BMKG Ajak Semua Pihak Belajar dari Jepang dalam Menghadapi Potensi Megathrust
BMKG mengajak semua pihak untuk belajar dari Jepang dalam menghadapi potensi gempa di zona megathrust. Sebab, Jepang telah memiliki pengalaman.
IDXChannel - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengajak semua pihak untuk belajar dari Jepang dalam menghadapi potensi gempa di zona megathrust. Sebab, Jepang telah memiliki pengalaman dalam menghadapi gempa besar.
“Di Jepang mereka sudah memiliki budaya selalu mengamati perilaku gempa. Jadi me-monitor gempa ini sudah dilakukan selama 1.137 tahun yang lalu. Nah, terutama mereka juga sudah mengamati gempa Hakuho Nankai dengan dampak tsunami-nya di tahun 684. Jadi ratusan tahun yang lalu,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Webinar Waspada Gempa Megathrust, Selasa (20/8/2024).
Dwikorita mengatakan Jepang selalu menandai dan mencatat urutan setiap aktivitas kegempaan. Bahkan, publik Jepang tidak mudah melupakan kejadian bencana sehingga menjadikannya semangat untuk menggali sejarah gempa dan tsunami sebagai upaya menata mitigasi.
“Dan yang menarik, karena ini sudah lebih dari seribu tahun, publik Jepang itu tidak mudah melupakan kejadian bencana. Kita kan sadar setelah itu, di Jepang itu sudah 1.137 tahun. Mereka bahkan menggali sejarah gempa dan tsunami untuk menata mitigasi,” katanya.
Pada kesempatan itu, Dwikorita mengatakan Indonesia mempunyai 13 segmen megathrust yang berpotensi gempa dan tsunami. Bahkan, ada dua segmen yakni Mentawai-Siberut dan Selat Sunda-Banten yang juga belum melepaskan energi sudah bertahun-tahun.
“Menurut para pakar yang belum bergerak itu dua segmen. Skenario terburuk, kemungkinan terburuk segmen Mentawai-Siberut ini, kemungkinan terburuk itu magnitudo-nya dari perhitungan para pakar itu M8,9. Dan segmen Selat Sunda-Banten yang juga belum bergerak, kemungkinan magnitudo terbesarnya itu M8,7,” kata Dwikorita.
Dwikorita pun menegaskan informasi yang disampaikan oleh BMKG bukan untuk menakut-nakuti, namun memberikan kewaspadaaan kepada masyarakat. Mengingat, sejarah mencatat gempa dan tsunami di zona megathrust sudah pernah terjadi.
“Agar publik memiliki literasi gempa dan tsunami yang sangat baik karena itu sudah ratusan tahun. Sehingga mereka kalau mendapatkan informasi, (agar) tidak kagetan dan tidak heboh, tidak gumunan (kagetan). Tapi tujuannya bukan untuk kecemasan, ketakutan. Mari kita sempurnakan mitigasi kita. Lalu jadi juga perkuat dalam mewujudkan mitigasi yang konkret,” ujar Dwikorita.
Dwikorita juga mengatakan sejak kejadian tsunami Aceh pada 2004, semakin membuat Indonesia meningkatkan mitigasi akan kejadian gempa dan tsunami. Bahkan, dulu sensor gempa yang hanya berjumlah 20 pada 2004, kini menjadi 533 sensor untuk mendeteksi potensi gempa khususnya di sepanjang jalur zona megathrust di Indonesia.
“Sekarang ya untuk menghadapi megathrust sengaja kami pasang, jadi dari 20 tahun 2004, kita lompatkan menjadi 533 sensor. Jadi, memang lahirnya Indonesian Tsunami Early Warning System,” kata dia.
(Febrina Ratna)