Beberkan Akar Konflik Besar di Indonesia, Jusuf Kalla: Masalah Ekonomi, Sosial dan Ideologi
Belasan konflik besar yang sempat terjadi di Tanah Air sejak merdeka hingga menelan ribuan nyawa.
IDXChannel - Wakil Presiden (Wapres) RI ke-10, Jusuf Kalla (JK) membeberkan masalah ketidakadilan sosial-ekonomi hingga ideologis menjadi akar dari berbagai konflik besar di Indonesia selama ini.
Menurutnya belasan konflik besar yang sempat terjadi di Tanah Air sejak merdeka hingga menelan ribuan nyawa.
Hal itu diungkap dalam Kuliah Umum bertajuk "Dialog Perdamaian: Jusuf Kalla dan Usaha Mengakhiri Konflik Terbuka" di Auditorium Mochtar Riyadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI), Depok, Jawa Barat pada Kamis (25/4/2024).
"Sejak Indonesia merdeka, terjadi 15 konflik besar yang menelan nyawa lebih dari 1.000 orang," kata JK saat paparan.
JK membeberkan sejumlah konflik besar terbuka yang pernah terjadi di Tanah Air mulai dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1948, Negara Islam Indonesia (NII) 1949, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1958, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) 1957-1960.
Kemudian, ada pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), G30S PKI 1965, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta konflik Ambon dan Poso.
"Akar dari konflik-konflik itu terletak pada masalah ketidakadilan sosial, ekonomi, politik. Selain itu ada juga persoalan ideologis," katanya.
JK menilai konflik sosial yang dibalut isu agama merupakan konflik yang paling susah ditangani dan perlu penanganan khusus.
"Ambon dan Poso itu konflik politik yang dibungkus isu agama. Itu merupakan perebutan kekuasaan politik sebagai dampak demokrasi liberal," kata dia.
Dia melanjutkan, konflik Aceh dan Papua merupakan dampak dari ketidakadilan ekonomi yang terjadi.
"Aceh itu bukan soal syariat Islam tetapi keadilan ekonomi. Begitupun Papua, mereka minta merdeka karena masalah ekonomi. Mereka punya minyak dan gas tetapi yang menikmati orang luar sehingga timbul ketidakadilan," ungkapnya.
Pihaknya memiliki tiga strategi utama untuk mengatasi konflik seperti yang pernah terjadi di Indonesia.
"Kita harus tahu budaya mereka seperti apa. Setelah itu baru kita masuk dari alam pikir budaya mereka. Kedua dengan mengetahui pihak-pihak berkonflik, kita tahu dengan siapa kita akan bicara sehingga memudahkan dalam mencari titik temu," kata dia.
"Ketiga, saat konflik Ambon dan Poso saya minta senjata-senjata dikumpulkan dan dibakar. Setelah itu baru kita bicara perdamaian. Perdamaian itu merupakan akhir dari konflik. Sementara kedamaian itu merupakan hasil dari perdamaian. Hidup damai merupakan fitrah manusia," pungkasnya.
(NIY)