiwa wirausaha dan inovatif. 

Karena, menurut survey itu, ketika dihadapkan dengan kandidat pekerja yang memiliki dua hal tersebut, yang lazimnya dimiliki para pendiri startup, ternyata perusahaan lebih berpeluang memilih kandidat yang bukan berlatar belakang pendiri startup.

Terjadi di Indonesia?

Meski hasil survey ini lebih menggambarkan kondisi dunia kerja di Amerika Serikat, namun pengamat kewirausahaan sosial Universitas Prasetiya Mulya, Rudy Handoko, berpendapat situasi serupa berpeluang terjadi di Indonesia. 

“Bukan hal aneh seorang founder startup masuk ke bursa kerja setelah bisnisnya gagal, atau pertumbuhan bisnisnya lambat," kata Rudy melalui keterangan tertulis, Sabtu (6/8/2022).

Problemnya, kata Rudy, ada semacam stigma pada para founder startup, atau mereka yang pernah berstatus sebagai chief executive officer, chief financial officer, chief marketing officer pada sebuah perusahaan startup punya karakter arogan, merasa serba tahu, dan stigma negatif lainnya. 

"Padahal perekrut membutuhkan karyawan yang humble, open minded, dan terbuka untuk belajar hal baru," ungkap dia.

Pendapat Rudy itu juga tergambar pada hasil riset yang dibuat tim Yale University. 

Berdasarkan pengamatan para perekrut, mantan pendiri akan memiliki seperangkat keterampilan yang lebih luas, pola pikir berkembang, dan kecenderungan untuk berinovasi. Tetapi pengalaman sebagai founders perusahaan (terutama mereka yang pernah meraih sukses) mengindikasikan kandidat tersebut kurang cocok dan kurang berkomitmen dalam peran sebagai karyawan, sehingga perekrut meragukan kecocokan mereka sebagai karyawan.

Partners di Living Lab Ventures, Bayu Seto, menilai, sebetulnya para pendiri startup punya sejumlah kelebihan. 

"Mantan pendiri startup adalah sosok generalis yang berpengetahuan luas. Mereka kritis dalam mencermati peluang bisnis yang berpotensi untuk diakuisisi, serta peka terhadap red flag yang berpotensi menjadi deal breaker," paparnya.

Hal ini, kata Bayu, karena mereka miliki berkat pengalaman di sisi manajemen maupun operasional perusahaan. Sehingga pengalaman mereka sebagai founder startup memberikan pandangan yang cukup matang dalam melakukan investasi.

Namun ia juga menemukan, kebanyakan mantan founder startup tahap awal cenderung hyper-focus atas produk atau jasa yang sedang mereka bangun. Hal ini membuat mereka melupakan gambaran besar dari solusi yang sedang mereka coba hadirkan di market. 

"Bahkan membuat mereka reluctant untuk melakukan pivot manakala trend pasar berubah seketika," tuturnya.

Menurut Bayu, pilihan merekrut mantan pendiri startup yang 'pindah kuadran' menjadi seorang profesional memunculkan sejumlah risiko. Misalnya risiko kompatibilitas kultur (cultural fit), di mana perusahaan-perusahaan konvensional memiliki kultur hierarki yang rigid. 

Oleh karena itu, menciptakan situasi kerja yang terbuka dan fleksibel, serta sebisa mungkin membentuk budaya non-hirarki merupakan kunci utama untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh para mantan pendiri startup. (NIA)

SHARE